SEJARAH
KODIFIKASI HADIS :PEMBUKUAN HADIS PADA ABAD II,III,IV,V H
DAN
SAMPAI SEKARANG
Jonathan
Brown menyimpulkan bahwa kitab Hadis karya al-Bukhârî dan Muslim sejak awal
merupakan cerminan konstruksi identitas Sunnî, khususnya di kalangan sarjana
Muslim yang berafiliasi mazhab pada al-Syâfi‘î dan dimulai secara terbatas oleh
jaringan murid-murid al-Syafi‘î dan Ahmad ibn Hanbal. Kedua kelompok ini
sepakat bahwa al-Shahîhnya sebagai dasar untuk mengenali aturan hukum (fikih)
otentik dari Nabi. Kesepakatan ini kemudian diikuti oleh mazhab lain sebagai
alat ukur otentisitas dan otoritas sumber hukum.
Tulisan ini menjelaskan faktor-faktor pembentuk
dominasi fikih dalam periwayatan dan pembukuan Hadis tersebut, diawali dengan
memaparkan konsensus mayoritas umat Islam generasi awal terhadap kitabkitab
Hadis yang dijadikan pegangan umat Islam dalam Hadis. Selanjutnya, tulisan ini
akan melihat akar orientasi fikih dalam periwayatan Hadis sejak masa sahabat,
pengaruh formalisasi madrasah fikih pada penulisan Hadis, dan dominasi fikih
yang menjadi arus utama penulisan kitab Hadis.
Pada awalnya, kitab Hadis yang diakui oleh ulama
dan dikenal sebagai kitab standar Hadis hanya empat yang kemudian dikenal
dengan istilah al-Kutub al-Arba‘ah.[1]
Dalam Agama dan filsafat dijelaskan
bahwa Islam adalah agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang
pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan
menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan
mengajak mereka untuk memeluknya[2].Harun
Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang
ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad saw. sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang
bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan
manusia.Dengan demikian periwayatan hadis sejak masa sahabat dan tabi’in telah
dilakukan menggunakan dua cara yakni tertulis dan lisan. Hasil tulisan berupa
teks hadis tersebut terus diteliti kebenarannya oleh orang-orang yang mempelajarinya
seiring perjalanan waktu[3]. Di
sinilah kesamaan pandangan Azami dan Abbott terkait periwayatan hadis secara
tertulis dan manuskrip sebagai hasilnya. Abbott yang merupakan peneliti non
muslim dan memiliki pandangan sama dengan kalangan peneliti muslim, seperti
Azami mendapat penilaian negatif dari kalangan sarjana Barat. Penelitiannya
dinilai menggunakan metodologi sama dengan sarjana muslim, sehingga hasilnya
juga sama.
Terdapat alasan mengapa tiga abad pertama hijriyah
memiliki nilai dan keistimewaan tersendiri dalam kesadaran historis masyarakat
muslim. Seperti dicatat Joseph Schacht
(w. 1969), pada periode ini terdapat beberapa bentuk manifestasi keagamaan
Islam sebagai sebuah hukum praktis di masyarakat[4]. Sistem
arbitrasi Arab awal dan norma Arab dimodifikasi dan kemudian dilengkapi diktumnya
oleh Alquran serta dilestarikan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW (w.11/632)
ketika mereka menjadi pemimpin negara ( khalifah ). Yang menarik, pada masa ini
hukum Islam tidak berwajah tunggal, sebalikya variatif dan solutif. Sebelum
menjadi sebuah terminologi tersendiri, Wahbah al-Zuhayli (l. 1351/1932)
menyatakan, secara kronologis fikih telah muncul sejak periode sahabat,
misalnya direpresentasikan oleh ‘Aishah (w. 57/676), ‘Abdullah ibn ‘Umar (w.
72/691), ‘Abdullah ibn Mas‘ud (w. 32/652) dan lain-lain. Genealogi teologi atau
dalam istilah Majid Fakhri islamic scholas ticism muncul berkenaan masalah
pertanyaan tentang kehendak-bebas ( fr ee will ) dan ketidakbebasan manusia.
B.Pembahasan
1.Pembukuan abad II
Hadis di mata
mayoritas orang Islam dipandang sebagai salah satu sumber pengetahuan keagamaan
yang penting dan dipahami sebagai sumber normatif kedua setelah al-Qur’an.
Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini, terdapat sebuah adagium terkenal,
yaitu “al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada hadis yang membutuhkan
al-Qur’an”. [5]
Maknanya, al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan jikalau tidak dibarengi dengan
hadis. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada hadis atau dengan kata lain,
hadis dapat menjelaskan dirinya sendiri. Sementara itu, dalam
catatan Mustafa al-A’zami, terdapat beberapa orang pada masa sahabat yang
kurang begitu menaruh perhatian pada sunnah atau hadis Nabi, tetapi sifatnya
hanya perseorangan saja.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa studi
hadis di kalangan muslim melahirkan dua kubu yang saling berhadapan satu dengan
lainnya, yaitu golongan pendukung sunnah dan pengingkar sunnah (inkar al-Sunnah.
Hal
pertama yang harus dipertimbangkan terkait otoritas hadis adalah mengenai
kompetensi (kualifikasi) dari teks hadis. Yaitu bagaimana mengetahui bahwa
suatu hadis adalah benar-benar otoritatif dan autentik (berasal dari Nabi).
Dalam menguji kompetensi sebuah hadis dapat difokuskan pada dua hal. Pertama,
menguji kompetensi untuk mengetahui keshahihan suatu hadis. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan metode yang telah digagas oleh para ulama hadis
sebagaimana dalam cakupan pembahasan ‘ulum al-hadis. Setelah
mengkaji kompetensi dari teks hadis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
upaya penafsiran yang bersifat terbuka terhadap teks hadis.[6]
Hal tersebut dikarenakan hadis merupakan “karya” yang terus berubah (work in
movement), dimana teksnya bersifat statis tetapi isi dan kandungan dari teks
tersebut tetap bergerak dan menerima, bahkan menyediakan bentuk penafsiran yang
beragam.
Sedangkan kodifikasi secara etimologis berasal
dari kata tadwîn. Ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwan yang
memiliki banyak arti seperti merekam, mencatat, dan membukukan. Arti kata
dawwan tergantung pada kata kedua yang disandingkan dengannya.[7]
Secara
terminologi, menurut Saifuddin, sejumlah sarjana mendefinisikan tadwîn secara
beragam. Di antara pengertian itu, pengertian Muhammad Darwîsh merupakan
pengertian yang paling tepat. Menurutnya, tadwîn adalah penulisan (kitâbah)
hadis-hadis yang berasal dari Nabi dan penghimpunannya (jam‘) dalam satu atau
beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan
teratur, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya sebagai
dalil.
2.Pembukuan abad ke III
Pertama, semangat pemurnian ajaran. Semangat
inilah yang telah menumbuhkan upaya-upaya yang tak kenal lelah dari Islam
modernis untuk membersihkan ajaran Islam dari apa yang mereka sebut sebagai bid
‘ah, Takhayul dan khurafat. Pada perkembangan selanjutnya, upaya pemurnian yang
dilakukan Islam modernis ini mendapat reaksi keras pula dari
komunitas-komunitas muslimlainnya, yang kemudian memperoleh pijakannya dalam
gerakan-gerakan Islam Tradisional. Kedua, sikap terhadap
tradisi bermadzhab, khususnya dalam bidang fiqh, yang kemudian menimbulkan perselisihan
di sekitar masalah khilafiyah dan masalah taqlid.Islam Modernis menggugat
tradisi ini, sementara Islam Tradisional mempertahankannya. Pembicaraan masalah
khilafiyah seringkali meruncing karena bercampur dengan kepentingan politik
sesudah kedua pihak menemukan saluran masing-masing dalam dunia politik.
Ketiga, sikap terhadap perubahan dan rasionalitas.Secara umum Islam
tradisionalis digambarkan sebagai kurang menyukai pembahan dan lebih cenderung
mempertahankan kebiasaan yang telah lama dianut, sementara Islam modernis
sebaliknya, yang menghendaki pembaruan-pembaruan. Sebagaimana
diketahui, bahwa pada abad XX Islam di Indonesia mengalami pembahan, yaitu
dengan masuknya paham pembaman pemikiran keislaman, maka konsekuensinya pada
perkembangan hadis pun bisa diduga, yakni selangkah lebih maju dari proses awal
yang tradisional itu.[8]
Namun demikian, sebagaimana diketahui pula bahwa tidak semua umat Islam
Indonesia menerima kemunculan paham pembaruan itu, maka tentu saja berdampak
kuat pula terhadap perkembangan hadis itu sendiri Oleh karena itu menurut hemat
penulis, sistem pengijazahan ini dalam proses penyampaian hadis itu sudah tidak
berlaku lagi. Karena seluruh hadis Nabi sudah dibukukan dan ditakhrij oleh para
ulamanya sebelum mereka membukukan hadis-hadis yang mereka terima dari para
perawi yang terdekat dengan mereka.
Sebelum merdeka
penyebaran hadis di Indonesia berbentuk kitab-kitab hadis dalam teks bahasa
Arab Kitab-kitab ini umumnya terbitan Kairo-Mesir dan Beirut-Libanon yang
banyak dimiliki oleh para ulama Indonesia.Namun dalam jumlah yang sangat
terbatas.Oleh sebab itu penyebaran hadis di kalangan umat Islam Indonesia masih
sangat minim.Hal yang menjadi kendala utamanya barangkali terletak pada
pemahaman bahasa Arabnya yang sangat minim pula.
Perkembangan Islam di
Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam
sudah menunjukkan wajah beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh ormas Islam
dan memunculkan banyak nama seperti: Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam
abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal,
Islam ekstrim, Islam militan, dan sebagainya (Geertz,1960:27).[9]
Tren
Islam yang mengemuka pasca Orde Baru adalah lahirnya Islam radikal, yang
diwakili sejumlah ormas Islam, seperti Laskar Jihad (Forum Komunikasi
Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin menyusul
ormas Islam sebelumnya seperti KISDI. Karakteristik kelompok ini lebih
didasarkan pada corak keragaman yang bersifat integralistik antara Islam dan
negara, sehingga kelompok ini mengedepankan corak legalformal Islam secara
total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya syariat Islam di negara
Indonesia.
3.Pembukuan abad ke IV
Hadits
Rasulullah SAW jika dilihat dari sisi kodifikasinya maka ia telah dibukukan
sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi masih
bersifat personal, adapun kodifikasi hadits yang bersifat umum dan resmi dengan
mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa Tabiin, tepatnya pada
masa Khalifah 'Umar bin Abdul 'Aziz r.a (w. 101 H). Sedangkan al-Qur'an telah
dikodifikasikan secara resmi pada masa sahabat dengan perintah Khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq r.a. Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut
hingga datang masa Khatib al-Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data
otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat
bahwa hadits Nabi saw telah dibukukan sejak abad pertama hijriyah[10].
Penelitiannya tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul "Taqyid
al-'Ilm ".Kemudian datang generasi Tabi'in, pada priode ini hadits
dikodifikasikan secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz.
Al-Zuhri
berkata, "Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepadaku untuk mengumpulkan
hadits-hadits Nabi saw Lalu setelah
terkumpul aku menulisnya pada beberapa buku, dan beliau mengirimkannya kepada
para pemimpin.
4.Pembukuan abad ke V
Sebagai
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir sekaligus,
melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum al-Qur’an
itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam. Istilah ini baru
muncul pada abad ke 3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini lahir
sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul Qur’an dalam
arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru muncul dalam karya
Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan fiy Ulum al-Quran (Al
Zarqaniy :35). Pada masa Rasulullah saw, hingga masa
kekhalifahan Abu Bakar (12 H–13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih
diriwayatkan secara lisan.† Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana
orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman
memerintahkan supaya kaum muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar
mushaf lainnya yang mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan.
Selanjutnya,
pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau telah memerintahkan
Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan kaedahkaedah bahasa Arab.
Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang sebagai peletakan dasar ilmu
I’rab al-Qur’an. Pada abad kedua hijriah, upaya
pembukaan ulum al-Qur’an mulai dilakukan, namun pada masa ini perhatian ulama
lebih banyak terfokus pada tafsir. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah :
Sufyan Sau’ry (w.161 H), Sufyan bin Uyainah
(w.198 H). wakil-wakil al-Jarah (w.197 H), Sybah bin al-Hajjaj (w.160
H). [11]Pada
masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir alTabariy (w.310 H)
yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat hadis-hadis sahih,
ditulis dengan rumusan yang baik. Di samping itu, juga memuat I’rab dan kajian
pendapat.‡ Pada masa ini juga telah disusun beberapa ulum al Qur’ani yang
masing-masing berdiri sendiri, antara lain: Ali ibn al-Madiniy (w.234 H)
menyusun kitab tentang asbab al-nuzul, Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (w.224 H)
menyusun kitab tentang naskh dan mansukh.
Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab tentang musykil al-Qur’an, Muhammad
bin Ayyub al-Darls (294 H) menyusun tentang ayat yang turun di Mekah dan
Madinah. Pada abad ke 4 H, lahir beberapa kitab ulum
al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulum al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim
al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas tentang kelebihan dan kemuliaan
Al-Qur’an, turunnya AlQur’andalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah,
ayat dan kata dalam AlQur’an. Selanjutnya, pada pada abad ke 5 muncullah Ali
bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang menghimpun bagianbagian dari ulum
al Qur’an dalam karyanya al-Burhan fiy
Ulum al-Qur’an. Dalam kitabnya ini, beliau membahas Al-Qur’anmenurut suruh
dalam mushaf, selanjutnya beliau menguraikannya berdasarkan tinjauan al-Nahwu dan al-Lugah, kemudian mensyarahnya dengan
tafsir bi al-Masur dan tafsir bi al-Ma’qul, lalu dijelaskan pula tentang waqaf
(aspek qira’at), bahkan tentang hokum yang terkandung dalam ayat.
KESIMPULAN
‘Ulum al-Qur’an yang
terdiri dari berbagai macam dan cabangnya tidak lahir sekaligus, melainkan
mellui proses perkembangan yang dapat dibagi ke dalam fasefase : (1) fase
periwayatan, mulai zaman Rasulullah saw hingga awal abad ke-2 (2) fase lahirnya
cabang-cabang ‘ulum al-Qur’an dan kodifikasinya,
mulai abad ke-2 hingga abad ke-5 dan (3) fase kondifikasi ‘ulum al-Qur’an sebagai suatu ilmu yang mencakup berbagai
ilmu Al-Qur’an, yaitu sejak abad ke-5 hingga saat ini. Hingga sat ini telah
lahir puluhan tokoh di bidang ‘ulum al-Qur’an, diantara mereka yang paling
termasyhur adalah Jalil al-Din al-Sayuti pengarang kitab alItqan fiy ‘ulum
al-Qur’an dan al-Zarqasyi pengarang kitab al-Burhan fiy ulum alQur’an. Kedua
kitab ini masih ada hingga sekarang dan menjadi rujukan bagi kajian-kajian
‘ulum al-Qur’an.
[1]
Rifqi Muhammad Fatki, “Dominasi Paradigma
Fikih Dalam Periwayatan Dan Kodifikasi Hadis,” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah
12, no. 2 (2012).hlm:24-27
[2]
Baso Hasyim, “Islam Dan Ilmu Pengetahuan
(Pengaruh Temuan Sains Terhadap Perubahan Islam),” Jurnal Dakwah Tabligh
14, no. 1 (2013)hlm.127–139.
[3]
Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis
Menurut M. Mustafa Azami,” JOURNAL OF QUR’AN AND HADITH STUDIES 3, no. 1
(2014)hlm. 119–139.
[4]
Aceng Abdul Kodir, “Sejarah Bid’ah: Ashhab
Al-Hadith Dan Dominasi Wacana Islam Autentik Pada Tiga Abad Pertama Hijriyah,” Wawasan:
Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 2 (2016)hlm.211–226.
[5]
Benny Afwadzi, “Membangun Integrasi
Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi,” Jurnal Living Hadis 1, no. 1
(2016)hlm.101–128.
[6]
Benny Afwadzi, “Hadis Di Mata Para
Pemikir Modern: Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown,” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis
15, no. 2 (2014)hlm. 227–242.
[7]
Mohammad Subhan Zamzami, “Ideologi Dan
Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis,” Religió: Jurnal Studi
Agama-Agama 3, no. 1 (2013).hlm:202-206
[8]
Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis Di
Indonesia Pada Abad XX,” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 1, no. 2
(2017)hlm:187–202.
[9]
Muhamad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme
Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis,” Religia, 2017.
[10]
Muhammad Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari
(Dar Ul-Hadith, 1978).
[11]
Wahyuddin Wahyuddin and Saifulloh
Saifulloh, “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA,” Jurnal Sosial
Humaniora 6, no. 1 (2013)hlm:20–32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar