PEMBAGIAN
HADIS KUALITAS SANAD,DA’IF
Telah
menjadi kesepakatan ulama bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. melalui
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.,—yang kemudian diajarkan kepada umatnya,
sebagian besar ayat-ayatnya masih bersifat global, tidak rinci. Misalnya,
ketika al-Qur’an memerintah shalat, ia tidak menerangkan caracara
melaksanakannya, tidak menerangkan apa saja yang menjadi syarat-syarat sahnya
dan tidak pula menjelaskan apa saja yang menjadi rukun-rukunnya. Demikian pula,
al-Qur’an memerintah zakat, namun tidak memaparkan batasan jumlah minimal harta
yang wajib dizakati, ukuran dan syarat-syaratnya. Semua itu tentunya
membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW., dalam statusnya sebagai pembawa
risalah Allah. Keterangan Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan,
itulah yang biasa dikenal dengan istilah Hadis Nabi. Karena
itu, hadis Nabi merupakan hujjah dalam
syari’at Islam, setelah al-Qur’an. Hadis, meskipun merupakan hujjah , namun
keadaannya tidak seperti al-Qur’an. Al-Qur’an setelah diajarkan oleh Nabi
kepada sahabatnya, ditulis oleh mereka yang mampu, seperti Zayd ibn Sabit, Ubay
ibn Ka’b dan lain-lain, dalam berbagai tempat yang memungkinkan. Kegiatan
mereka itu berada di bawah perintah dan pengawasan Nabi secara langsung.
Sebelum beliau meninggal dunia, al-Qur’an telah selesai ditulis seluruhnya,
meskipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Selanjutnya, penulisan
al-Qur’an diperbaiki pada masa pemerintahan Abu Bakar dan disempurnakan pada
masa pemerintahan ‘Usman ibn ‘Affan. Dengan demikian, otentisitas al-Qur’an
dapat dipertanggungjawabkan secara meyakinkan. Berbeda dengan sejarah penulisan
hadis. Rasulullah SAW., mengajarkan hadis-hadisnya kepada para sahabatnya, baik
dalam rangka menerangkan maksud ayat al-Qur’an maupun dalam rangka yang lain.
Metode-metode yang dipakai oleh beliau dalam hal ini, dapat dikategorisasikan
ke dalam tiga kelompok, yakni pengajaran secara verbal (lisan), pengajaran
tertulis (dikte kepada para ahli) dan demonstrasi secara praktis. Namun,
ia meninggal dunia saat Ibn Hazm belum dapat menyelesaikan tugasnya. Selain
kepada Ibn Hazm, beliau telah memerintah juga kepada ulama lain, seperti
al-Zuhri. Al-Zuhri-lah yang pertama kali menyelesaikan penulisannya.12
Penulisan terus berlangsung pada
abad-abad berikutnya. Meskipun pada awal abad II H dan abad-abad berikutnya
hadis Nabi telah dibukukan, namun hadis-hadis yang beredar saat itu telah
bercampur baur, antara hadis-hadis yang autentik dari Nabi dengan yang palsu,
antara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tidak s}iqah
(tidak adil dan atau tidak d}âbit ) , dan antara hadis yang diriwayatkan dengan
sanad yang bersambung dengan yang diriwayatkan dengan sanad yang tidak bersambung
(muttasil). Memang, pada abad III H ada sebagian ulama yang hanya menghimpun
hadis-hadis sahih semata, yakni antara lain al-Bukhari dan Muslim, dalam kitab
Sahihnya. Akan tetapi dari segi kuantitas, hadis-hadis yang terdapat di dalam
kitab tersebut tidak seberapa jumlahnya dibanding dengan yang telah beredar
saat itu. Selain itu, tidak semua hadis sahih terdapat di dalamnya. Hal ini
dapat diketahui dari pernyataan mereka sendiri. Al-Bukhari berkata: “Tidak aku
masukkan dalam kitab al-Jami’ al-Sahih melainkan hadis-hadis yang sahih semata.
Dan aku tinggalkan banyak hadis sahih sebab khawatir (kitabku) terlalu
panjang.” Muslim pun berkata: “Tidak semua hadis sahih menurutku saya masukkan
dalam kitab sahihku ini.[1]
1.
SANAD
Sanad secara bahasa
berarti al-Mu’tamad yaitu yang dipegangi atau yang bisa dijadikan pegangan.
Sedangkan secara istilah sanad berarti jalannya matan, yaitu silsilah para
perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.
Adapun maksud dari perawi itu sendiri adalah masing-masing orang yang
menyampaikan hadits secara sendirian terhadap apa yang didengar atau diterima
dari gurunya[2].Sebelum
membahas kemuttasilan sanad hadis, penulis terlebih dahulu hendak menyampaikan
bahwa penelitian dan pembahasan tentang kemuttasilan sanad merupakan bagian
dari perhatian terhadap sanad hadis itu sendiri. Ulama sangat besar
perhatiannya terhadap sanad hadis, di samping juga kepada matannya. Ada
empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad
hadis. Keempat faktor ini ialah: (1) hadis sebagai salah satu sumber ajaran
Islam; (2) hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi SAW; (3) munculnya
pemalsuan hadis; (4) proses penghimpunan hadis.16 Kemuttasilan sanad—yang
merupakan bagian dari penelitian sanad hadis—didefinisikan bahwa setiap perawi
pada sanad itu mendengar atau menerima hadis secara langsung dari perawi
terdekat sebelumnya. Kondisi ini berlangsung dari awal sanad hingga akhir
sanad.17 Bersambungnya sanad oleh ulama dipandang sebagai salah satu syarat
kehujjah an suatu hadis dengan beralasan: Tradisi periwayatan pada masa Nabi
dan sahabat, yang
a.)
terbanyak berlangsung secara al-Sama’
(mendengar). Dalam cara ini, telah terjadi hubungan langsung antara penyampai
dan penerima riwayat. Apabila hal ini terjadi dalam sanad, maka sanad dimaksud
dinyatakan bersambung. Kalau demikian, argumentasi ini bersifat histori Nabi
SAW., bersabda: “b.) Kalian mendengar (hadis) dari saya, kemudian dari kalian
hadis ini didengar oleh orang lain dan dari dia hadis yang berasal dari kalian
itu didengar oleh orang lain lagi.”Hadis ini menunjukkan bahwa tersebarnya
hadis Nabi sampai ke generasi berikutnya melalui proses persambungan sanad.
c.)Perhimpunan hadis secara resmi dan massal
baru terjadi padaabad kedua dan ketiga hijriyah. Sebelum masa penghimpunan
tersebut, periwayatan hadis pada umumnya berlangsung secara lisan. Kalau
begitu, antara Nabi dengan para penghimpun hadis terdapat mata rantai para
perawi. Apabila mata rantai perawi itu terputus, maka berarti telah terjadi
keterputusan sumber. Apabila hal ini terjadi, berarti hadis itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan keorisinilannya. Jadi, menurut pertimbangan akal (logika),
sanad bersambung merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
hadis yang dijadikan hujjah.
Pada
dasarnya penelitian ini mengemukakan kualitas hadits-hadits tentang nikah
mut’ah yang sudah disepakati eksistensinya oleh kedua belah fihak
(Shi’ah-Sunni) bahwa nikah mut’ah pernah dilakukan pada masa Nabi dan sahabat.
Berdasarkan
kaidah kesahihan sanad dan matan
hadits. Adapun pokok-pokok kaidah kesahihan
hadits adalah sebagai berikut :[3]
-
Hadith adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, taqrir dan sifatnya baik khalqiyah maupun khuluqiyah.
-
Unsur hadith ada tiga yaitu sanad, matan dan rawi.
-
Klasifikasi hadith ditinjau dari kuantitas sanad terdiri dari Mutawatir
(lafdzi, ma’nawi dan amali) serta Ahad (mashhur, Aziz dan gharib). Sedangkan
ditinjau dari segi kualitas sanadnya, hadith terdiri dari 3 yaitu : sahih,
hasan yang keduanya terbagi menjadi li zatihi dan li ghairihi, dan dha’if.
- Kaedah kesahihan sanad adalah segala syarat
kreteria/ unsure yang harus dipenuhi
oleh suatu sanad yang berkualitas
sahih (sahih alisnad) yang tidak disertai matannya. Tolok ukur hadith sahih
telah ditetapkan sejak masa ulama’ mutaqaddimin, namun masih bersifat umum dan
dikembangkan oleh ulama’.berikutnya dengan lebih sistematis yaitu meliputi lima
unsur : sanad bersambung,perawi yang adil dan dabit, tidak adanya shadh dan
illat. Kedua unsur teakhir tidak
hanya berlaku pada sanad melainkan
juga pada matan.
- Kaidah kesahihan matan (metode
kritik matan) telah ada sejak zama Nabi sebagai
proses konsolidasi. Unsurnya terhindar
dari shadh dan illat sebagaimana sanad, dalamatan hadith juga sulit dilakukan
penelitian karena tidak adanya langkah-langkahmetodologis. Yang dimaksud dengan
sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayatan dalam sanad Hadits menerima
riwayat Hadits dari
periwayatan terdekat sebelumnya;
keadaan itu berlangsung sampai demikian sampai ahir sanadHadits. Persamaan itu terjadi semenjak
mukharrijHadits( penghimpun riwayat
Hadits dalam kitabnya ), sampai periwayatan pertama dikalangan sahabat yang
menerima Hadits yang
bersangkutan dari Nabi[4].
Dengan kata lain, sanad Hadits tersambung sejak sanad pertama (mukharrij
Hadits) sampai sanad terakhir (kalangan sahabat) hinga Nabi Muhammad, atau
persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada periwayatan pertama (kalangan
sahabat) sampai periwayatan terakhir ( mukharrij Hadits).
2.
HASAN
Hadits Hasan, yaitu
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah
tingkatan kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak
terdapat cacat. Para ulama membagi
hadits hasan kepada dua bagian, yaitu:
1) Hadits Hasan Lidzatihi, yaitu
hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria hasan dan tidak memerlukan
bantuan yang lain untuk mengangkatnya kederajat hasan.
2) Hadits Hasan Lighairihi, yaitu
hadits dhaif apabila jalannya lebih dari satu (diriwayatkan oleh perawi yang
lain) dan sebab kedhaifannya bukan karena fasik atau pendusta.
Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa sistematika penulisan kitab ynag digunakan dalam
penulisan kitab hadits telah banyak mengalami perubahan. Dimulai pada abad
kedua hijriyah, yaitu pada masa sebelum atbƗ'
atbƗ’ al-tƗbi’Ưn,
sistematika penulisan hadits pada saat itu pada umumnya menggunakan sistem
musnad. Dengan kata lain bahwa penulisan hadits didasarkan kepada pengelompokan
yang disesuaikan dengan rangkaian nama isnƗd
atau rangkaian perawi haditsnya tanpa dibatasi dengan materi hadits yang ada,
sehingga yang terjadi adalah hadits tentang shalat berdampingan dengan hadits
yang membicarakan tentang zakat. Sistematika penulisan ini seperti yang
diterapkan oleh Ahmab ibn Hanbal.[5]
Dapat dicontohkan sistem penulisan ini misalnya hadits yang berasal dari Umar
ibn Khattab, hadits Aisyah dan sebagainya. Di samping musnad, penulisan hadits
adakalanya juga menggunakan sistem mu'jam yaitu mengelompokkan hadits sesuai
dengan awalan nama dari perawi hadits tersebut, hal ini sepertiyang diterangkan
oleh Abu Qasim al-Tabrani (w. 260 H) dalam kitab haditsnya al-Mu'jam al-KabƯr.
Dalam meneliti kualitas suatu hadits
(shahih, hasan, dhaif) diperlukan kaidah kritik sanad dan matan hadits, yang
mana kaedah tersebut dapat diketahui dari pengertian hadits shahih yang
disampaikan oleh para ulama hadits, seperti ibn alShalah (w. 643 H), ia
mengatakan hadits shahih adalah:“ hadits yang bersambung sanadnya (sampai
kepada nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith
sampai
akhir sanad, didalam hadits tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (illat)”. Dari pengertian istilah tersebut, dapat dinyatakan bahwa
kriteria untuk keshahihan sanad adalah sanad bersambung, periwayat bersifat
adil dan dhabith,
terhindar
dari syudzudz dan illat (syudzudz dan illat ini juga termasuk kriteria untuk keshahihan
matan hadits).
3.DAI’F
Secara
bahasa hadis da‘ if adalah lawan kata dari qawi (kuat). Da‘ if mempunyai dua
tinjauan yaitu secara inderawi dan maknawi, akan tetapi yang dikehendaki di
sini adalah da‘ if secara maknawi. Sedangkan menurut istilah, hadis da‘ if
adalah suatu hadis yang tidak terkumpul padanya sifat dari hadis hasan , karena
hilangnya salah satu syarat-syaratnya. Menurut al-Biquni, menyatakan bahwa tiap
hadis da‘ if yang dalam tingkatan lebih rendah dari hadis hasan , maka dia itu
hadis da‘ if yang banyak macamnya.[6]
Hadits
Dhaif, yaitu suatu hadits yang kehilangan salah satu syarat dari hadits maqbul
(yang dapat diterima), diantaranya terputusnya hubungan antara satu perawi
dengan perawi lain, ataupun terdapatnya cacat pada diri salah seorang perawi atau
matan dari suatu hadits. Adapun ditinjau dari sebab kedhaifan hadits tersebut,
maka hadits dhaif dibagi menjadi dua, yaitu[7]:
1)
Hadits Dhaif Karena Sebab Terputusnya
Sanad.
Ditinjau
dari sebab terputusnya sanad ini, maka hadits tersebut dibagi kepada:
a)Hadits Muallaq, yaitu hadits yang
dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut b)
Hadits Mursal, yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya seorang perawi sesudah
tabi’I (menghilangkan sahabat).
c) Hadits Mu’dhal, yaitu hadits yang
gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut, baik itu
terjadi diawal, dipertengahan, atau diakhir sanad.
d) Hadits Munqathi’, yaitu hadits yang
tidak bersambung sanadnya, dan keterputusan sanad tersebut bisa terjadi dimana
saja.
e) Hadits Mudallas, yaitu
menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkan pada lahirnya seperti baik.
2) Hadits Dhaif karena Cacat yang Dimiliki Perawinya.
Ditinjau dari sebab kecacatan yang
dimiliki perawinya, maka hadits dhaif ini dibagi kepada:
a) Hadits Maudhu’, yaitu hadits yang
diada-adakan dan dibuat-buat yang
selanjutnya dinisbatkan kepada
Rasulullah SAW12.
Ciri-ciri hadits maudhu’ pada sanad
hadits dapat diketahui apabila terdapatnya pengakuan dari si pemalsu itu
sendiri bahwa ia telah memalsukan hadits, kenyataan sejarah yang menunjukkan
bahwa perawi tidak bertemu dengan orang yang diakui sebagai gurunya, terdapat
gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang ia diriwayatkan, perawi
tersebut dikenal sebagai seorang pendusta sementara yang ia riwayatkan tersebut
tidak pula diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih dipercaya. [8]
Adapun ciri-ciri hadits maudhu’ dari
segi matan diketahui apabila terdapat kerancuan pada lafaz hadits yang
diriwayatkan, tidak dapat diterima akal, bertentangan dengan Nash, hadits
mutawatir, atau ijma’, kemudian
hadits yang menyalahi fakta sejarah
yang terjadi masa Nabi SAW, matan hadits mendukung mazhabnya sendiri, suatu
riwayat mengenai peristiwa besar yang terjadi dihadapan umum tetapi hanya
diriwayatkan oleh seorang
perawi saja, dan hadits yang
menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan kecil, dan biasanya
hadits-hadits ini terdapat pada kisah-kisah.
b) Hadits Matruk, yaitu hadits yang
terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta, dan hadits tersebut tidak
diketahui kecuali hanya pada melalui jalannya. Pada umumnya seorang perawi yang
tertuduh dusta adalah karena ia dikenal sebagai pembohong dalam pembicaraan
sehari hari, namun, bukan secara nyata kebohongan tersebut ditujukan terhadap hadits
Nabi SAW. [9]
c) Hadits Munkar, yaitu hadits yang
menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak
kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan karena
dusta.
d) Hadits Muallal, yaitu hadits yang
apabila diteliti secara cermat terdapat padanya ‘illat yang merusak ke-shahihan
hadits, meskipun secara lahir tidak tanpak cacatnya.
e) Hadits Mudraj, yaitu hadits yang
terdapat padanya tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
f) Hadits Maqlub, yaitu mengganti
suatu lafaz dengan lafaz yang lain pada sanad hadits atau matannya dengan cara
mendahulukan atau mengkemudiankannya. Contohnya: menggantikan nama perawi
menjadi nama ayahnya atau sebaliknya, seperti mengganti Ka’ab ibn Murrah
menjadi Murrah ibn Ka’abah.
g) Hadits Mudhtharib, yaitu hadits
yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berbeda dan saling bertentangan
antara satu dengan yang lainnya, sementara perbedaan dan pertentangan tersebut
tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat ditajrih karena masing-masing bentuk
sama kuatnya.
h) Hadits Mushahhaf, yaitu hadits yang
terdapat perubahan satu huruf atas beberapa huruf dengan perubahan titik, sementara
bentuk tulisannya tetap.
i)
Hadits Syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun
bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau lebih baik dari
padanya.
Dari beberapa
definisi hadis da‘if menurut para ulama, dapat disimpulkan bahwa hadis da‘ if
adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan maupun maqbul seperti
sanadnya tidak bersambung, periwayatnya tidak adil dan dabit , terjadi
keganjilan baik dalam sanad maupun matan dan terjadinya cacat (illat) pada
sanad dan matan. Hadis da‘ if mempunyai tingkatan sesuai dengan keparahan
keda‘if -an para perawinya. [10]Sebagaimana
terjadi pada hadis sahih yang mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan hadis
da‘ if ada yang
da‘ if , sangat da‘ if , mungkar dan paling
parah adalah maudu ’. Dengan mendasarkan
pemikiran bahwa dalam hadis sahih terdapat apa yang disebut dengan asahul asanid,
maka para ulama dalam membahas hadis da‘ if pun menyebut apa yang dinamai
dengan ‚ auhal asanid‛. Imam al-Hakim telah mengemukakan sejumlah orang yang
tergolong auhal asanid, seperti yang dinisbahkan kepada Abu Bakar al-Siddiq.
Sadaqah bin Musa al-Daqiqi ra dari Furqad al-Subkhi dari Marrah al-Tabib dari
Abu Bakar. Auhal as an id ash shamiyyin (Muhammad bin Qais al-Maslub) dari
Ubaidillah bin Zahr dari Alibin
Yazid dari Qasim dari Umamah.
Kesimpulan
Dari uraian yang
telah lalu dapatlah penulis simpulkan beberapa hal berikut ini: pertama, suatu
hadis dinyatakan muttasil sanadnya apabila masing-masing perawi dengan perawi
terdekat sebelumnya telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadis dan menurut ketentuan historis.
Kedua, Kesi qah-an
(keadilan plus ke dâbit an) bukan merupakan hal yang essensial dalam menentukan
kemuttasilan sanad. Keadilan perawi semata (tanpa ke dâbit an) telah bisa
mencukupi, asalkan perawi itu idak tergolong mudallis dalam kasus
periwayatannya dengan bentuk ‘an ‘anah. Meskipun demikian, kemuttasilan sanad
yang seluruh perawinya berkualitas ‘adil dan dâbit ( siqah ) dipandang lebih
akurat dibanding dengan apabila seluruh atau sebagian perawinya hanya
berkualitas adil semata.
1. Hadits tentang mengazankan anak yang baru
lahir diriwayatkan oleh lima jalur, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, dan tiga jalur
dari Ahmad ibn Hanbal. Ditinjau dari segi periwayatan, hadits diatas adalah
hadits ahad yang dikategorikan gharib Muthlaq. Sedangkan dari segi tempat
penyandarannya hadits diatas merupakan hadits marfu’ yang berkualitas dhaif.
Kedhaifan terletak pada keterputusan sanad hadits hadits pada persambungan
sanad antara Ahim ibn Ubaidillah dengan Ubaidillah ibn Abi Rafi’, hal itu
dikarenakan Ashim dinilai sebagai seorang yang dhaif oleh para kritikus hadits.
Selanjutnya dikarenakan semua sanad dinilai dhaif dan tidak ada hadits lain
yang mendukung, maka dari sisi matan pun dinilai hadits tersebut dinilai dhaif.
2. Walaupun kualitas
hadits-hadits tentang mengazankan anak yang baru lahir diatas adalah dhaif,
namun amalan itu boleh dilakukan sebagai fadha’il al-a’mal. Hal itu karena
mempertimbangkan sebagian ulama dan juga dampak positif dari perbuatan tersebut.
3. Setelah dilakukan
penelitian terhadap hadits tersebut, maka dapat dipahami bahwa azan tersebut
merupakan wujud dari didikan orang tua terhadap anaknya dan juga bentuk rasa
syukur dan doa orang tua terhadap anaknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bullah, Habieb. “PENINGKATAN KUALITAS HADIS DA’IF
KARENA JAHALAT AL-RUWAH MENURUT MUHAMMAD ‘AJJAJ AL-KHATIB DAN MAHMUD AL-TAHHAN:
STUDI KOMPARATIF.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Edy,
Relit Nur. “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah).” ASAS
6, no. 2 (2014).
Haif,
Abu. “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH.” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan
4, no. 1 (2016).
Hidayah,
Neli. “STUDI KUALITAS HADITS TENTANG MENGAZANKAN ANAK YANG BARU LAHIR.” PhD
Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2010.
Nasution,
Al Hafidh. “Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah.” Jurnal
Penelitian Medan Agama, 2018.
PUTRA,
ANDRI. “Konsep ‘Adalah Dan Dhabth Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib Dan Ja’Far
Subhani (Studi Komparatif Kitab Ushul Al-Hadits Dan UshulHadits Wa Ahkamuhu).”
PhD Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013.
Sofiah,
Sofiah. “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD
SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO.” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2
(2018): 189–210.
Su’aidi,
Hasan. “Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Kitab Hadits H̜asan).” RELIGIA,
2017.
Syamsuddin,
Sahiron. “KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat
Syuhudi Ismail).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 15, no. 1
(2014).
Ubet,
Abdulloh. “KUALITAS HADITH-HADITH TENTANG NIKAH MUT’AH: STUDI KRITIK HADITH DAN
APLIKASI KEHUJJAHANNYA.” Penelitian Individu, 2013.
[1]
Sahiron Syamsuddin, “KAIDAH KEMUTTASILAN
SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail),” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 15, no. 1 (2014)hlm: 7-18
[2]
Neli Hidayah, “STUDI KUALITAS HADITS
TENTANG MENGAZANKAN ANAK YANG BARU LAHIR” (PhD Thesis, Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2010) hlm: 22-90
[3]
Abdulloh Ubet, “KUALITAS HADITH-HADITH
TENTANG NIKAH MUT’AH: STUDI KRITIK HADITH DAN APLIKASI KEHUJJAHANNYA,” Penelitian
Individu, 2013.hlm:7-20
[4]
ANDRI PUTRA, “Konsep ‘Adalah Dan Dhabth
Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib Dan Ja’Far Subhani (Studi Komparatif Kitab
Ushul Al-Hadits Dan UshulHadits Wa Ahkamuhu)” (PhD Thesis, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013) hlm: 10-65
[5]
Hasan Su’aidi, “Mengenal Kitab Sunan
Al-Tirmidzi (Kitab Hadits H̜asan),” RELIGIA, 2017 hlm: 3-15
[6]
Sofiah Sofiah, “KUALITAS SANAD HADIST
DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO,”
JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018) hlm: 189–210.
[7]
Habieb Bullah, “PENINGKATAN KUALITAS
HADIS DA’IF KARENA JAHALAT AL-RUWAH MENURUT MUHAMMAD ‘AJJAJ AL-KHATIB DAN
MAHMUD AL-TAHHAN: STUDI KOMPARATIF” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya,
2016) hlm : 7-51
[8]
Al Hafidh Nasution, “Kritik Konsep Hadis
Shahih Dalam Perspektif Syi’ah,” Jurnal Penelitian Medan Agama, 2018 hlm
: 2-77
[9]
Abu Haif, “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH,”
Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016) hlm : 2-57
[10] Relit Nur Edy, “AS-SUNNAH (H
ADITS)(Suatu
Kajian Aliran Ingkar Sunnah),” ASAS 6, no. 2 (2014) hlm: 25-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar