Ilmu
al-jarh wa ta’dil : Pengertian, Objek dan pembahasan dan lafaz-lafaz serta
maratib al-jarh wan ta’dil
Sikap
kritis terhadap berita merupakan pijakan utama sebagai modal untuk meneliti dan
mencari keterangan kepada pembawa kabar tersebut. Ketelitian ini tidak hanya
berlaku pada tradisi ilmiah tetapi juga sejak awak pembentukan Islam, al-Qur’an
telah memberikan tuntunan untuk merefleksikannya di dalam setiap menerima
berita.1 Upaya mengkritisi ini dalam rangka menjaga keorisinalan berita tersebut,
lebih-lebih berasal dari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik untuk penetapan suatu pengerahuan maupun
pengambilan suatu dalil. Periwayatan
hadits dimulai sejak masa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pertumbuhannya lebih pesat pada era dua ratus
tahun setelah Hijrah.2 Pada masa ini telah terjadi pula pemalsuan hadits yang
dimulai jauh di masa sebelumnya yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk
tujuan-tujuan politis yang dangkal didorong oleh pengaruh sektarian. Kaum zindiq
(orang yang bertujuan menghancurkan Islam dari dalam dengan berusaha masuk
Islam) berperan pula di dalam memalsukan hadits dengan tujuan merusak ajaran
Islam, keadan ini berlangsung sejak terjadinya fitnah pada kaum muslimin
(al-fitan al-kubra). Peristiwa itu terjadi pada akhir pemerintahan Utsman bin
‘Affan dengan terbunuhnya beliau, menyusul perseteruan Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyyah yang mengakibatkan terbunuhnya Husein bin Ali di padang
Karbala. Beberapa kelompok penyeleweng kemudian muncul, dan para ahli
bid‘ah-pun membuat-buat sanad sekehendak mereka untuk menyandarkan sejumlah
teks yang mereka pegangi untuk membela bid‘ahnya. Kemudian mereka membuat
hadits-hadits yang tidak pernah diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sehingga periode ini dikenal dengan awal munculnya pemalsuan hadits. Ada beberapa faktor penyebab
munculnya pemalsuan hadits di antaranya ialah adanya pertentangan politik yang
mengakibatkan terpecahnya umat Islam, yakni pada masa Ali bin Abi Thalib dengan
seterunya Muawiyyah sebagaimana terungkap di atas. Kelompok Ali mendatangkan
hadits menurut versi mereka masing-masing, demikian pula kelompok Muawiyyah
juga melakukan hal serupa untuk melakukan perlawanan terhadap hadits-hadits
yang mendiskreditkan Muawiyyah, selain itu juga mereka mengangkatnya sebagai
orang yang mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama.
1.
Pengertian
Menurut bahasa,
al-jarh merupakan bentuk jadian dari
kata jaraha–yajrahu yang berati
“melukai”, sehingga kata benda al-jarh
berarti luka. Makna aslinya berkisar pada keinginan menyelamatkan
sesuatu. Artinya ia membuat luka dengan tujuan menyelamatkan sesuatu. Keadaan
luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik atau non fisik. Kata jaraha
bila dipakai seorang hakim pengadilan yang ditujukan pada masalah kesaksian,
maka kata tersebut memiliki arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut
istilah ilmu hadits, kata al-jarh, sebagaimana Muhammad Ajjâj Khatîb memberi
batasan sebagai berikut :
“Munculnya suatu sifat dalam diri periwayat
yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya,
yang mengakibatkan gugur atau lemah dan tertolak riwayatnya.” [1]Sebagian
ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh
dan at-tajrîh, sedangkan sebagian lain membedakannya, demikian keterangan
dari as-Sakhawi dalam kitab “Fath al-Mughîts”. Lebih lanjut beliau menjelaskan,
mereka yang membedakan penggunaan kedua kata tersebut berargumen, kata
al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari
cela seseorang, karena cela itu telah tampak dengan sendirinya tanpa adanya
upaya pencarian. Sedangkan kata at-tajrîh berkonotasi pada upaya aktif untuk
menyelidiki dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Adapun kata al-‘adl,
merupakan masdar dari kata kerja ‘adala yang berarti lurus, istiqâmah dan
tegak, condong kepada kebenaran (al-mail ila al-haq).6 Orang adil disebut
al-‘âdil, kata jamaknya al-‘udul. Berangkat dari definisi ini, ahli hadits
membuat kriteria periwayat yang adil meliputi seorang; muslim, baligh
(dewasa), berakal, bebas dari sebab-sebab kefasikan, dan menjaga harga diri
(muru’ah).
Dalam
bentuk lain, kata at-ta‘dil secara bahasa berasal dari kata ‘addala – yu‘addilu
artinya mengemukakan sifatsifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan
menurut istilah ialah: “Mensifati periwayat dengan sifat-sifat yang
baik, sehingga tampak jelas keadilannya, dan karenanya riwayat yang disampaikan
dapat diterima”. Berdasarkan batasan kata perkata dari kata al-jarh wa
atta‘dîldi atas, maka definisi ilmu al-jarh wa at-ta‘dîlsebagaimana dikemukakan
oleh Ajjâj Khatîb ialah : Kedua batasan di atas sebenarnya
tidak berbeda dalam makna, tetapi antara yang satu dengan lainnya hanya berbeda
dalam ungkapan kalimat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu al-jarh wa
at-ta‘dîl adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang pribadi periwayat
hadits dari segi keutuhan kepribadiannya, mereka diteliti secara seksama dari
semua aspek jati dirinya sehingga dapat diketahui dan dibedakan antara
periwayat yang memenuhi syarat diterima beritanya dengan yang tidak memenuhi
kriteria atau syarat tersebut.
2.
Objek Pembahasan
Penelitian hadis Nabi
sangatlah diharus karena ia sebagai
sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Maka salah satu upaya dalam
pendekatan ilmu hadis adalah ilmu al-jarh wa ta‘dīl suatu pendekatan telaah
tentang para perawi hadis. Tetapi pendekatan ilmu tersebut lebih mengacu kepada
telaah tentang perbedaan pendapat ulama al-jarh wa ta‘dīl dalam menilai para
perawi hadis. Dalam penelitian ini mefokuskan kepada tema hadis yang maknanya
menerangkan “bahwaNabi Muhammad SAW, adalah pendidik dan metode nabi ketika
mentrasfer ilmu kepada umat Islam”. Berdasarkan begitu pentingnya kedudukan
ilmu al-jarh wa ta‘dīl dalam kajian ilmu hadis, peneliti tertarik untuk
menelaah secara mendalam dan mengaktualisasikan krediblitas para perawi
hadisnya.[2]
Karena subjek studi
ini, berkisar pada ilmu al-jarh wa al- ta’dīl suatu ilmu keislaman yang
melewati proses masa yang panjang, sejak dari masa kenabian sehingga abad
ketiga dan keempat, kemudian melahirkan kaidah-kaidah teoritis dalam ilmu al-jarh wa al- ta’dīl yang dihasilkan dari usaha para ulama
kritikus hadis dalam rangka mengungkap kredibilitas para perawi hadis. Maka
metode yang pertama-tama diambil dalam langkah pengumpulan data adalah metode histori. Metode ini sangat berguna
untuk merekonstruksi jejak peninggalan ulama hadis. Kajian metode historis
dalam penelitian ini, lebih tepatnya memilih tipe metodologi
integratif-interkonektif yang
menggabungkan antara sejarah dan ilmu ke-islaman, keduanya saling berperan memberikan
wawasan untuk memperkaya dalam usaha menemukan sebuah objek, gejala atau permasalahan yang kemudian
dianalisis khususnya pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ulama kritikus
hadis dalam ilmu al-jarh wa al- ta’dīl. Notosusanto
(1971:17) mengemukakan tahapan-tahapan dalam penerapan metode historis itu
dengan tahapan sebagai berikut:
a. Heuristik, yakni menghimpun jejak-jejak
masa lampau.
b. Kritik (sejarah),
yakni menyelidiki apakah jejak itu sejati baik bentuk maupun isinya.
c. Interpretasi, yakni menetapkan makna dan
saling berhubungan dari fakta yang diperoleh sejarah itu.
d. Penyajian, yakni menyampaikan sintesa yang
diperoleh dalam bentuk kisah. Nourouzzaman Shiddiqi, mengemukan dengan istilah
metode filsafat sejarah (philosophical History), yakni pengkajian penelaahan
peristiwa-peristiwa sejarah dengan mempertimbangkan kebenaran dan kepalsuannya.
Maka diharap di dalam menginterpretasikan peristiwa-peristiwa sejarah itu
haruslah menggunakan metode-metode sintetis, yaitu dengan menggunakan
pendekatan pada multipe approach[3].
Jadi jika hendak menafsirkan sesuatu peristiwa yang terjadi pada masyarakat
lampau haruslah ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek agama, politik,
ekonomi, sosial budaya, idologi, geografis, dan sebagainya dengan serentak dan
terpadu yang meliputi seluruh lapangan hidup manusia. Dengan demikian, maka
akan mendapatkan satu kesimpulan yang objektif karena didasari pada analisa
latar belakang peristiwa yang objektif pula. Dalam bahasa Arab, sejarah dikenal
dengan istilah tarikh (tanggal/sejarah). Al-Jauhari menjelaskan bahwa kata
tarikh (tanggal/sejarah) dari sudut pandang etimologi bermakna mengidentifikasi
waktu. Kata ini sama seperti kata taurikh, karena keduanya berasal dari
perpaduan pola al-rakha dan warrakha. Sedangkan menurut versi al-‘Ashmai, kedua
kata itu berbeda lahjah-nya (logat), karena kata taurikh merupakan lahjah yang
digunakan oleh Bani Tamim yang berasal dari kata warrakha dan maknanya
membubuhi tanggal. Sementara kata tarikh
meskipun memiliki makna yang serupa, namun kata ini berasal dari kata
al-rakha yang lahjah-nya digunakan oleh Bani Qais. Adapun jika dilihat dari
segi terminologi, maka banyak sekali makna yang didefenisikan oleh para
ilmuwan, baik dari kalangan muslim atau non muslim. Namun, orang yang pertama
yang memberi makna tarikh dengan sempurna adalah Ibnu Khaldun (tahun 808 H.).
Dia mengatakan bahwa makna eksternal (lebih umum dari kata tarikh ini mencakup
kisah tentang hari-hari yang telah lalu atau negeri-negeri terdahulu. [4]Apapun
yang terjadi pada masa lalu dan masih diperbincangkan atau dijadikan sebagai
pedoman untuk masa kini, maka masuk dalam kategori makna eksternal ini.
Sedangkan untuk makna internal (lebih mendalam), tarikh adalah pencarian,
pengamatan dan penelitian tentang sebab akibat segala sesuatu yang mencakup
seluruh makhluk hidup dari awal mula mereka diciptakan, untuk diketahui secara
seksama tentang kejadian yang sebenarnya dan apa saja yang menjadi penyebabnya.
Al-Sarkhawi (w. 902
H.) dalam al-Thabari juga mendefenisikan kata tarikh ini secara terminologi.
Dia mengatakan tarikh adalah mencari tahu tentang waktu yang mengaitkan waktu
tersebut dengan suatu kejadian, baik itu waktu kelahiran seorang ulama atau
waktu kematiannya, kesehatannya, kondisi akalnya, kondisi tubuhnya,
perjalanannya, hajinya, daya hapalnya, ketepatan riwayatnya, penyampaiannya,
periwayatannya dan hal-hal lain yang terkait. Defenisi lain juga disampaikan
oleh al-Kafiji. [5]Dia
mengatakan bahwa ilmu tarikh adalah ilmu
yang membahas tentang waktu dari suatu keadaan yang terjadi di masa lalu,
ataupun kejadian yang terkait dengan keadaan tersebut secara cermat dan akurat
dan temanya selalu berhubungan dengan manusia dan waktu. Adapun pendapat
tentang tarikh dalam artian penanggalan,
yang benar adalah dimulai sejak kekhalifahan Umar Bin Khattab yakni ketika dia
memerintahkan kaum Muslimin untuk menjadikan awal sejarah Islam tepat pada saat
Nabi saw. berangkat ke Kota Medinah (berhijrah) yang kemudian disebut dengan
penanggalan hijrah.
Perkembangan ilmu
al-jarh wa at-ta‘dîl sempat menemui hambatan dan dinilai sebagai perbuatan
ghibah, ini dilontarkan dari kalangan orang-orang sufi. Para ulama sebelumnya
juga telah memperingatkan bahwa hal (ghibah) tersebut dimungkinkan akan
terjadi, misalnya an-Nawawi dan alGhazâli mengkategorikan ini sebagai salah
satu dari enam bentuk ghibah yang diperbolehkan.[6]
Bahkan secara khusus,
al-jarh (mencacati) periwayat yang lemah
dianggap sebagai suatu nasihat, seperti ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas.
Penilaian negatif terhadap para periwayat dalam ilmu kritik hadits ini tidak
sewenang-wenang, ada batasan-batasan tertentu. As-Sakhawi (w. 902 H) misalnya
membatasi al-jarh dapat dilakukan dengan isyarat sudah cukup, maka tidak perlu
lagi dengan kata-kata, atau al-jarh
dapat dilakukan dengan satu cara tertentu maka cara lain tidak perlu
dilakukan lagi.
3.
Lafaz-Lafaz serta Maratib
Para periwayat yang
dikritik oleh beberapa ulama kritikus hadits tidak memiliki peringkat dan
status yang sama. Mereka ada yang berstatus sebagai hafizh, ‘alim, atau
dlabith, adapula yang berada pada tingkatan hafizh mutqinun (seorang penghafal
yang kapasitasnya memadai), untuk periwayat yang semacam ini maka tidak ada
keraguan lagi. Ada di antara mereka seorang yang adil tetapi hafalannya kurang
kuat, sedikit pelupa sampai kepada periwayat yang suka lupa dan banyak
salahnya, tetapi masih dalam koridor seorang yang memiliki sifat adil dan sebagainya.
Muncul penilaian para
ulama kritikus hadits terhadap diri periwayat dengan bermacam-macam gelar dan
peristilahan guna memberikan predikat kepada para periwayat. Apalagi bila
diselidiki dari adanya lafazh-lafazh yang dihasilkan abtara satu penilai dengan
yang lain berbeda yang kemudian menjadi standar dalam menilai sanad. Sampai
kepada paket lafazh aljarh wa at-ta‘dîl yang berbeda-beda, baik ditingkat
klasifikasinya maupun komposisi lafazh, bahkan perbedaan itu juga tampak dalam
penjelasan maknanya (topik ini akan dibahas dalam penjelasan lafazh-lafazh
al-jarh wa at-ta‘dîl).
Meskipun demikian,
kebanyakan ulama hadits cenderung sepakat menjadikan klasifikasi karya ibn Abi
Hâtim ar-Râzi sebagai standar dalam
menilai rangkaian sanad, sebagaimana terlihat pada muqaddimah al-jarh wa
at-ta‘dîl. Ar-Râzi memberikan klasifikasi empat tingkatan, ini diikuti oleh ibn
ash-Shalâh dalam kitabnya Nawawi dalam kitab “at-Taqrîb”, dengan beberapa
tambahan lafazh di dalamnya. Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Mîzân al-I‘tidâl”
memberikan empat tingkatan dalam al-jarh wa atta‘dîl,, Di tempat lain al-‘Irâqi dalam kitab ”Syarh aAlfiyah
Hadîts” menawarkan lima tingkatan,Penetapan ini tampaknya merupakan uraian dan
penjabaran dari pendahulunya. [7]
Di masa selanjutnya
terus berkembang, misalnya ibn Hajar al-Asqalâni menjabarkan lafazh-lafazh
al-jarh wa atta‘dîl menjadi enam tingkatan, yang meletakkan peringkat pertama menurutnya
ialah para sahabat. Ini menjadi landasan bagi penulis sesudahnya yang membagi
derajat al-jarh wa atta‘dîl menjadi enam, seperti yang dilakukan oleh Ajjâj
Khatîb.
Tingkatan at-Ta‘dîl
menurut beberapa Ulama:
1). Ibn Abi Hâtim ar-Râzi (w. 327 H).
الرتبة
الرابعة
الرتبة
الثالثة
الرتبة
الثانة
الرتبة
الأولى
ثقة، متقن،
ثبت
صدوق، محله
الصدق،
لا
بأس
به
صالح
الحديث
شيخ
2.
Ibn Ash Shalah (577-643 H)
الرتبة
الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى ثقة، متقن، ثبت ، حجة، حافظ، ضابط صدوق، محله الصدق، لا بأس به صالح الحديث شيخ
3. An-Nawawi
(631-676 H)
الرتبة
الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى ثقة، متقن، ثبت،
حجة، عدل، حافظ، ضابط صدوق، محله الصدق، لا
بأس به صالح الحديث شيخ
4. Adz-Dzahabi
(673-748 H)
الرتبة
الرابعة
الرتبة
الثالثة
الرتبة
الثانة
الرتبة
الأولى
ثبت
حجة، ثقة
حافظ،
ثقة
متقن،
ثقة
ثقة
صدوق،
ثقة
لا
بأس
به،
ليس
به
بأس
محله
الصدق،
جيد
الحديث، صالح
الحديث
شيخ
وسط، شيخ
حسن
الحديث،
صدوق
إن
شاء
الله،
صويلح
...
5.Ibn Hajar al-Asqalani (W.852 H)
الرتبة
الأولى
الرتبة
الثانة
الرتبة
الثالثة
الرتبة
الرابعة
الرتبة الخامس
الرتبة السادس
أوثق الصحابة
الناس،
ثقة
ثقة، ثقة
حافظ
ثقة، متقن،
ثبت،
عدل
صدوق، لا
بأس
به،
ليس
به
بأس
صدوق، ضيء
الحفظ،
�
صدوق
يهم،
صدوق
له
أوهم أو
يخطئ،
أوغير
أخره،
ومن
رمى
بنوع
البدعة:
التشيع،
القدر،
النصب،
الإرجاء،
التجهم
...
مقبول حيث
يتابع،
لين
الحديث
5.
Al-‘Irâqi
الرتبة
الأولى
الرتبة
الخامس
الرتبة
الرابعة
الرتبة
الثالثة
الرتبة
الثانة
ثقة
ثبت،
ثقة
ثقة،
ثبت
ثبت
ثقة،
متقن،
ثبت،
عدل،
حافظ،
حجة،
ضابط
صدوق،
ليس
به
بأس
محله
الصدق،
مأمون
خيار
شيخ
وسط،
وسط،
شيخ،
صالح
الحديث، حسن
الحديث، جيد
الحديث
6.
Ajjaj Khatib
الرتبة
الأولى
الرتبة
الثانة
الرتبة الثالثة
الرتبة الرابعة
الرتبة الخامس
الرتبة السادس
أوثق الناس،
أضبط
الناس،
وليس
له
نظير
فلان لايسأل
عنه،
او
عن
مثله
ونحو
هذا
...
ثقة ثقة،
ثقة
حافظ،
ثقة
حافظ
ثبت، متقن،
حجة، إمام
،
عدل
حافظ،
صدوق، مأمون،
لابأس
به،
محله
الصدق،
صالح
الحديث
شيخ، ليس
ببعيد
من
الصواب،
صويلح،
صدوق
إن
شاء
الله
Penjelasan tingkatan
Lafazh at-Ta‘dil Analisa terhadap penilaian berdasarkan kategori dan
klasifikasi ulama pada istilah yang diperuntukkan bagi para periwayat sebagai
berikut:
(a) Pada tingkatan pertama haditsnya
diterima dan dijadikan hujjah;
(b) tingkatan kedua haditsnya diterima jika
terdapat muttabi‘ dan syawâhid;
(c) tingkatan ketiga haditsnya ditulis
untuk dii‘tibar (diteliti lebih lanjut).[8]
.
Ini terpapar dalam tabel berikut:
عجاج الخطيب
ابن العراقي
حجر
ابن النووي
الذهبي
الصلاح
الرتبة الرازي
I, II, III, IV
I, II I, II, III
I, II I I I الأولى
V III, IV IV III II, III II, III II,
III الثانة
VI V V, VI IV IV IV IV الثالة.
Di dalam penelitian
berikutnya, mencari data-data yang vailed dari kitab-kitab rijal al-hadis,
khususnya kepada kitab-kitab al-jarh wa al-ta’dil. Yang mana buku-buku tersebut
adalah standar yang diakui umat Islam sebagai referensi dalam penelitian
sejarah para periwayat hadis Nabi SAW. baik otobigrafinya, seperti nama, pengembaraan keilmuan, pembelajaran,
domisili, tahun wafatnya dan komentar para ulama kritikus hadis kepada setiap
periwayat hadis. Penelitian secara mendalam tentang sanad hadis Nabi sebagai
guru, Nabi menggunakan metode dalam usaha mentransfer ilmu telah dilakukan.
Adapun hasil temuan data-data dari sanad
kedua hadis tersebut menjadi lampiran akan menjadi bahan analisis tetang
penentuan kualifikasi kedua hadis yang diteliti.
Di antara ulama, ada
yang memasukkan pada defenisi hadits sifat (washfi), sejarah (tarikhi), dan
cita-cita (hammi) Rasul. Hadits sifat (washfi) baik sifat fisik (khalqiyah)
maupun sifat perangai (khuluqiyah). Sifat fisik seperti tinggi badan Nabi yang
tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, kulita Nabi putih kemerahmerahan
bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting dan lain-lain. Sedangkan sifat
perangai mencakup akhlak Rasulullah saw., misalnya sayang terhadap fakir miskin
dan lain-lain. Sejarah hidup Rasul juga masuk dalam hadits baik sebelum menjadi
Rasul atau sesudahnya. Menurut pendapat yang kuat, jika setelah menjadi Rasul,
wajar dimasukkan sebagai sunnah atau hadits tetapi sejarah yang terjadi sebelum
menjadi Rasul belum dimasukkan ke dalam sunnah kecuali jika diulang kembali dan
dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Beberapa sinonim hadits seperti
sunnah, khabar dan atsar. Sunnah menurut bahasa banyak artinya, di
antaranya ًَ
ةَعَبْتً
الم
َُةَرْ
يِ
الس
= suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan
buruk, seperti sabda Nabi saw.:[9]
Barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah)
kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang
siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka
atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun (HR. Al-Tirmidzi Sunnah baik seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw.
memang harus diikuti, tetapi sunnah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
harus dijauhi. Hadits tersebut memberikan motivasi sunnah yang baik dan
mengancam sunnah yang buruk.
kil rakyat.
Syarat-syarat wakil rakyat menurut ilmu al – jarh waat taˋdîl sebagai berikut;
Pertama, Keadilan seorang calon bila sosok tersebut beragama Islam, baligh,
berakal, dan tidak fasik, serta menjaga kewibawaan atau marwahnya; Kedua,
memiliki kecerdasan Intelektual yang mumpuni; Ketiga, dapat menjadi bakal calon
kalau semua rakyat mendukung disertai keputusan Partai dan KPUkarena
kebaikannya; Keempat, tidak memasukkan orang yang tidak amanah dengan kata lain
pernah terlibat kasus yang menjeratnya dalam masalah hukum; Kelima, bila calon
hanya berbuat kesalahan yang tidak fatal, maka tetap diloloskan dari
pencalonan; keenam, calon tetap dapat diusung bila ada kritik dari lawan politik
atau musuh politiknya. Sedangkan korelasi terhadap teori Kredibilitas dalam
memilih wakil rakyat adalah bagaimana seorang calon dapat menimbulkan sumber
daya tarik dan sumber kepercayaan sesuai dengan kemampuan komunikator, bilamana
ia memiliki sifat keadilan dan kedabitan dalam ilmu al - jar h wa at - ta ˋ
dîl , maka otomatis dua
hal tersebut dapat berjalan dengan seimbang sesuai dengan teori kredibilitas.
Faktor yang berpengaruh dalam teori kredibilitas yaitu faktor kejujuran,
kepercayaan, kebenaran, dan keadilan. Kemudian faktor profesionalime atau
kopetensi dengan pengalam yang ada, serta faktor dinamisme dengan pergerakan
dari seorang calon itu untuk bergerak aktif. Terakhir adalah faktor
objektivitas terhadap pandangan dan pemikiran seorang calon dalam menyikapi
permasalahan yang ada. Ada beberapa kalimat dalam penilaian
ulama kepada para periwayat yang msih memerlukan keterangan lebih detail, di
samping ada perbedaan pemahaman atau pemakaian sesama ahli kritik itu. Berikut
ini akan diungkapkan penjelasan para ulama tentang beberapa lafazh yang ada
dalam al-jarh wa atta‘dîl, di antaranya:
Kalimat “a) la ba’sa
bih”, dan “laisa bih ba’sun”. Ibn Ma‘în berkomentar; apabila saya mengatakan
demikian maka itu adalah tsiqah. Bukan berarti suatu ungkapan tajrîh
(mencacati, mencela) yang berat. Bahkan kebanyakan ahli hadits mengambil
periwayat yang diberi penilaian demikian oleh Ibn Ma‘în. Shidiq Basyîr Nashr
mengutip apa yang dikemukakan ibn ash-Shalâh yang meriwayatkan dari Ibn Abi
Khaitsam, ia berkata kepada Ibn Ma‘în berkenaan dengan perkataan beliau,
kemudian dapat diperoleh keterangan tentang kedua lafazh tersebut bukanlah
ungkapan kalimat lemah (dla‘îf) tetapi bermakna tsiqah.[10]
Kalimat “b) laisa bi syain”, jika ini
dikemukakan oleh Ibn Ma‘în maka itu menunjukkan makna suatu sifat lemah seorang
periwayat. Ibn al-Qaththân menjelaskan makna yang terkandung dalam ungkapan
tersebut yakni bahwa hadits periwayat itu sedikit sekali atau ia tidak banyak
meriwayatkan hadits serta dla‘îf di sebagian haditsnya. Pendapat ini sejalan
dengan al-Hafizh Duhaim, akan tetapi menurut mereka berdua lafazh tersebut
berada pada tingkatan tsiqah yankni pada peringkat kelima dalam at-ta‘dîl. Kata
“laisa bi syain” sebenarnya menurut kebanyakan ulama jatuh pada posisi tidak shahîh
dan tidak dapat dipegangi, seperti ungkapan Ibn Baththal yang dimaksudkan
sebagai kkata peniadaan ke shahîhan padanya, meski tidak sampai pada predikatpembohong.
asy-Syâfi‘i menyamakan status “laisa bi syain”dengan makna yang terkandung
dalam “kadzdzab” artinya keduanya tidak dapat diterima riwayatnya. Ibn Ma‘în
menyatakan itu berarti sedikit meriwayatkan hadits, demikian komentar Abu
Ghuddah dalam “arRaf‘u wa at-Takmil”. Bahkan ketika Ibn Ma‘în memberi penilaian
semacam itu, Ahmad bin Hanbal menyamakannya dengan munkar al-hadits dla‘îf, dan
an-Nasâ’i dengan kata-kata “matruk”, demikian pula al-Bukhari meyamakannya
dengan kalimat “tarakuhu” terhadap periwayat yang bernama Ghufair bin Ma‘dan
dan Utsmân bin Abd arRahmân al-Quraisya az-Zuhri al-Waqasyi.
Kalimat “c) yu‘rafu dan yunkaru”, menurut
al-‘Irâqi dimasukkan kepada tingkatan kelima dari al-jarh , kedua bentuk itu
bermakna bahwa haditsnya suatu suatu waktu dekat kepada hadits yang ma‘ruf, dan
sesekali dekat kepada yang munkar, hadits demikian adalah perlu disesuaikan
atau diperbandingkan dengan hadits para periwayat tsiqah yang telah ma‘ruf
(dikenal).
d) Kalimat “munkar
al-hadîts dan yarwi al-manâkir” menunjukkan periwayatannya adalah banyak
menyendiri (tafarud), tidak ada riwayat lain yang meriwayatkan. Sedangkan
ungkapan “hadîts munkar” adalah istilah yang datang dari kalangan ulama
muta’akhirîn yang berarti hadits itu diriwayatkan oleh periwayat dla‘îf dan
bertentangan dengan periwayat tsiqah.
Kesimpulan
Ilmu al - Jarh wa at
- Taˋdîl seolah menjadi
sebuah ilmu yang usang, yang hanya digunakan untuk mengkritik riwayat hadis.
Ilmu ini juga diangggap hanya sebuah tehnik untuk mengkritisi seorang periwayat
hadis saja. Padahal, kajian teks hadis dapat terjaga keotentisitasannya dan
orisinalitasnya menggunakan ilmu al - jar h w a a t - ta ˋ
dîl. Sehingga, kemurnian hadis dalam sebuah tatanan hukum Islam dapat terjaga.
Nabi Muhammad Saw.
adalah seorang Rasul yang membawa risalah universal (Rahmatan li al-‘Alamin)
dari Allah SWT. Sebagai Nabi dan Rasul beliau merupakan teladan (uswatun
hasanah), dan sebagai Rasul beliau juga wajib untuk ditaati. Satu hal yang
harus diyakini, pada umumnya Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan,
perbuatan dan ketetapannya mempunyai implikasi hukum yang mesti diikuti (Sunnah
Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap al-Qur’an tentang beberapa
masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan
tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah
diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman
dan apa yang beliau larang haruslah dihindari. Namun, selain sebagai seorang
Nabi dan Rasul beliau juga adalah manusia sebagaimana manusia lainnya seperti dijelaskan
dalam ayat al-Qur’an. Beliau tentu juga memiliki keperluan jasmani dan rohani,
memiliki keinginan dan selera serta mempunyai kebiasaankebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari. Apakah semua yang datang dari beliau sebagai manusia
biasa dalam konteks bahwa sebagian perbutan dan perkataan beliau yang muncul
dari sifat kemunusiaannya (Jibillah Basyriyyah) juga merupakan sumber syari’at yang mengikat. Hal inilah yang menjadi perdebatan di
kalangan ulama, sehingga memunculkan wacana Sunnah tasyri’iyyah dan ghairu
tasyri’iyyah, pada dasarnya adalah berpijak dengan prinsip pemisahan antara apa
yang bersumber dari wahyu Tuhan (Ilahi) dengan
apa yang bersumber dari pada
nalar manusia (human/basyari).
Sejarah merupakan sebuah ilmu
yang menanamkan pengetahuan dan nilainilaimengenai proses perubahan dan
perkembangan masyarakatdunia masa lampau hingga kini. Sejarah adalahcerita
tentang kejadian, merupakan suatu cerita dan berurutan.Arti kata sejarah masih
terlalu umum dan belum menunjukkanciri khas sejarah yaitu peranan manusia dan
kejadian alam tidak semuanya dapat dikatakankejadian historis. Peristiwa atau
kejadian yang penting yang terjadi pada manusia yang membawa perubahan dan
perkembangan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah diartikan sebagai
suatu tentang apa yang telah dikerjakan dan dipikirkan oleh manusia pada masa
yang lampau. Sejarah sebagai sebuah ilmu memiliki metode dalam menelusuri
data-data sejarah. Hal ini biasa disebut Heuristik (Pengumpulan sumber-sumber
sejarah), Kritik (Verifikasi sumber sejarah yang otentik), Interpretasi
(menafsirkan datadata sejarah pada sumber sejarah), Historiografi (penulisan
sejarah). Selain itu, dalam mengkaji sebuah peristiwa sejarah diperlukan
berbagai pendekatan, seperti Sosiologi, Antropologi, Etnografi, Arkeologi dan
lai-lain.
Penelitian
tentang kualifikasi hadi Nabi SAW. sebagai seorang pendidik dan hadis Nabi tentang metode dalam mentransfer ilmu kepada umat
Islam ditinjau dari kritik sanad-nya yang diimplementasi dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Maka ada beberapa
temuan yang disimpulkan:
a. Data-data antara guru dan murid dalam jalur
sanad melalui penelitian kepada kitabkitab al-jarh wa al-ta’dil menunjukkan ada
kesinambungan, kemudian menjadi
pertimbangan dalam menetapkan bahwa hadis-hadis tersebut muttashi (bersambung).
b.
Data-data tahun wafat para periwayat hadis menjelaskan bahwa umur manusia yang
logis, menjadi pertimabangan bahwa mereka pernah bertemu dalam situasi
pembelajaran antara guru dan murid. Data tersebut menjadi petunjuk bahwa hadis ini muttashil
(bersambung).
c.
Data-data tentang komentar-komentar para ulama kritikus hadis tentang
sifat-sifat yang melekat pada diri para periwayat hadis berada pada posisi
al-ta’dil peringkat pertama sampai keempat. Ulama hadis sepakat bahwa posisi
al-ta’dil dari tingkat pertama sampai keempat bisa dijadikan hujjah syar’i
dalam praktik kehidupan umat Islam.
d.
Hadis pertama, kedua dan hadis pembanding semua termasuk hadis muttashil dan
shahih dari kajian sanad hadisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
Mukhtalif Menurut al-Syafi’i.” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014):
183–201.
Edy,
Relit Nur. “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah).” ASAS
6, no. 2 (2014).
Falihatun,
Nur. “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish
Shihab).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018):
239–256.
Haif,
Abu. “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH.” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan
4, no. 1 (2016).
Isnaeni,
Ahmad. Perilaku Bid’ah Dan Pengaruhnya Dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl. Idea
Press Yogyakarta, 2016.
Mukhtar,
Mukhlis. “PENELITIAN RIJAL AL-HADIS SEBAGAI KEGIATAN IJTIHAD.” DIKTUM:
Jurnal Syariah Dan Hukum 9, no. 2 (2011): 187–194.
Qomarullah,
Muhammad. “KONTEKSTUALISASI ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL
RAKYAT DAN KORELASINYA DENGAN TEORI KREDIBILITAS.” Diroyah: Jurnal Studi
Ilmu Hadis 3, no. 2 (2019).
Siregar,
Khairil Ikhsan. “Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa
Al-Ta ‘Dil).” Jurnal Studi Al-Qur’an; Vol 10, no. 1 (2014).
Sofiah,
Sofiah. “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD
SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO.” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2
(2018): 189–210.
Zulkipli,
Shahril Nizam, Zuriani Yaacob, Norazmi Anas, Mohd Syukri, Mohd Noor, MZHZ
Abidin, Amin Che Ahmat, and Mohd Asmadi Yakob. “Takhrij Al-Hadith via Mobile
Apps: Study of 9 Imam Encyclopedia, Kutub Tis ‘ah and Mawsu ‘ah al-Hadith
al-Nabawi al-Syarif.” International Journal of Academic Research in Business
and Social Sciences 7, no. 6 (2017): 1174–1185.
[1]
Ahmad Isnaeni, Perilaku Bid’ah Dan
Pengaruhnya Dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl (Idea Press Yogyakarta, 2016) hlm :
127-230
[2] Relit Nur Edy, “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu
Kajian Aliran Ingkar Sunnah),” ASAS 6, no. 2 (2014) hlm : 3-90
[3]
Nur Falihatun, “Hadis Nabi Tidak DijamiN
Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab),” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018) hlm : 239–256.
[4]
Abu Haif, “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH,”
Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016) hlm : 4-125.
[5]
Muhammad Qomarullah, “KONTEKSTUALISASI
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN KORELASINYA
DENGAN TEORI KREDIBILITAS,” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 3, no. 2
(2019) hlm : 57-135.
[6]
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian
Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2
(2014) hlm: 183–201.
[7]
Mukhlis Mukhtar, “PENELITIAN RIJAL
AL-HADIS SEBAGAI KEGIATAN IJTIHAD,” DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum 9,
no. 2 (2011) hlm: 187–194.
[8]
Khairil Ikhsan Siregar, “Telaah Hadis
Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta ‘Dil),” Jurnal Studi
Al-Qur’an; Vol 10, no. 1 (2014) hlm : 78-130.
[9]
Shahril Nizam Zulkipli et al., “Takhrij
Al-Hadith via Mobile Apps: Study of 9 Imam Encyclopedia, Kutub Tis ‘ah and
Mawsu ‘ah al-Hadith al-Nabawi al-Syarif,” International Journal of Academic
Research in Business and Social Sciences 7, no. 6 (2017) hlm: 1174–1185.
[10]
Sofiah Sofiah, “KUALITAS SANAD HADIST
DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO,”
JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018) hlm: 189–210.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar