Selasa, 01 Oktober 2019

Sejarah Kodifikasi Hadis


SEJARAH KODIFIKASI HADIS :PEMBUKUAN HADIS PADA ABAD II,III,IV,V H
DAN SAMPAI SEKARANG

Zibrahim
A.Pendahuluan
          Jonathan Brown menyimpulkan bahwa kitab Hadis karya al-Bukhârî dan Muslim sejak awal merupakan cerminan konstruksi identitas Sunnî, khususnya di kalangan sarjana Muslim yang berafiliasi mazhab pada al-Syâfi‘î dan dimulai secara terbatas oleh jaringan murid-murid al-Syafi‘î dan Ahmad ibn Hanbal. Kedua kelompok ini sepakat bahwa al-Shahîhnya sebagai dasar untuk mengenali aturan hukum (fikih) otentik dari Nabi. Kesepakatan ini kemudian diikuti oleh mazhab lain sebagai alat ukur otentisitas dan otoritas sumber hukum.
Tulisan ini menjelaskan faktor-faktor pembentuk dominasi fikih dalam periwayatan dan pembukuan Hadis tersebut, diawali dengan memaparkan konsensus mayoritas umat Islam generasi awal terhadap kitabkitab Hadis yang dijadikan pegangan umat Islam dalam Hadis. Selanjutnya, tulisan ini akan melihat akar orientasi fikih dalam periwayatan Hadis sejak masa sahabat, pengaruh formalisasi madrasah fikih pada penulisan Hadis, dan dominasi fikih yang menjadi arus utama penulisan kitab Hadis.
Pada awalnya, kitab Hadis yang diakui oleh ulama dan dikenal sebagai kitab standar Hadis hanya empat yang kemudian dikenal dengan istilah al-Kutub al-Arba‘ah.[1]
Dalam Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk memeluknya[2].Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.Dengan demikian periwayatan hadis sejak masa sahabat dan tabi’in telah dilakukan menggunakan dua cara yakni tertulis dan lisan. Hasil tulisan berupa teks hadis tersebut terus diteliti kebenarannya oleh orang-orang yang mempelajarinya seiring perjalanan waktu[3]. Di sinilah kesamaan pandangan Azami dan Abbott terkait periwayatan hadis secara tertulis dan manuskrip sebagai hasilnya. Abbott yang merupakan peneliti non muslim dan memiliki pandangan sama dengan kalangan peneliti muslim, seperti Azami mendapat penilaian negatif dari kalangan sarjana Barat. Penelitiannya dinilai menggunakan metodologi sama dengan sarjana muslim, sehingga hasilnya juga sama.
Terdapat alasan mengapa tiga abad pertama hijriyah memiliki nilai dan keistimewaan tersendiri dalam kesadaran historis masyarakat muslim. Seperti dicatat  Joseph Schacht (w. 1969), pada periode ini terdapat beberapa bentuk manifestasi keagamaan Islam sebagai sebuah hukum praktis di masyarakat[4]. Sistem arbitrasi Arab awal dan norma Arab dimodifikasi dan kemudian dilengkapi diktumnya oleh Alquran serta dilestarikan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW (w.11/632) ketika mereka menjadi pemimpin negara ( khalifah ). Yang menarik, pada masa ini hukum Islam tidak berwajah tunggal, sebalikya variatif dan solutif. Sebelum menjadi sebuah terminologi tersendiri, Wahbah al-Zuhayli (l. 1351/1932) menyatakan, secara kronologis fikih telah muncul sejak periode sahabat, misalnya direpresentasikan oleh ‘Aishah (w. 57/676), ‘Abdullah ibn ‘Umar (w. 72/691), ‘Abdullah ibn Mas‘ud (w. 32/652) dan lain-lain. Genealogi teologi atau dalam istilah Majid Fakhri islamic scholas ticism muncul berkenaan masalah pertanyaan tentang kehendak-bebas ( fr ee will ) dan ketidakbebasan manusia.
     
B.Pembahasan
1.Pembukuan abad II
Hadis di mata mayoritas orang Islam dipandang sebagai salah satu sumber pengetahuan keagamaan yang penting dan dipahami sebagai sumber normatif kedua setelah al-Qur’an. Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini, terdapat sebuah adagium terkenal, yaitu “al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada hadis yang membutuhkan al-Qur’an”. [5] Maknanya, al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan jikalau tidak dibarengi dengan hadis. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada hadis atau dengan kata lain, hadis dapat menjelaskan dirinya sendiri. Sementara itu, dalam catatan Mustafa al-A’zami, terdapat beberapa orang pada masa sahabat yang kurang begitu menaruh perhatian pada sunnah atau hadis Nabi, tetapi sifatnya hanya perseorangan saja. 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa studi hadis di kalangan muslim melahirkan dua kubu yang saling berhadapan satu dengan lainnya, yaitu golongan pendukung sunnah dan pengingkar sunnah (inkar al-Sunnah. Hal pertama yang harus dipertimbangkan terkait otoritas hadis adalah mengenai kompetensi (kualifikasi) dari teks hadis. Yaitu bagaimana mengetahui bahwa suatu hadis adalah benar-benar otoritatif dan autentik (berasal dari Nabi). Dalam menguji kompetensi sebuah hadis dapat difokuskan pada dua hal. Pertama, menguji kompetensi untuk mengetahui keshahihan suatu hadis. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan metode yang telah digagas oleh para ulama hadis sebagaimana dalam cakupan pembahasan ‘ulum al-hadis. Setelah mengkaji kompetensi dari teks hadis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah upaya penafsiran yang bersifat terbuka terhadap teks hadis.[6] Hal tersebut dikarenakan hadis merupakan “karya” yang terus berubah (work in movement), dimana teksnya bersifat statis tetapi isi dan kandungan dari teks tersebut tetap bergerak dan menerima, bahkan menyediakan bentuk penafsiran yang beragam.
Sedangkan kodifikasi secara etimologis berasal dari kata tadwîn. Ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwan yang memiliki banyak arti seperti merekam, mencatat, dan membukukan. Arti kata dawwan tergantung pada kata kedua yang disandingkan dengannya.[7] Secara terminologi, menurut Saifuddin, sejumlah sarjana mendefinisikan tadwîn secara beragam. Di antara pengertian itu, pengertian Muhammad Darwîsh merupakan pengertian yang paling tepat. Menurutnya, tadwîn adalah penulisan (kitâbah) hadis-hadis yang berasal dari Nabi dan penghimpunannya (jam‘) dalam satu atau beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan teratur, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya sebagai dalil.
2.Pembukuan abad ke III
Pertama, semangat pemurnian ajaran. Semangat inilah yang telah menumbuhkan upaya-upaya yang tak kenal lelah dari Islam modernis untuk membersihkan ajaran Islam dari apa yang mereka sebut sebagai bid ‘ah, Takhayul dan khurafat. Pada perkembangan selanjutnya, upaya pemurnian yang dilakukan Islam modernis ini mendapat reaksi keras pula dari komunitas-komunitas muslimlainnya, yang kemudian memperoleh pijakannya dalam gerakan-gerakan Islam Tradisional. Kedua, sikap terhadap tradisi bermadzhab, khususnya dalam bidang fiqh, yang kemudian menimbulkan perselisihan di sekitar masalah khilafiyah dan masalah taqlid.Islam Modernis menggugat tradisi ini, sementara Islam Tradisional mempertahankannya. Pembicaraan masalah khilafiyah seringkali meruncing karena bercampur dengan kepentingan politik sesudah kedua pihak menemukan saluran masing-masing dalam dunia politik. Ketiga, sikap terhadap perubahan dan rasionalitas.Secara umum Islam tradisionalis digambarkan sebagai kurang menyukai pembahan dan lebih cenderung mempertahankan kebiasaan yang telah lama dianut, sementara Islam modernis sebaliknya, yang menghendaki pembaruan-pembaruan. Sebagaimana diketahui, bahwa pada abad XX Islam di Indonesia mengalami pembahan, yaitu dengan masuknya paham pembaman pemikiran keislaman, maka konsekuensinya pada perkembangan hadis pun bisa diduga, yakni selangkah lebih maju dari proses awal yang tradisional itu.[8] Namun demikian, sebagaimana diketahui pula bahwa tidak semua umat Islam Indonesia menerima kemunculan paham pembaruan itu, maka tentu saja berdampak kuat pula terhadap perkembangan hadis itu sendiri Oleh karena itu menurut hemat penulis, sistem pengijazahan ini dalam proses penyampaian hadis itu sudah tidak berlaku lagi. Karena seluruh hadis Nabi sudah dibukukan dan ditakhrij oleh para ulamanya sebelum mereka membukukan hadis-hadis yang mereka terima dari para perawi yang terdekat dengan mereka.
Sebelum merdeka penyebaran hadis di Indonesia berbentuk kitab-kitab hadis dalam teks bahasa Arab Kitab-kitab ini umumnya terbitan Kairo-Mesir dan Beirut-Libanon yang banyak dimiliki oleh para ulama Indonesia.Namun dalam jumlah yang sangat terbatas.Oleh sebab itu penyebaran hadis di kalangan umat Islam Indonesia masih sangat minim.Hal yang menjadi kendala utamanya barangkali terletak pada pemahaman bahasa Arabnya yang sangat minim pula.
Perkembangan Islam di Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan wajah beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh ormas Islam dan memunculkan banyak nama seperti: Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrim, Islam militan, dan sebagainya (Geertz,1960:27).[9] Tren Islam yang mengemuka pasca Orde Baru adalah lahirnya Islam radikal, yang diwakili sejumlah ormas Islam, seperti Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin menyusul ormas Islam sebelumnya seperti KISDI. Karakteristik kelompok ini lebih didasarkan pada corak keragaman yang bersifat integralistik antara Islam dan negara, sehingga kelompok ini mengedepankan corak legalformal Islam secara total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya syariat Islam di negara Indonesia.
3.Pembukuan abad ke IV
          Hadits Rasulullah SAW jika dilihat dari sisi kodifikasinya maka ia telah dibukukan sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi masih bersifat personal, adapun kodifikasi hadits yang bersifat umum dan resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa Tabiin, tepatnya pada masa Khalifah 'Umar bin Abdul 'Aziz r.a (w. 101 H). Sedangkan al-Qur'an telah dikodifikasikan secara resmi pada masa sahabat dengan perintah Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang masa Khatib al-Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadits Nabi saw telah dibukukan sejak abad pertama hijriyah[10]. Penelitiannya tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul "Taqyid al-'Ilm ".Kemudian datang generasi Tabi'in, pada priode ini hadits dikodifikasikan secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz. Al-Zuhri berkata, "Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepadaku untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi saw Lalu setelah terkumpul aku menulisnya pada beberapa buku, dan beliau mengirimkannya kepada para pemimpin.
4.Pembukuan abad ke V
          Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam. Istilah ini baru muncul pada abad ke 3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul Qur’an dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan fiy Ulum al-Quran (Al Zarqaniy :35). Pada masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.† Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan kaedahkaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang sebagai peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an. Pada abad kedua hijriah, upaya pembukaan ulum al-Qur’an mulai dilakukan, namun pada masa ini perhatian ulama lebih banyak terfokus pada tafsir. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah : Sufyan Sau’ry (w.161 H), Sufyan bin Uyainah  (w.198 H). wakil-wakil al-Jarah (w.197 H), Sybah bin al-Hajjaj (w.160 H). [11]Pada masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir alTabariy (w.310 H) yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat hadis-hadis sahih, ditulis dengan rumusan yang baik. Di samping itu, juga memuat I’rab dan kajian pendapat.‡ Pada masa ini juga telah disusun beberapa ulum al Qur’ani yang masing-masing berdiri sendiri, antara lain: Ali ibn al-Madiniy (w.234 H) menyusun kitab tentang asbab al-nuzul, Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (w.224 H) menyusun  kitab tentang naskh  dan mansukh.  Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab tentang musykil al-Qur’an, Muhammad bin Ayyub al-Darls (294 H) menyusun tentang ayat yang turun di Mekah dan Madinah. Pada abad ke 4 H, lahir beberapa kitab ulum al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulum al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas tentang kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya AlQur’andalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam AlQur’an. Selanjutnya, pada pada abad ke 5 muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang menghimpun bagianbagian dari ulum al Qur’an  dalam karyanya al-Burhan fiy Ulum al-Qur’an. Dalam kitabnya ini, beliau membahas Al-Qur’anmenurut suruh dalam mushaf, selanjutnya beliau menguraikannya berdasarkan tinjauan al-Nahwu  dan al-Lugah, kemudian mensyarahnya dengan tafsir bi al-Masur dan tafsir bi al-Ma’qul, lalu dijelaskan pula tentang waqaf (aspek qira’at), bahkan tentang hokum yang terkandung dalam ayat.
KESIMPULAN
‘Ulum al-Qur’an yang terdiri dari berbagai macam dan cabangnya tidak lahir sekaligus, melainkan mellui proses perkembangan yang dapat dibagi ke dalam fasefase : (1) fase periwayatan, mulai zaman Rasulullah saw hingga awal abad ke-2 (2) fase lahirnya cabang-cabang ‘ulum al-Qur’an  dan kodifikasinya, mulai abad ke-2 hingga abad ke-5 dan (3) fase kondifikasi ‘ulum al-Qur’an  sebagai suatu ilmu yang mencakup berbagai ilmu Al-Qur’an, yaitu sejak abad ke-5 hingga saat ini. Hingga sat ini telah lahir puluhan tokoh di bidang ‘ulum al-Qur’an, diantara mereka yang paling termasyhur adalah Jalil al-Din al-Sayuti pengarang kitab alItqan fiy ‘ulum al-Qur’an dan al-Zarqasyi pengarang kitab al-Burhan fiy ulum alQur’an. Kedua kitab ini masih ada hingga sekarang dan menjadi rujukan bagi kajian-kajian ‘ulum al-Qur’an.


[1] Rifqi Muhammad Fatki, “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan Dan Kodifikasi Hadis,” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 12, no. 2 (2012).hlm:24-27
[2] Baso Hasyim, “Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Pengaruh Temuan Sains Terhadap Perubahan Islam),” Jurnal Dakwah Tabligh 14, no. 1 (2013)hlm.127–139.
[3] Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami,” JOURNAL OF QUR’AN AND HADITH STUDIES 3, no. 1 (2014)hlm. 119–139.
[4] Aceng Abdul Kodir, “Sejarah Bid’ah: Ashhab Al-Hadith Dan Dominasi Wacana Islam Autentik Pada Tiga Abad Pertama Hijriyah,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 2 (2016)hlm.211–226.
[5] Benny Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi,” Jurnal Living Hadis 1, no. 1 (2016)hlm.101–128.
[6] Benny Afwadzi, “Hadis Di Mata Para Pemikir Modern: Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown,” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 15, no. 2 (2014)hlm. 227–242.
[7] Mohammad Subhan Zamzami, “Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis,” Religió: Jurnal Studi Agama-Agama 3, no. 1 (2013).hlm:202-206
[8] Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis Di Indonesia Pada Abad XX,” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 1, no. 2 (2017)hlm:187–202.
[9] Muhamad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis,” Religia, 2017.
[10] Muhammad Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Dar Ul-Hadith, 1978).
[11] Wahyuddin Wahyuddin and Saifulloh Saifulloh, “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA,” Jurnal Sosial Humaniora 6, no. 1 (2013)hlm:20–32.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar