Selasa, 08 Oktober 2019

Ulumul Hadis,Sejarah Perkembangannya :Pengertian,Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis Pada Periode Klasik,Pertengahan,Dan Modern


ULUMUL HADITS ,SEJARAH PERKEMBANGANNYA: PENGERTIAN,SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ULUMUL HADITS PADA PERIODE KLASIK,PERTENGAHAN,DAN MODERN


My friend 😊
PENDAHULUAN
Pada dasarnya Ulumul Hadis sudah ada sejak periwayatan Hadis di dalam Islam, setelah Rasul Saw. wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun Hadis Rasul dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-Hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan Hadis, mereka mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima Hadis, namun mereka belum menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa Ulumul Hadis ialah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada berkaitan dengan Hadis Rasul. Ilmu ini dapat memberikan penilaian apakah suatu Hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak memenuhi syarat sehingga harus ditolak.
Secara garis besarnya, ilmu Hadis dibedakan kepada ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk memelihara kemurnian Hadis-Hadis Rasul dan menghindarkannya dari kemungkinan-kemungkinan salah kutip dan kekeliruan lainnya. Adapun guna mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat memberikan kepastian kepada kita dalam menilai sebuah hadis, mana yang shahih dan mana pula yang tidak. Dengan kata lain, kajian Hadis Dirayah akan memnerikan keyakinan kepada kita dalam penerimaan Hadis yang dapat dijadikan Hujah. Ilmu ini di kalangan ulama Hadis disebut juga ‘illah al-hadits dan ‘ilm Musthalah al-Hadis.






BAB II
Pembahasan
A.   Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul Hadis terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadits. Kata ‘ulum dalam Bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”, tradisi di kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu. Sedangkan kata al-Hadits juga berasal dari Bahasa Arab yang berarti:  الجديد (yang baru). Di samping arti baru, al-Hadits juga mengandung arti dekat (القريب). Kata al-Hadits bisa juga berarti:  الخبر (berita).
Secara Terminologis, para Ulama Hadis mendefinisikan hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat”. 
Dengan demikian, gabungan kata ‘Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW”. Ilmu Hadis merupakan kaidah, dasar-dasar serta pedoman dalam menerima dan menolak suatu Hadis. Ilmu Hadis memberikan saham bagi pemeliharaan Hadis dan penjelasannya, membedakan antara Hadis yang shohih dan yang dho’if, yang selamat dan yang cacat, serta yang nasikh dan yang mansukh.[1]
Pada mulanya Ilmu Hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-ilmu Hadis secara parsial dilakukan khususnya oleh para Ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya Ibn Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh ar-Rijal, Muhammad Ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis at-Thabaqat, Ahmad Ibn Hanbal (241 H/855 M) menulis al-‘Ilal dan an-Nasikh wa al-Mansukh, Bukhari (256 H/870 M) menulis al-‘Ilal dan al-Kuna, Muslim (261 H/87 M) menulis Kitab al-Asma’ wa al-Kuna, Kitab at-Thabaqat dan Kitab al-‘Ilal, dan lain-lain.
·         Ilmu Hadis Riwayah 
Menurut Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits, bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul Saw. serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafadz-lafadznya.
·         Ilmu Hadis Dirayah
Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi – definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
1. Periode Klasik (Masa Nabi SAW-Abad 7 H)
  Membicarakan Hadis pada masa Rasul berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. sebagai sumber Hadis dan guru sunnah terbaik. Dalam periode inilah Hadis terbentuk dan diamalkan secara konsisten dan universal. Haditshadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh para sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi Hadits. Cara penerimaan Hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan Hadits dimasa generasi sesudahnya.  Penerimaan Hadis dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ ar-Rasyidin. Setelah mendapatkan Hadis para sahabat selanjutnya menghafal Hadis tersebut. Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian Hadits menyangkut sanad dan matan Hadis semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah Hadis. Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan oleh para tabiin. Periwayatan Hadis dipermulaan masa sahabat terutama pada masa. Abu Bakar dan Ummar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukannya saja, belum bersifat pelajaran[2]. Demikian perkembangan Ilmu Hadis pada periode ini yang kemudian disempurnakan kembali oleh Ulama-ulama yang datang belakangan. Pada masa ini pengaruh kodifikasi hukum Eropa, terutama kodifikasi hukum Perancis dan Jerman, sudah terasa diseluruh dunia, bahkan di belahan dunia yang dak pernah dijajah oleh bangsa Eropa. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara common law melalui penyebarluasan konsep dan aturan hukum dari tradisi hukum Inggris. Dengan demikian telah menghasilkan suatu konsep hukum yang harmonis dalam suatu keluarga hukum (legal family).
Sejarah perkembangan syarah hadis masa awal tidak dapat dipisahkan dengan hadis itu sendiri. Klasifikasi masa antara syarah dan hadis pada masa awal dapat dikatakan berjalanan bersamaan, pasalnya bentuk syarah pada masa awal (masa nabi) cendrung besifat klarifikasi atau tabayun, dimana seorang sahabat mengklarifikasi kebenaran suatua hadis yang telah diperoleh dari seorang perawi kepada nabi dengan bertujuan supaya memperoleh kejelasan apakah hadis demikian benar-benar disabdakan nabi (Abbas, 2004, hal. 27-28). Salah satu contoh ialah peristiwa tentang orang Arab pedalaman yang menyandarkan sebuah riwayat kepada nabi untuk meminang seorang perempuan, sehingga pihak keluarga dari yang tidak percaya akan hal tersebut mendatangi nabi dan mengklarifikasi. Meskipun hal tersebut bagian dari kritik hadis, namun pada dasarnya perkembangan hadis dan ilmu hadis pada masa awal berjalan bersamaan termasuk syarah hadis. Hal di atas menandakan bahwa embrio syarah hadis telah ada pada masa nabi namun belum bersifat formal, karena bentuk awal dari syarah hadis masih melekat dengan kehidupan nabi. [3]Pada sisi berbeda, masyarakat Arab awal belum membedakan setiap perilaku yang dikerjakan oleh nabi apakah bersifat kerasulan atau sebagai manusia biasa, apakah sebagai interpretasi Al Quran atau budaya orang-orang dahulu. Semua masih bersifat kebiasan yang belum dipikirkan untuk menjadi pedoman sistematis dalam kehidupan (Rahman, 2000, hal. 51). Sehingga konsekwensinya syarah hadis pada masa tersebut kita menggunakan kata fahm, ma’âni, dan syarah al Hadīth. Hal tersebut didasari sebuah argumentasi bahwa sebagai pemegang otoritas keagamaan nabi dapat menyelesaikan setiap permasalah yang dialami oleh masyarakat. Adapun bentuknya bisa teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari ataupun bisa juga menanyakan secara langsung kepada nabi dengan meminta dasar legitimasi keagamaan, oleh sebab itu nabi juga disebut Al Quran yang berjalan, seperti hadis yang diriwayatkan Aisyah (Hadis tersebut diriwayatkan oleh A’isyah yang berkata kana khuluquhu Al Quran (Tirmidzi, 1998, hal. 34). Pada masa selanjutnya, karakteristik syarah hadis mengalami pergeseran, meskipun cara yang ditempuh tidak jauh berbeda. Dengan masa yang relatif dekat serta sebagian hidupnya berinteraksi dengan nabi, para sahabat mempunyai pengetahuan yang cukup luas dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan pada masanya, karena mereka mengalami kehidupan nabi dan bahkan sebagian sahabat mengetahui koteks hadis tersebut disabdakan. Oleh sebab itu, tidak sulit bagi sahabat untuk memberikan komentar ataupun memahami sebuah hadis, dengan didukung kemampuan bahasa dan latar belakang yang memadai. Meski demikian, bukan berarti sahabat tidak mengalami kesulitan dalam memilah dan meneliti sebuah hadis untuk dapat dikatakan shahih. Usaha dalam menjaga otentisitas dan kredibilitas seorang perawi pada masa tersebut, dan mengantisipasi dari kemungkinan terdapatnya hadis-hadis palsu, dhoif dan perkataan sahabat, sehingga sahabat dianjurkan untuk tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang banyak dan menetapkan setiap sahabat yang memiliki status kredibilitas.
2. Periode pertengahan (Abad 7 H-Abad 14 H)
Di periode ini masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis masa ini dengan ‘asr attahzib wa ataqrib wa al-istidrak wa al-jam’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan). Penyusunan kitab-kitab pada periode ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. 
Para Ulama mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab Hadis. Ciri yang paling populer pada periode ini adalah munculnya sistem pembelajaran lewat Madrasah, berbeda dengan periode klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu tidak aneh bila kemunculan setiap karya, khususnya Ulumul Hadis di dasarkan pada keperluan pembelajaran. Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan kitab-kitab yang telah ditulis oleh Ulama-ulama sebelumnya pada periode klasik seperti Kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnsh Sholah yang paling baik ialah Ikhtisar Ulumul Hadis.[4] Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtholahi Ahli al-Atsar karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqolani (773 H/852 H), merupakan kitab kecil yang diringkas namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiannya. Pada masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.† Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh Usman dalam mereproduksikan naskah Al-Qur’an berarti beliau telah meletakkan dasar ilm rasm al-Qur’an (Subhiy Salih: 1977). Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan kaedahkaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang sebagai peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an. Meski demikian, dalam kenyataannya Juynboll mengakui dirinya lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht daripada dengan Sezgin, Abbott, dan Azami. Ia mengaku kagum dengan karya Schacht, The  Origins. Hal itu tidak saja karena Juynboll memakai dua teori Schacht: teori backward projection dan common link, tetapi juga karena crossreference buku tersebut yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu, Juynboll juga memosisikan diri sebagai pengembang teori common link, yang dianggapnya sebagai teori yang brilian dan belum mendapatkan perhatian serta elaborasi yang selayaknya oleh Schacht sendiri. [5]Kemungkinan ada, setidaknya sebagian dari tradisi Nabi yang tercantum dalam satu atau lebih kanonik - atau bahkan koleksi non kanonik - layak untuk dianggap sebagai representasi dari apa yang Nabi lakukan atau katakan, atau yang mungkin telah dilakukan atau dikatakan oleh Nabi, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa kita telah menemukan metode yang mampu membuktikan historisitas hadits Nabi dengan pasti, kecuali dalam sedikit contoh kasus.
Penguatan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam diberikan dasar, materi dan metodologinya. Komparasi di atas menunjukkan bahwa UPI meneguhkan calon guru di samping kuat hafalan Al-Qur’an juga kuat dalam konten Al-Qur’an dan hadits beserta tafsirnya. Al-Qur’an dan hadits lebih menekankan metodologinya sehingga kajiannya mendasarkan pada tahlili dan maudlu’i. Di samping kuat pada bidang studi tersebut, calon guru agama Islam diberikan bekal Fiqh sebagai rujukan dalam beribadah dalam keseharian.[6] Pertama, masa Rasulullah SAW, dimulai sejak 13 tahun sebelum hijrah sampai dengan sebelas hijrah. Masa ini dikenal sebagai fase pertumbuhan dan proses bagaimana cara para sahabat memperoleh suatu hadits dari Nabi. Nabi Muhammad menjadi pusat perhatian para sahabat, apapun yang datang dari nabi; perkataan, perbuatan maupun ketetapan menjadi referensi dan pedoman kehidupan sahabat. Bagi para sahabat yang berdomisili yang jauh dari Nabi, maka mereka mengutus beberapa orang sahabat untuk memperoleh hadits secara langsung. Keadaan ini menunjukkan bahwa ada di antara sahabat pada masa nabi tidak menerima hadits secara langsung, tetapi melalui sahabat lainnya. Para sahabat mempunyai kedudukan berbeda di hadapan Rasulullah. Di antara mereka disebut dengan al-sabiquna al-awwalun, yaitu kelompok yang pertama-tama mengakui kerasulan Muhammad dan masuk Islam. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (khulafa arrasyidin) dan Abdullah Ibn Masud. Ada juga sahabat yang sungguhsungguh menghafal hadits-hadits Nabi, seperti Abu Hurairah. Ada juga sahabat yang usianya lebih panjang dari sahabat lainnya, sehingga mereka banyak meriwayatkan hadits, seperti Anas ibn Malik, Abdullah Ibn Abbas. Di antara sahabat yang mempunyai kedekatan erat dengan Nabi sendiri seperti Siti Aisyah, Ummu Salamah dan khalifah Rasyidin. Fase pertumbuhan hadits ini belum ada gerakan penulisannya, hanya beberapa orang saja seperti Abdullah Ibn Umar dan Abi Syah.  Kedua, masa Khulafa al-Rasyidin, dimulai sejak tahun 12 sampai dengan 40 Hijriah. Masa ini sebagai masa pembatasan dan penyederhanaan periwayatan. Para sahabat menghafal dan memahami hadits, lalu disampaikan kepada sahabatnya atau tabiin. Upaya ini dilakukan sesuai dengan makna hadits Nabi: “Ketahuilah, hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir (jauh)”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Bakar). [7]Juga sabda Nabi: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”. (H.R. Bukhari dari Abdullah Ibn „Amr). Secara psikologis, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dilihat dari sifat yang dimiliki oleh keduanya.
3. Periode Modern (Abad 14 H-Sekarang)
Perkembangan ilmu Hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan, pada abad ini yang terus menulis ilmu Hadis dari ulama Muhaddisin adalah Asy-Syaikh Tohir Al-Jaziri(1338H) dalam kitabnya Taujihun Nadhor Ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid Jamaludin Al-Khasimi(1332H) dengan kitabnya Qowaidud Tahdits Fi Funulil hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
Dan diantara aturan-aturan yang masih diberlakukakan pada masa sahabat antara lain adalah:
- Mengurangi periwayatan Hadis, mereka khawatir dengan banyaknya periwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW.
- Kritik terhadap riwayat, yaitu dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan al-Quran, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Menurut M. Ajaj al-Khatibi hadis sebagai fungsi bayan li al-Qur’an. Secara etimologis, hadis memiliki makna sebagai berikut: a. Jadid, lawan qadim  mempunyai arti yang baru (jamaknya hadis, hudasa, dan hudus); b. Qarib artinya  yang dekat, yang belum lama terjadi; c. Khabar, warta, yakni: sesuatu yang  dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain. [8]Sedangkan hadis dalam pandangan ulama didefinisikan sebagai sesuatu yang  disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik ucapan, perbuatan dan taqrir-nya.  Tema populer lainnya adalah khabar, sunnah dan atsar. Para ulama ada yang  membedakan antara hadis dengan khabar ada juga yang menganggapnya sama,  begitupun juga dengan hadis dan sunnah, ada yang memandang beda dan ada juga  yang memandang sama antara hadis dan sunah identifikasi mengenai persamaan dan perbedaan definisi antara hadis, sunah, khabar dan atsar telah banyak dijumpai dalam  ilmu Mustalah  al- Hadis. h sendiri mencela kebiasaan mereka tersebut. Sementara jika dilihat dari segi kandungannya, semua sunnah berisi praktek-praktek yang menjadi teladan bagi umat Islam. Karena itu, jika istilah sunnah dikatakan berasal dari non Islam dikhawatirkan sebahagian nilai amalan yang terdapat di dalam sunnah hanyalah kumpulan dari tradisi Arab pra Islam dan praktek-praktek kebiasaan masyarakat lainnya. Padahal, semua yang diamalkan umat Islam sekarang, seperti tata cara pelaksanaan shalat, zakat, haji, dan berbagai ibadah lainnya, telah diyakini bersumber dari Sunnah Nabi saw. Maka untuk menjaga kemurnian sumber hukum Islam inilah maka Hasbi dengan tegas menyatakan bahwa kata sunnah diambil dari ajaran Islam sendiri (alQur’an) dan selanjutnya dipergunakan. Dalam hal ini, ada dua argumen yang dikemukakan Hasbi. Pertama, alQur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi saw dengan lafal dan maknanya. Ia didengar dan dihafal oleh sejumlah ahabat dan mereka juga menuliskannya atas perintah Nabi saw sendiri. Fenomena yang sama terus terjadi pada generasi-generasi selanjutnya hingga sampai pada masa kita sekarang. Karena itu, keaslian al-Qur’an tetap terpelihara disebabkan kemutawātir-an penyampaian yang memfaedahkan qa‘iy. [9]Keadaan berbeda terjadi pada hadis (sunnah). Hadis-hadis yang sifatnya mutawātir sangat sedikit. Umumnya periwayatan yang terjadi bersifat  aad, sehingga dihukum  anniy.  Kedua, melihat kepada fungsi sunnah sebagai penjelas bagi al-Qur’an, seperti terdapat dalam QS. Al-Nal: 44. Ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an merupakan asal (pokok) dan pangkal bagi sunnah karena sebagaimana ditunjuki oleh ayat-ayatnya, isi kitab suci ini telah lengkap dan agamapun telah disempurnakan dengan uraian-uraian. Saat ini tantangan bagi negara berkembang semakin berat seiring dengan berkembangnya tekonologi dan sistem permodalan yang mayoritas dikuasai oleh negara-negara maju. Negara-negara maju hadir dengan teknologi dan modal yang siap untuk menggali potensi kekayaan-kekayaan budaya, sumber daya genetik, dan pengetahuan tradisional di negara berkembang. [10]Akhir-akhir ini, banyak kekayaan intelektual bangsa Indonesia berupa seni budaya diklaim milik bangsa asing. Klaim paling banyak dilakukan oleh Malaysia. Untuk menghindari hal tersebut, Indonesia diminta mematenkan hasil karya leluhur tersebut guna mengantisipasi hal kejadian serupa terulang kembali. Akan tetapi hal tersebut rasanya sulit dilakukan karena adanya perbedaan pandangan tentang hak kekayaan intelektual (HKI).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Mengandung pengertian ilmu-ilmu yang  mempelajari segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan Hadis Rasul. Selanjutnya, ilmu ini dapat memberikan penilaian apakah suatu Hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak memenuhi syarat sehingga harus ditolak. Perkembangan sejarah Ilmu Hadis terbagi menjadi tiga periodesasi yaitu:
1. Periode klasik yaitu masa Nabi SAW sampai abad 7 H
 2. Periode pertengahan yaitu abad 7 H-14 H
3. Periode modern yaitu abad 14 H-sekarang.
Secara garis besarnya, ilmu Hadis dibedakan kepada ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Sedangkan cabang ilmu Hadis diantaranya ialah ‘Ilm Rijal al-Hadits, ‘Ilm al jarh wa at-ta’dil, ‘Ilm ‘Ilal al-Hadits, ‘Ilm Gharib alHadits, ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits, ‘Ilm Fann aYMubhamat, Ilm talfiq alHadits, ‘Ilm nasikh al-Hadits wa mansukhih, dan ‘Ilm Mushthalah Al-Hadits.

            
DAFTAR PUSTAKA

Atsar, Abdul. “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” LAW REFORM 13, no. 2 (2018): 284–299.
Chalida, Noer. “Pemikiran Hasbi Ash-Siddieqy Tentang Hadis.” Jurnal al Hikmah 5, no. 2 (2017): 89–98.
Damanhuri, Damanhuri. “PENELUSURAN AKAR HADITS.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014): 97–118.
Falihatun, Nur. “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018): 239–256.
Kasumawati, Devi. “TEORI COMMON LINK GHA JUYNBOLL: Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi.” AL-RISALAH 13, no. 2 (2017): 143–172.
Mandala, Subianta. “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang Dan Model Pendekatannya.” Jurnal Bina Mulia Hukum 1, no. 1 (2016): 53–61.
Muhtador, Mohammad. “Sejarah Perkembangan Metode Dan Pendekatan Syarah Hadis.” Jurnal Riwayah Ilmu Hadis 2, no. 2 (2016): 259–272.
Munadi, Muhammad. “PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM NEGERI (Studi Komparatif Antara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung).” Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan 15, no. 2 (2017): 130–152.
Muqoyyidin, Andik Wahyun. “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam.” Al-Ulum 13, no. 2 (2013): 490–511.
Wahyuddin, Wahyuddin, and Saifulloh Saifulloh. “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA.” Jurnal Sosial Humaniora 6, no. 1 (2013): 20–32.








[1] Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam,” Al-Ulum 13, no. 2 (2013)hlm: 490–511.
[2] Subianta Mandala, “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang Dan Model Pendekatannya,” Jurnal Bina Mulia Hukum 1, no. 1 (2016)hlm:53–61.
[3] Mohammad Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode Dan Pendekatan Syarah Hadis,” Jurnal Riwayah Ilmu Hadis 2, no. 2 (2016)hlm: 259–272.

[4] Wahyuddin Wahyuddin and Saifulloh Saifulloh, “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA,” Jurnal Sosial Humaniora 6, no. 1 (2013)hlm: 20–32.
[5] Devi Kasumawati, “TEORI COMMON LINK GHA JUYNBOLL: Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi,” AL-RISALAH 13, no. 2 (2017)hlm: 143–172.
[6] Muhammad Munadi, “PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM NEGERI (Studi Komparatif Antara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung),” Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan 15, no. 2 (2017)hlmm:130–152.
[7] Damanhuri Damanhuri, “PENELUSURAN AKAR HADITS,” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014)hlm: 97–118.
[8] Nur Falihatun, “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018)hlm: 239–256.
[9] Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Siddieqy Tentang Hadis,” Jurnal al Hikmah 5, no. 2 (2017)hlm: 89–98.
[10] Abdul Atsar, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” LAW REFORM 13, no. 2 (2018)hlm: 284–299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar