ULUMUL
HADITS ,SEJARAH PERKEMBANGANNYA: PENGERTIAN,SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
ULUMUL HADITS PADA PERIODE KLASIK,PERTENGAHAN,DAN MODERN
My friend 😊 |
PENDAHULUAN
Pada dasarnya Ulumul
Hadis sudah ada sejak periwayatan Hadis di dalam Islam, setelah Rasul Saw.
wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun Hadis Rasul dikarenakan adanya
kekhawatiran Hadis-Hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai
giat melakukan pencatatan dan periwayatan Hadis, mereka mempergunakan
kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima Hadis, namun mereka
belum menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Secara umum, dapat
dikatakan bahwa Ulumul Hadis ialah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
ada berkaitan dengan Hadis Rasul. Ilmu ini dapat memberikan penilaian apakah
suatu Hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak memenuhi syarat
sehingga harus ditolak.
Secara garis
besarnya, ilmu Hadis dibedakan kepada ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis
Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk memelihara
kemurnian Hadis-Hadis Rasul dan menghindarkannya dari kemungkinan-kemungkinan
salah kutip dan kekeliruan lainnya. Adapun guna mempelajari Ilmu Hadis Dirayah
adalah untuk dapat memberikan kepastian kepada kita dalam menilai sebuah hadis,
mana yang shahih dan mana pula yang tidak. Dengan kata lain, kajian Hadis
Dirayah akan memnerikan keyakinan kepada kita dalam penerimaan Hadis yang dapat
dijadikan Hujah. Ilmu ini di kalangan ulama Hadis disebut juga ‘illah al-hadits
dan ‘ilm Musthalah al-Hadis.
BAB
II
Pembahasan
A.
Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul
Hadis terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadits. Kata ‘ulum dalam Bahasa
Arab adalah bentuk jama’ dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”, tradisi di
kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap
dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau
mengetahui sesuatu. Sedangkan kata al-Hadits juga berasal dari Bahasa Arab yang
berarti: الجديد
(yang baru). Di samping arti baru, al-Hadits juga mengandung arti dekat (القريب).
Kata al-Hadits bisa juga berarti: الخبر
(berita).
Secara
Terminologis, para Ulama Hadis mendefinisikan hadis berarti “segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau
sifat”.
Dengan
demikian, gabungan kata ‘Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang
membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW”. Ilmu Hadis merupakan kaidah,
dasar-dasar serta pedoman dalam menerima dan menolak suatu Hadis. Ilmu Hadis
memberikan saham bagi pemeliharaan Hadis dan penjelasannya, membedakan antara
Hadis yang shohih dan yang dho’if, yang selamat dan yang cacat, serta yang
nasikh dan yang mansukh.[1]
Pada
mulanya Ilmu Hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri
sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu
al-Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain.
Penulisan Ilmu-ilmu Hadis secara parsial dilakukan khususnya oleh para Ulama
abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya Ibn Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh ar-Rijal,
Muhammad Ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis at-Thabaqat, Ahmad Ibn Hanbal (241
H/855 M) menulis al-‘Ilal dan an-Nasikh wa al-Mansukh, Bukhari (256 H/870 M)
menulis al-‘Ilal dan al-Kuna, Muslim (261 H/87 M) menulis Kitab al-Asma’ wa
al-Kuna, Kitab at-Thabaqat dan Kitab al-‘Ilal, dan lain-lain.
·
Ilmu Hadis Riwayah
Menurut Zhafar Ahmad ibn Lathif
al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘Ulum al-Hadits, bahwa yang
dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah
adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan
Rasul Saw. serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafadz-lafadznya.
·
Ilmu Hadis Dirayah
Para Ulama memberikan definisi yang bervariasi
terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi –
definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan
yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
1. Periode Klasik
(Masa Nabi SAW-Abad 7 H)
Membicarakan Hadis pada masa Rasul berarti membicarakan hadis pada awal
pertumbuhannya. Dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah
SAW. sebagai sumber Hadis dan guru sunnah terbaik. Dalam periode inilah Hadis
terbentuk dan diamalkan secara konsisten dan universal. Haditshadits Nabi yang
terhimpun di dalam kitab-kitab yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para
sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah
diterima oleh para sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada
sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka
menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga
sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi Hadits. Cara penerimaan
Hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan Hadits dimasa generasi
sesudahnya. Penerimaan Hadis dimasa Nabi
SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ ar-Rasyidin. Setelah
mendapatkan Hadis para sahabat selanjutnya menghafal Hadis tersebut. Dalam masa
sahabat ini, perkembangan penelitian Hadits menyangkut sanad dan matan Hadis
semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah Hadis.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang
dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan oleh para tabiin.
Periwayatan Hadis dipermulaan masa sahabat terutama pada masa. Abu Bakar dan
Ummar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukannya saja, belum
bersifat pelajaran[2].
Demikian perkembangan Ilmu Hadis pada periode ini yang kemudian disempurnakan
kembali oleh Ulama-ulama yang datang belakangan. Pada masa ini
pengaruh kodifikasi hukum Eropa, terutama kodifikasi hukum Perancis dan Jerman,
sudah terasa diseluruh dunia, bahkan di belahan dunia yang dak pernah dijajah
oleh bangsa Eropa. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara common law
melalui penyebarluasan konsep dan aturan hukum dari tradisi hukum Inggris.
Dengan demikian telah menghasilkan suatu konsep hukum yang harmonis dalam suatu
keluarga hukum (legal family).
Sejarah perkembangan syarah hadis masa awal tidak
dapat dipisahkan dengan hadis itu sendiri. Klasifikasi masa antara syarah dan
hadis pada masa awal dapat dikatakan berjalanan bersamaan, pasalnya bentuk
syarah pada masa awal (masa nabi) cendrung besifat klarifikasi atau tabayun,
dimana seorang sahabat mengklarifikasi kebenaran suatua hadis yang telah
diperoleh dari seorang perawi kepada nabi dengan bertujuan supaya memperoleh
kejelasan apakah hadis demikian benar-benar disabdakan nabi (Abbas, 2004, hal.
27-28). Salah satu contoh ialah peristiwa tentang orang Arab pedalaman yang
menyandarkan sebuah riwayat kepada nabi untuk meminang seorang perempuan,
sehingga pihak keluarga dari yang tidak percaya akan hal tersebut mendatangi
nabi dan mengklarifikasi. Meskipun hal tersebut bagian dari kritik hadis, namun
pada dasarnya perkembangan hadis dan ilmu hadis pada masa awal berjalan
bersamaan termasuk syarah hadis. Hal di atas menandakan bahwa embrio syarah
hadis telah ada pada masa nabi namun belum bersifat formal, karena bentuk awal
dari syarah hadis masih melekat dengan kehidupan nabi. [3]Pada
sisi berbeda, masyarakat Arab awal belum membedakan setiap perilaku yang
dikerjakan oleh nabi apakah bersifat kerasulan atau sebagai manusia biasa,
apakah sebagai interpretasi Al Quran atau budaya orang-orang dahulu. Semua
masih bersifat kebiasan yang belum dipikirkan untuk menjadi pedoman sistematis
dalam kehidupan (Rahman, 2000, hal. 51). Sehingga konsekwensinya syarah hadis
pada masa tersebut kita menggunakan kata fahm, ma’âni, dan syarah al Hadīth.
Hal tersebut didasari sebuah argumentasi bahwa sebagai pemegang otoritas
keagamaan nabi dapat menyelesaikan setiap permasalah yang dialami oleh
masyarakat. Adapun bentuknya bisa teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
ataupun bisa juga menanyakan secara langsung kepada nabi dengan meminta dasar
legitimasi keagamaan, oleh sebab itu nabi juga disebut Al Quran yang berjalan,
seperti hadis yang diriwayatkan Aisyah (Hadis tersebut diriwayatkan oleh
A’isyah yang berkata kana khuluquhu Al Quran (Tirmidzi, 1998, hal. 34). Pada
masa selanjutnya, karakteristik syarah hadis mengalami pergeseran, meskipun
cara yang ditempuh tidak jauh berbeda. Dengan masa yang relatif dekat serta
sebagian hidupnya berinteraksi dengan nabi, para sahabat mempunyai pengetahuan
yang cukup luas dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan pada masanya, karena
mereka mengalami kehidupan nabi dan bahkan sebagian sahabat mengetahui koteks
hadis tersebut disabdakan. Oleh sebab itu, tidak sulit bagi sahabat untuk
memberikan komentar ataupun memahami sebuah hadis, dengan didukung kemampuan
bahasa dan latar belakang yang memadai. Meski demikian, bukan berarti sahabat
tidak mengalami kesulitan dalam memilah dan meneliti sebuah hadis untuk dapat
dikatakan shahih. Usaha dalam menjaga otentisitas dan kredibilitas seorang
perawi pada masa tersebut, dan mengantisipasi dari kemungkinan terdapatnya
hadis-hadis palsu, dhoif dan perkataan sahabat, sehingga sahabat dianjurkan
untuk tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang banyak dan menetapkan setiap
sahabat yang memiliki status kredibilitas.
2. Periode
pertengahan (Abad 7 H-Abad 14 H)
Di periode ini masa seleksi
dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan
kitab-kitab hadis masa ini dengan ‘asr attahzib wa ataqrib wa al-istidrak wa
al-jam’i (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).
Penyusunan kitab-kitab pada periode ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada.
Para Ulama mengalihkan perhatian
mereka untuk menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan
sistem penyusunan kitab-kitab Hadis. Ciri yang paling populer pada periode ini
adalah munculnya sistem pembelajaran lewat Madrasah, berbeda dengan periode
klasik yang cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu tidak aneh bila
kemunculan setiap karya, khususnya Ulumul Hadis di dasarkan pada keperluan
pembelajaran. Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan kitab-kitab yang
telah ditulis oleh Ulama-ulama sebelumnya pada periode klasik seperti Kitab
Mukhtasar Muqaddamah Ibnsh Sholah yang paling baik ialah Ikhtisar Ulumul Hadis.[4]
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtholahi Ahli al-Atsar karya al-Hafizh
Ibn Hajar al-Asqolani (773 H/852 H), merupakan kitab kecil yang diringkas namun
termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiannya.
Pada
masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–13 H) dan Umar
(12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.† Ketika zaman kekhalifaan
Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab,
pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum muslimin berpegangan pada mushaf
induk, dan membakar mushaf lainnya yang mengirimkan mushaf kepada beberapa
daerah sebagai pegangan. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh Usman dalam
mereproduksikan naskah Al-Qur’an berarti beliau telah meletakkan dasar ilm rasm
al-Qur’an (Subhiy Salih: 1977). Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi
Thalib, (35H-40H) beliau telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H)
untuk meletakkan kaedahkaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali
tersebut, dipandang sebagai peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an. Meski
demikian, dalam kenyataannya Juynboll mengakui dirinya lebih sejalan dengan
Goldziher dan Schacht daripada dengan Sezgin, Abbott, dan Azami. Ia mengaku
kagum dengan karya Schacht, The Origins.
Hal itu tidak saja karena Juynboll memakai dua teori Schacht: teori backward
projection dan common link, tetapi juga karena crossreference buku tersebut
yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu, Juynboll juga memosisikan diri
sebagai pengembang teori common link, yang dianggapnya sebagai teori yang
brilian dan belum mendapatkan perhatian serta elaborasi yang selayaknya oleh
Schacht sendiri. ‚[5]Kemungkinan
ada, setidaknya sebagian dari tradisi Nabi yang tercantum dalam satu atau lebih
kanonik - atau bahkan koleksi non kanonik - layak untuk dianggap sebagai
representasi dari apa yang Nabi lakukan atau katakan, atau yang mungkin telah
dilakukan atau dikatakan oleh Nabi, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin
bahwa kita telah menemukan metode yang mampu membuktikan historisitas hadits
Nabi dengan pasti, kecuali dalam sedikit contoh kasus.
Penguatan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum
Islam diberikan dasar, materi dan metodologinya. Komparasi di atas menunjukkan
bahwa UPI meneguhkan calon guru di samping kuat hafalan Al-Qur’an juga kuat
dalam konten Al-Qur’an dan hadits beserta tafsirnya. Al-Qur’an dan hadits lebih
menekankan metodologinya sehingga kajiannya mendasarkan pada tahlili dan
maudlu’i. Di samping kuat pada bidang studi tersebut, calon guru agama Islam
diberikan bekal Fiqh sebagai rujukan dalam beribadah dalam keseharian.[6]
Pertama,
masa Rasulullah SAW, dimulai sejak 13 tahun sebelum hijrah sampai dengan
sebelas hijrah. Masa ini dikenal sebagai fase pertumbuhan dan proses bagaimana
cara para sahabat memperoleh suatu hadits dari Nabi. Nabi Muhammad menjadi
pusat perhatian para sahabat, apapun yang datang dari nabi; perkataan,
perbuatan maupun ketetapan menjadi referensi dan pedoman kehidupan sahabat.
Bagi para sahabat yang berdomisili yang jauh dari Nabi, maka mereka mengutus
beberapa orang sahabat untuk memperoleh hadits secara langsung. Keadaan ini
menunjukkan bahwa ada di antara sahabat pada masa nabi tidak menerima hadits
secara langsung, tetapi melalui sahabat lainnya. Para sahabat mempunyai
kedudukan berbeda di hadapan Rasulullah. Di antara mereka disebut dengan
al-sabiquna al-awwalun, yaitu kelompok yang pertama-tama mengakui kerasulan
Muhammad dan masuk Islam. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (khulafa
arrasyidin) dan Abdullah Ibn Mas‟ud.
Ada juga sahabat yang sungguhsungguh menghafal hadits-hadits Nabi, seperti Abu
Hurairah. Ada juga sahabat yang usianya lebih panjang dari sahabat lainnya,
sehingga mereka banyak meriwayatkan hadits, seperti Anas ibn Malik, Abdullah
Ibn Abbas. Di antara sahabat yang mempunyai kedekatan erat dengan Nabi sendiri
seperti Siti Aisyah, Ummu Salamah dan khalifah Rasyidin. Fase pertumbuhan
hadits ini belum ada gerakan penulisannya, hanya beberapa orang saja seperti
Abdullah Ibn Umar dan Abi Syah. Kedua,
masa Khulafa al-Rasyidin, dimulai sejak tahun 12 sampai dengan 40 Hijriah. Masa
ini sebagai masa pembatasan dan penyederhanaan periwayatan. Para sahabat
menghafal dan memahami hadits, lalu disampaikan kepada sahabatnya atau tabiin.
Upaya ini dilakukan sesuai dengan makna hadits Nabi: “Ketahuilah, hendaknya
orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir (jauh)”. (H.R. Bukhari
dan Muslim dari Abu Bakar). [7]Juga
sabda Nabi: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”. (H.R. Bukhari dari
Abdullah Ibn „Amr). Secara psikologis, terdapat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, misalnya dilihat dari sifat yang dimiliki oleh
keduanya.
3. Periode Modern
(Abad 14 H-Sekarang)
Perkembangan ilmu Hadis abad demi abad
terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan, pada abad ini yang terus
menulis ilmu Hadis dari ulama Muhaddisin adalah Asy-Syaikh Tohir
Al-Jaziri(1338H) dalam kitabnya Taujihun Nadhor Ila Ilmi Usulil Atsar, salah
satu kitab yang mempunyai nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid Jamaludin
Al-Khasimi(1332H) dengan kitabnya Qowaidud Tahdits Fi Funulil hadis, suatu
kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
Dan diantara aturan-aturan yang masih
diberlakukakan pada masa sahabat antara lain adalah:
- Mengurangi periwayatan Hadis, mereka
khawatir dengan banyaknya periwayat akan tergelincir pada kesalahan dan
kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW.
- Kritik terhadap riwayat, yaitu
dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan al-Quran, jika
bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Menurut M. Ajaj al-Khatibi hadis sebagai
fungsi bayan li al-Qur’an. Secara etimologis, hadis memiliki makna sebagai
berikut: a. Jadid, lawan qadim mempunyai
arti yang baru (jamaknya hadis, hudasa, dan hudus); b. Qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi; c.
Khabar, warta, yakni: sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain.
[8]Sedangkan
hadis dalam pandangan ulama didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik
ucapan, perbuatan dan taqrir-nya. Tema
populer lainnya adalah khabar, sunnah dan atsar. Para ulama ada yang membedakan antara hadis dengan khabar ada
juga yang menganggapnya sama, begitupun
juga dengan hadis dan sunnah, ada yang memandang beda dan ada juga yang memandang sama antara hadis dan sunah
identifikasi mengenai persamaan dan perbedaan definisi antara hadis, sunah,
khabar dan atsar telah banyak dijumpai dalam
ilmu Mustalah al- Hadis. h
sendiri mencela kebiasaan mereka tersebut. Sementara jika dilihat dari segi
kandungannya, semua sunnah berisi praktek-praktek yang menjadi teladan bagi
umat Islam. Karena itu, jika istilah sunnah dikatakan berasal dari non Islam
dikhawatirkan sebahagian nilai amalan yang terdapat di dalam sunnah hanyalah
kumpulan dari tradisi Arab pra Islam dan praktek-praktek kebiasaan masyarakat
lainnya. Padahal, semua yang diamalkan umat Islam sekarang, seperti tata cara
pelaksanaan shalat, zakat, haji, dan berbagai ibadah lainnya, telah diyakini
bersumber dari Sunnah Nabi saw. Maka untuk menjaga kemurnian sumber hukum Islam
inilah maka Hasbi dengan tegas menyatakan bahwa kata sunnah diambil dari ajaran
Islam sendiri (alQur’an) dan selanjutnya dipergunakan. Dalam hal ini, ada dua
argumen yang dikemukakan Hasbi. Pertama, alQur’an adalah Kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi saw dengan lafal dan maknanya. Ia didengar dan dihafal
oleh sejumlah ṣahabat dan mereka juga
menuliskannya atas perintah Nabi saw sendiri. Fenomena yang sama terus terjadi
pada generasi-generasi selanjutnya hingga sampai pada masa kita sekarang.
Karena itu, keaslian al-Qur’an tetap terpelihara disebabkan kemutawātir-an
penyampaian yang memfaedahkan qaṭ‘iy.
[9]Keadaan
berbeda terjadi pada hadis (sunnah). Hadis-hadis yang sifatnya mutawātir sangat
sedikit. Umumnya periwayatan yang terjadi bersifat aḥad,
sehingga dihukum ẓanniy. Kedua, melihat kepada fungsi sunnah sebagai
penjelas bagi al-Qur’an, seperti terdapat dalam QS. Al-Naḥl:
44. Ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an merupakan asal (pokok) dan pangkal bagi
sunnah karena sebagaimana ditunjuki oleh ayat-ayatnya, isi kitab suci ini telah
lengkap dan agamapun telah disempurnakan dengan uraian-uraian. Saat
ini tantangan bagi negara berkembang semakin berat seiring dengan berkembangnya
tekonologi dan sistem permodalan yang mayoritas dikuasai oleh negara-negara
maju. Negara-negara maju hadir dengan teknologi dan modal yang siap untuk
menggali potensi kekayaan-kekayaan budaya, sumber daya genetik, dan pengetahuan
tradisional di negara berkembang. [10]Akhir-akhir
ini, banyak kekayaan intelektual bangsa Indonesia berupa seni budaya diklaim
milik bangsa asing. Klaim paling banyak dilakukan oleh Malaysia. Untuk
menghindari hal tersebut, Indonesia diminta mematenkan hasil karya leluhur
tersebut guna mengantisipasi hal kejadian serupa terulang kembali. Akan tetapi
hal tersebut rasanya sulit dilakukan karena adanya perbedaan pandangan tentang
hak kekayaan intelektual (HKI).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ulumul Hadits terdiri
dari dua kata yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Mengandung pengertian ilmu-ilmu
yang mempelajari segala sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan Hadis Rasul. Selanjutnya, ilmu ini dapat memberikan
penilaian apakah suatu Hadis memenuhi kriteria untuk dapat diterima atau tidak
memenuhi syarat sehingga harus ditolak. Perkembangan sejarah Ilmu Hadis terbagi
menjadi tiga periodesasi yaitu:
1. Periode klasik yaitu masa Nabi SAW
sampai abad 7 H
2. Periode pertengahan yaitu abad 7 H-14 H
3. Periode modern yaitu abad 14
H-sekarang.
Secara garis besarnya, ilmu Hadis
dibedakan kepada ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Sedangkan cabang
ilmu Hadis diantaranya ialah ‘Ilm Rijal
al-Hadits, ‘Ilm al jarh wa at-ta’dil, ‘Ilm ‘Ilal al-Hadits, ‘Ilm Gharib
alHadits, ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadits, ‘Ilm Fann aYMubhamat, Ilm talfiq
alHadits, ‘Ilm nasikh al-Hadits wa mansukhih, dan ‘Ilm Mushthalah Al-Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Atsar, Abdul. “Perlindungan Hukum Terhadap
Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” LAW
REFORM 13, no. 2 (2018): 284–299.
Chalida,
Noer. “Pemikiran Hasbi Ash-Siddieqy Tentang Hadis.” Jurnal al Hikmah 5,
no. 2 (2017): 89–98.
Damanhuri,
Damanhuri. “PENELUSURAN AKAR HADITS.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3
(2014): 97–118.
Falihatun,
Nur. “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish
Shihab).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018):
239–256.
Kasumawati,
Devi. “TEORI COMMON LINK GHA JUYNBOLL: Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi.” AL-RISALAH
13, no. 2 (2017): 143–172.
Mandala,
Subianta. “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang
Dan Model Pendekatannya.” Jurnal Bina Mulia Hukum 1, no. 1 (2016):
53–61.
Muhtador,
Mohammad. “Sejarah Perkembangan Metode Dan Pendekatan Syarah Hadis.” Jurnal
Riwayah Ilmu Hadis 2, no. 2 (2016): 259–272.
Munadi,
Muhammad. “PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM NEGERI (Studi
Komparatif Antara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dengan Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung).” Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan
Kemasyarakatan 15, no. 2 (2017): 130–152.
Muqoyyidin,
Andik Wahyun. “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
Gerakan Feminisme Islam.” Al-Ulum 13, no. 2 (2013): 490–511.
Wahyuddin,
Wahyuddin, and Saifulloh Saifulloh. “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN
PERKEMBANGANNYA.” Jurnal Sosial Humaniora 6, no. 1 (2013): 20–32.
[1]
Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana
Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam,”
Al-Ulum 13, no. 2 (2013)hlm: 490–511.
[2]
Subianta Mandala, “Harmonisasi Hukum
Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang Dan Model Pendekatannya,” Jurnal
Bina Mulia Hukum 1, no. 1 (2016)hlm:53–61.
[3]
Mohammad Muhtador, “Sejarah Perkembangan
Metode Dan Pendekatan Syarah Hadis,” Jurnal Riwayah Ilmu Hadis 2, no. 2
(2016)hlm: 259–272.
[4]
Wahyuddin Wahyuddin and Saifulloh
Saifulloh, “ULUM AL-QURAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA,” Jurnal Sosial
Humaniora 6, no. 1 (2013)hlm: 20–32.
[5]
Devi Kasumawati, “TEORI COMMON LINK GHA
JUYNBOLL: Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi,” AL-RISALAH 13, no. 2
(2017)hlm: 143–172.
[6]
Muhammad Munadi, “PENDIDIKAN GURU AGAMA
ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM NEGERI (Studi Komparatif Antara Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) Dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung),” Cendekia:
Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan 15, no. 2 (2017)hlmm:130–152.
[7]
Damanhuri Damanhuri, “PENELUSURAN AKAR
HADITS,” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014)hlm: 97–118.
[8]
Nur Falihatun, “Hadis Nabi Tidak DijamiN
Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab),” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018)hlm: 239–256.
[9]
Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi
Ash-Siddieqy Tentang Hadis,” Jurnal al Hikmah 5, no. 2 (2017)hlm: 89–98.
[10]
Abdul Atsar, “Perlindungan Hukum Terhadap
Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” LAW
REFORM 13, no. 2 (2018)hlm: 284–299.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar