Senin, 21 Oktober 2019

Pembagian Hadits Dari Segi Kualitas Sanad,Hasan Dan Da'if


PEMBAGIAN HADIS KUALITAS SANAD,DA’IF
     
 
inspirasi
A. 
Pendahuluan
Telah menjadi kesepakatan ulama bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.,—yang kemudian diajarkan kepada umatnya, sebagian besar ayat-ayatnya masih bersifat global, tidak rinci. Misalnya, ketika al-Qur’an memerintah shalat, ia tidak menerangkan caracara melaksanakannya, tidak menerangkan apa saja yang menjadi syarat-syarat sahnya dan tidak pula menjelaskan apa saja yang menjadi rukun-rukunnya. Demikian pula, al-Qur’an memerintah zakat, namun tidak memaparkan batasan jumlah minimal harta yang wajib dizakati, ukuran dan syarat-syaratnya. Semua itu tentunya membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW., dalam statusnya sebagai pembawa risalah Allah. Keterangan Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan, itulah yang biasa dikenal dengan istilah Hadis Nabi. Karena itu, hadis Nabi merupakan hujjah  dalam syari’at Islam, setelah al-Qur’an. Hadis, meskipun merupakan hujjah , namun keadaannya tidak seperti al-Qur’an. Al-Qur’an setelah diajarkan oleh Nabi kepada sahabatnya, ditulis oleh mereka yang mampu, seperti Zayd ibn Sabit, Ubay ibn Ka’b dan lain-lain, dalam berbagai tempat yang memungkinkan. Kegiatan mereka itu berada di bawah perintah dan pengawasan Nabi secara langsung. Sebelum beliau meninggal dunia, al-Qur’an telah selesai ditulis seluruhnya, meskipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Selanjutnya, penulisan al-Qur’an diperbaiki pada masa pemerintahan Abu Bakar dan disempurnakan pada masa pemerintahan ‘Usman ibn ‘Affan. Dengan demikian, otentisitas al-Qur’an dapat dipertanggungjawabkan secara meyakinkan. Berbeda dengan sejarah penulisan hadis. Rasulullah SAW., mengajarkan hadis-hadisnya kepada para sahabatnya, baik dalam rangka menerangkan maksud ayat al-Qur’an maupun dalam rangka yang lain. Metode-metode yang dipakai oleh beliau dalam hal ini, dapat dikategorisasikan ke dalam tiga kelompok, yakni pengajaran secara verbal (lisan), pengajaran tertulis (dikte kepada para ahli) dan demonstrasi secara praktis. Namun, ia meninggal dunia saat Ibn Hazm belum dapat menyelesaikan tugasnya. Selain kepada Ibn Hazm, beliau telah memerintah juga kepada ulama lain, seperti al-Zuhri. Al-Zuhri-lah yang pertama kali menyelesaikan penulisannya.12 Penulisan terus berlangsung  pada abad-abad berikutnya. Meskipun pada awal abad II H dan abad-abad berikutnya hadis Nabi telah dibukukan, namun hadis-hadis yang beredar saat itu telah bercampur baur, antara hadis-hadis yang autentik dari Nabi dengan yang palsu, antara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tidak s}iqah (tidak adil dan atau tidak d}âbit ) , dan antara hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dengan yang diriwayatkan dengan sanad yang tidak bersambung (muttasil). Memang, pada abad III H ada sebagian ulama yang hanya menghimpun hadis-hadis sahih semata, yakni antara lain al-Bukhari dan Muslim, dalam kitab Sahihnya. Akan tetapi dari segi kuantitas, hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab tersebut tidak seberapa jumlahnya dibanding dengan yang telah beredar saat itu. Selain itu, tidak semua hadis sahih terdapat di dalamnya. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan mereka sendiri. Al-Bukhari berkata: “Tidak aku masukkan dalam kitab al-Jami’ al-Sahih melainkan hadis-hadis yang sahih semata. Dan aku tinggalkan banyak hadis sahih sebab khawatir (kitabku) terlalu panjang.” Muslim pun berkata: “Tidak semua hadis sahih menurutku saya masukkan dalam kitab sahihku ini.[1]
1.   SANAD
Sanad secara bahasa berarti al-Mu’tamad yaitu yang dipegangi atau yang bisa dijadikan pegangan. Sedangkan secara istilah sanad berarti jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Adapun maksud dari perawi itu sendiri adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits secara sendirian terhadap apa yang didengar atau diterima dari gurunya[2].Sebelum membahas kemuttasilan sanad hadis, penulis terlebih dahulu hendak menyampaikan bahwa penelitian dan pembahasan tentang kemuttasilan sanad merupakan bagian dari perhatian terhadap sanad hadis itu sendiri. Ulama sangat besar perhatiannya terhadap sanad hadis, di samping juga kepada matannya. Ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis. Keempat faktor ini ialah: (1) hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam; (2) hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi SAW; (3) munculnya pemalsuan hadis; (4) proses penghimpunan hadis.16 Kemuttasilan sanad—yang merupakan bagian dari penelitian sanad hadis—didefinisikan bahwa setiap perawi pada sanad itu mendengar atau menerima hadis secara langsung dari perawi terdekat sebelumnya. Kondisi ini berlangsung dari awal sanad hingga akhir sanad.17 Bersambungnya sanad oleh ulama dipandang sebagai salah satu syarat kehujjah an suatu hadis dengan beralasan: Tradisi periwayatan pada masa Nabi dan sahabat, yang
a.)          terbanyak berlangsung secara al-Sama’ (mendengar). Dalam cara ini, telah terjadi hubungan langsung antara penyampai dan penerima riwayat. Apabila hal ini terjadi dalam sanad, maka sanad dimaksud dinyatakan bersambung. Kalau demikian, argumentasi ini bersifat histori Nabi SAW., bersabda: “b.) Kalian mendengar (hadis) dari saya, kemudian dari kalian hadis ini didengar oleh orang lain dan dari dia hadis yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi.”Hadis ini menunjukkan bahwa tersebarnya hadis Nabi sampai ke generasi berikutnya melalui proses persambungan sanad.
 c.)Perhimpunan hadis secara resmi dan massal baru terjadi padaabad kedua dan ketiga hijriyah. Sebelum masa penghimpunan tersebut, periwayatan hadis pada umumnya berlangsung secara lisan. Kalau begitu, antara Nabi dengan para penghimpun hadis terdapat mata rantai para perawi. Apabila mata rantai perawi itu terputus, maka berarti telah terjadi keterputusan sumber. Apabila hal ini terjadi, berarti hadis itu tidak dapat dipertanggungjawabkan keorisinilannya. Jadi, menurut pertimbangan akal (logika), sanad bersambung merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang dijadikan hujjah.
 Pada dasarnya penelitian ini mengemukakan kualitas hadits-hadits tentang nikah mut’ah yang sudah disepakati eksistensinya oleh kedua belah fihak (Shi’ah-Sunni) bahwa nikah mut’ah pernah dilakukan pada masa Nabi dan sahabat. Berdasarkan
kaidah kesahihan sanad dan matan hadits. Adapun pokok-pokok kaidah kesahihan
hadits adalah sebagai berikut :[3]
- Hadith adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir dan sifatnya baik khalqiyah maupun khuluqiyah.
- Unsur hadith ada tiga yaitu sanad, matan dan rawi.
- Klasifikasi hadith ditinjau dari kuantitas sanad terdiri dari Mutawatir (lafdzi, ma’nawi dan amali) serta Ahad (mashhur, Aziz dan gharib). Sedangkan ditinjau dari segi kualitas sanadnya, hadith terdiri dari 3 yaitu : sahih, hasan yang keduanya terbagi menjadi li zatihi dan li ghairihi, dan dha’if.
- Kaedah kesahihan sanad adalah segala syarat kreteria/ unsure yang harus dipenuhi
oleh suatu sanad yang berkualitas sahih (sahih alisnad) yang tidak disertai matannya. Tolok ukur hadith sahih telah ditetapkan sejak masa ulama’ mutaqaddimin, namun masih bersifat umum dan dikembangkan oleh ulama’.berikutnya dengan lebih sistematis yaitu meliputi lima unsur : sanad bersambung,perawi yang adil dan dabit, tidak adanya shadh dan illat.  Kedua unsur teakhir tidak
hanya berlaku pada sanad melainkan juga pada matan.
- Kaidah kesahihan matan (metode kritik matan) telah ada sejak zama Nabi sebagai
proses konsolidasi. Unsurnya terhindar dari shadh dan illat sebagaimana sanad, dalamatan hadith juga sulit dilakukan penelitian karena tidak adanya langkah-langkahmetodologis. Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayatan dalam sanad Hadits menerima riwayat Hadits dari
periwayatan terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung sampai demikian sampai ahir  sanadHadits. Persamaan itu terjadi semenjak
mukharrijHadits( penghimpun riwayat Hadits dalam kitabnya ), sampai periwayatan pertama dikalangan sahabat yang menerima Hadits yang
bersangkutan dari Nabi[4]. Dengan kata lain, sanad Hadits tersambung sejak sanad pertama (mukharrij Hadits) sampai sanad terakhir (kalangan sahabat) hinga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada periwayatan pertama (kalangan sahabat) sampai periwayatan terakhir ( mukharrij Hadits).
2.   HASAN
Hadits Hasan, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkatan kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak
terdapat cacat. Para ulama membagi hadits hasan kepada dua bagian, yaitu:
1) Hadits Hasan Lidzatihi, yaitu hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria hasan dan tidak memerlukan bantuan yang lain untuk mengangkatnya kederajat hasan.
2) Hadits Hasan Lighairihi, yaitu hadits dhaif apabila jalannya lebih dari satu (diriwayatkan oleh perawi yang lain) dan sebab kedhaifannya bukan karena fasik atau pendusta.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistematika penulisan kitab ynag digunakan dalam penulisan kitab hadits telah banyak mengalami perubahan. Dimulai pada abad kedua hijriyah, yaitu pada masa sebelum atbƗ' atbƗ al-tƗbiƯn, sistematika penulisan hadits pada saat itu pada umumnya menggunakan sistem musnad. Dengan kata lain bahwa penulisan hadits didasarkan kepada pengelompokan yang disesuaikan dengan rangkaian nama isnƗd atau rangkaian perawi haditsnya tanpa dibatasi dengan materi hadits yang ada, sehingga yang terjadi adalah hadits tentang shalat berdampingan dengan hadits yang membicarakan tentang zakat. Sistematika penulisan ini seperti yang diterapkan oleh Ahmab ibn Hanbal.[5] Dapat dicontohkan sistem penulisan ini misalnya hadits yang berasal dari Umar ibn Khattab, hadits Aisyah dan sebagainya. Di samping musnad, penulisan hadits adakalanya juga menggunakan sistem mu'jam yaitu mengelompokkan hadits sesuai dengan awalan nama dari perawi hadits tersebut, hal ini sepertiyang diterangkan oleh Abu Qasim al-Tabrani (w. 260 H) dalam kitab haditsnya al-Mu'jam al-KabƯr. Dalam meneliti kualitas suatu hadits (shahih, hasan, dhaif) diperlukan kaidah kritik sanad dan matan hadits, yang mana kaedah tersebut dapat diketahui dari pengertian hadits shahih yang disampaikan oleh para ulama hadits, seperti ibn alShalah (w. 643 H), ia mengatakan hadits shahih adalah:“ hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith
sampai akhir sanad, didalam hadits tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (illat)”. Dari pengertian istilah tersebut, dapat dinyatakan bahwa kriteria untuk keshahihan sanad adalah sanad bersambung, periwayat bersifat adil dan dhabith,
terhindar dari syudzudz dan illat (syudzudz dan illat ini juga termasuk kriteria untuk keshahihan matan hadits).
3.DAI’F
Secara bahasa hadis da‘ if adalah lawan kata dari qawi (kuat). Da‘ if mempunyai dua tinjauan yaitu secara inderawi dan maknawi, akan tetapi yang dikehendaki di sini adalah da‘ if secara maknawi. Sedangkan menurut istilah, hadis da‘ if adalah suatu hadis yang tidak terkumpul padanya sifat dari hadis hasan , karena hilangnya salah satu syarat-syaratnya. Menurut al-Biquni, menyatakan bahwa tiap hadis da‘ if yang dalam tingkatan lebih rendah dari hadis hasan , maka dia itu hadis da‘ if yang banyak macamnya.[6]
Hadits Dhaif, yaitu suatu hadits yang kehilangan salah satu syarat dari hadits maqbul (yang dapat diterima), diantaranya terputusnya hubungan antara satu perawi dengan perawi lain, ataupun terdapatnya cacat pada diri salah seorang perawi atau matan dari suatu hadits. Adapun ditinjau dari sebab kedhaifan hadits tersebut, maka hadits dhaif dibagi menjadi dua, yaitu[7]:
1) Hadits Dhaif  Karena Sebab Terputusnya Sanad.
Ditinjau dari sebab terputusnya sanad ini, maka hadits tersebut dibagi kepada:
a)Hadits Muallaq, yaitu hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut b) Hadits Mursal, yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya seorang perawi sesudah tabi’I (menghilangkan sahabat).
c) Hadits Mu’dhal, yaitu hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut, baik itu terjadi diawal, dipertengahan, atau diakhir sanad.
d) Hadits Munqathi’, yaitu hadits yang tidak bersambung sanadnya, dan keterputusan sanad tersebut bisa terjadi dimana saja.
e) Hadits Mudallas, yaitu menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkan pada lahirnya seperti baik.
2) Hadits Dhaif  karena Cacat yang Dimiliki Perawinya.
Ditinjau dari sebab kecacatan yang dimiliki perawinya, maka hadits dhaif ini dibagi kepada:
a) Hadits Maudhu’, yaitu hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat yang
selanjutnya dinisbatkan kepada Rasulullah SAW12.
Ciri-ciri hadits maudhu’ pada sanad hadits dapat diketahui apabila terdapatnya pengakuan dari si pemalsu itu sendiri bahwa ia telah memalsukan hadits, kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa perawi tidak bertemu dengan orang yang diakui sebagai gurunya, terdapat gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang ia diriwayatkan, perawi tersebut dikenal sebagai seorang pendusta sementara yang ia riwayatkan tersebut tidak pula diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih dipercaya. [8]
Adapun ciri-ciri hadits maudhu’ dari segi matan diketahui apabila terdapat kerancuan pada lafaz hadits yang diriwayatkan, tidak dapat diterima akal, bertentangan dengan Nash, hadits mutawatir, atau ijma’, kemudian
hadits yang menyalahi fakta sejarah yang terjadi masa Nabi SAW, matan hadits mendukung mazhabnya sendiri, suatu riwayat mengenai peristiwa besar yang terjadi dihadapan umum tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi saja, dan hadits yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan kecil, dan biasanya hadits-hadits ini terdapat pada kisah-kisah.
b) Hadits Matruk, yaitu hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta, dan hadits tersebut tidak diketahui kecuali hanya pada melalui jalannya. Pada umumnya seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena ia dikenal sebagai pembohong dalam pembicaraan sehari hari, namun, bukan secara nyata kebohongan tersebut ditujukan terhadap hadits Nabi SAW. [9]
c) Hadits Munkar, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
d) Hadits Muallal, yaitu hadits yang apabila diteliti secara cermat terdapat padanya ‘illat yang merusak ke-shahihan hadits, meskipun secara lahir tidak tanpak cacatnya.
e) Hadits Mudraj, yaitu hadits yang terdapat padanya tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
f) Hadits Maqlub, yaitu mengganti suatu lafaz dengan lafaz yang lain pada sanad hadits atau matannya dengan cara mendahulukan atau mengkemudiankannya. Contohnya: menggantikan nama perawi menjadi nama ayahnya atau sebaliknya, seperti mengganti Ka’ab ibn Murrah menjadi Murrah ibn Ka’abah.
g) Hadits Mudhtharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berbeda dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, sementara perbedaan dan pertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat ditajrih karena masing-masing bentuk sama kuatnya.
h) Hadits Mushahhaf, yaitu hadits yang terdapat perubahan satu huruf atas beberapa huruf dengan perubahan titik, sementara bentuk tulisannya tetap.
 i) Hadits Syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau lebih baik dari padanya.
Dari beberapa definisi hadis da‘if menurut para ulama, dapat disimpulkan bahwa hadis da‘ if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan maupun maqbul seperti sanadnya tidak bersambung, periwayatnya tidak adil dan dabit , terjadi keganjilan baik dalam sanad maupun matan dan terjadinya cacat (illat) pada sanad dan matan. Hadis da‘ if mempunyai tingkatan sesuai dengan keparahan keda‘if -an para perawinya. [10]Sebagaimana terjadi pada hadis sahih yang mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan hadis da‘ if ada yang
da‘ if , sangat da‘ if , mungkar dan paling parah adalah maudu ’.  Dengan mendasarkan pemikiran bahwa dalam hadis sahih terdapat apa yang disebut dengan asahul asanid, maka para ulama dalam membahas hadis da‘ if pun menyebut apa yang dinamai dengan ‚ auhal asanid‛. Imam al-Hakim telah mengemukakan sejumlah orang yang tergolong auhal asanid, seperti yang dinisbahkan kepada Abu Bakar al-Siddiq. Sadaqah bin Musa al-Daqiqi ra dari Furqad al-Subkhi dari Marrah al-Tabib dari Abu Bakar. Auhal as an id ash shamiyyin (Muhammad bin Qais al-Maslub) dari Ubaidillah bin Zahr dari Alibin
Yazid dari Qasim dari Umamah.












Kesimpulan
Dari uraian yang telah lalu dapatlah penulis simpulkan beberapa hal berikut ini: pertama, suatu hadis dinyatakan muttasil sanadnya apabila masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadis dan menurut ketentuan historis.
Kedua, Kesi qah-an (keadilan plus ke dâbit an) bukan merupakan hal yang essensial dalam menentukan kemuttasilan sanad. Keadilan perawi semata (tanpa ke dâbit an) telah bisa mencukupi, asalkan perawi itu idak tergolong mudallis dalam kasus periwayatannya dengan bentuk ‘an ‘anah. Meskipun demikian, kemuttasilan sanad yang seluruh perawinya berkualitas ‘adil dan dâbit ( siqah ) dipandang lebih akurat dibanding dengan apabila seluruh atau sebagian perawinya hanya berkualitas adil semata.
1.  Hadits tentang mengazankan anak yang baru lahir diriwayatkan oleh lima jalur, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, dan tiga jalur dari Ahmad ibn Hanbal. Ditinjau dari segi periwayatan, hadits diatas adalah hadits ahad yang dikategorikan gharib Muthlaq. Sedangkan dari segi tempat penyandarannya hadits diatas merupakan hadits marfu’ yang berkualitas dhaif. Kedhaifan terletak pada keterputusan sanad hadits hadits pada persambungan sanad antara Ahim ibn Ubaidillah dengan Ubaidillah ibn Abi Rafi’, hal itu dikarenakan Ashim dinilai sebagai seorang yang dhaif oleh para kritikus hadits. Selanjutnya dikarenakan semua sanad dinilai dhaif dan tidak ada hadits lain yang mendukung, maka dari sisi matan pun dinilai hadits tersebut dinilai dhaif.
2. Walaupun kualitas hadits-hadits tentang mengazankan anak yang baru lahir diatas adalah dhaif, namun amalan itu boleh dilakukan sebagai fadha’il al-a’mal. Hal itu karena mempertimbangkan sebagian ulama dan juga dampak positif dari perbuatan tersebut.
3. Setelah dilakukan penelitian terhadap hadits tersebut, maka dapat dipahami bahwa azan tersebut merupakan wujud dari didikan orang tua terhadap anaknya dan juga bentuk rasa syukur dan doa orang tua terhadap anaknya.


DAFTAR PUSTAKA
Bullah, Habieb. “PENINGKATAN KUALITAS HADIS DA’IF KARENA JAHALAT AL-RUWAH MENURUT MUHAMMAD ‘AJJAJ AL-KHATIB DAN MAHMUD AL-TAHHAN: STUDI KOMPARATIF.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Edy, Relit Nur. “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah).” ASAS 6, no. 2 (2014).
Haif, Abu. “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH.” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016).
Hidayah, Neli. “STUDI KUALITAS HADITS TENTANG MENGAZANKAN ANAK YANG BARU LAHIR.” PhD Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2010.
Nasution, Al Hafidh. “Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah.” Jurnal Penelitian Medan Agama, 2018.
PUTRA, ANDRI. “Konsep ‘Adalah Dan Dhabth Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib Dan Ja’Far Subhani (Studi Komparatif Kitab Ushul Al-Hadits Dan UshulHadits Wa Ahkamuhu).” PhD Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013.
Sofiah, Sofiah. “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO.” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018): 189–210.
Su’aidi, Hasan. “Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Kitab Hadits H̜asan).” RELIGIA, 2017.
Syamsuddin, Sahiron. “KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 15, no. 1 (2014).
Ubet, Abdulloh. “KUALITAS HADITH-HADITH TENTANG NIKAH MUT’AH: STUDI KRITIK HADITH DAN APLIKASI KEHUJJAHANNYA.” Penelitian Individu, 2013.



[1] Sahiron Syamsuddin, “KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 15, no. 1 (2014)hlm: 7-18
[2] Neli Hidayah, “STUDI KUALITAS HADITS TENTANG MENGAZANKAN ANAK YANG BARU LAHIR” (PhD Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2010) hlm: 22-90
[3] Abdulloh Ubet, “KUALITAS HADITH-HADITH TENTANG NIKAH MUT’AH: STUDI KRITIK HADITH DAN APLIKASI KEHUJJAHANNYA,” Penelitian Individu, 2013.hlm:7-20
[4] ANDRI PUTRA, “Konsep ‘Adalah Dan Dhabth Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib Dan Ja’Far Subhani (Studi Komparatif Kitab Ushul Al-Hadits Dan UshulHadits Wa Ahkamuhu)” (PhD Thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013) hlm: 10-65
[5] Hasan Su’aidi, “Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Kitab Hadits H̜asan),” RELIGIA, 2017 hlm: 3-15
[6] Sofiah Sofiah, “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO,” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018) hlm: 189–210.
[7] Habieb Bullah, “PENINGKATAN KUALITAS HADIS DA’IF KARENA JAHALAT AL-RUWAH MENURUT MUHAMMAD ‘AJJAJ AL-KHATIB DAN MAHMUD AL-TAHHAN: STUDI KOMPARATIF” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016) hlm : 7-51
[8] Al Hafidh Nasution, “Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah,” Jurnal Penelitian Medan Agama, 2018 hlm : 2-77
[9] Abu Haif, “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH,” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016) hlm : 2-57
[10] Relit Nur Edy, “AS-SUNNAH (H
ADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah),” ASAS 6, no. 2 (2014) hlm: 25-65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar