Kamis, 07 November 2019

Hadis Maudu' : Pengertian, Sejarah Kemunculan dan Faktor Melatarbelakanginya, Kiteria Hadis Maudu'


Hadis Maudu’: Pengertian, Sejarah Kemunculan dan Faktor Melatarbelakanginya, Keriteria Hadis Maudu’

Kesendirian adalah hal yang terindah
Pendahuluan
Para ulama sepakat bahwa hadits adalah sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi saw. baik yang bersifat perbuatan, perkataan dan taqrir. Umat Islam wajib menerima semua ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah SAW. Itu baik yang berhubungan dengan ibadah, munakahah, muamalah dan jinayah, akhlak dan sebagainya. Sumber hukum yang pertama adalah al-Qur’an yang diriwayatkan secara mutawatir sehingga para ulama sepakat semua ayat al-Quran dapat dijadikan hujjah dan nilainya qathi’iy. Tetapi berbeda dengan hadits, sebagian kecil saja yang diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan yang lain diriwayatkan secara Ahad. Para ulama hadits telah mengklasifikasikan bahwa hadits “Maudhu’” itu adalah salah satu diantara macam hadits dhaif, yang sampai kepada generasi sahabat tabi’in serta atba’at tabi’in telah menempuh beberapa fase, yang berbeda kondisi, tingkat kejujuran seseorang perawi dan keta’ataannya. Apalagi dipengaruhi oleh misi politik yang saling menghina, mengkultuskan satu sama lain. Sehingga mereka tidak merasa takut menciptakan dan membuat hadis palsu yang mengatasnamakan prilaku Rasulullah SAW.
  A.  Pengertian Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, kata Maudhu’ ) (ﻣﻮﺿﻮع adalah isim maf’ul dan fi’il madhi wadha’a ) (وﺿﻊ mudhari’nya yadha’ ) (ﯾﻀﻊ yang mempunyai banyak arti sesuai menurut konteks dari kalimat itu sendiri, antara lain menggugurkan isqath seperti ( )وﺿﻊ اﻟﺠﻨﺎﯾﺔ ﻋﻨﮫ artinya menggugurkan jinayah dari padanya. Adakala bermakna meninggalkan ) (اﻟﺘﺮك seperti اﺑﻞ ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ ﻓﻰ اﻟﻤﺮﻋﻰ artinya ada yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya dan ada pula yang bermakna memalsukan contohnya dalam kalimat وﺿﻊ ﻓﻼن ھﺬه اﻟﻘﺼﺔ artinya si pulan membuat-buat atau mereka-reka kisah ini. Sedangkan menurut istilah Ulumul Hadits, sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa ahli, seperti Muhammad ‘Ajjjaj al-Khatib, Hasbi ash-Shiddieqi dan Subhi ash-Shahih adalah sebagai berikut : Muhammad ‘Ajjjaj al-Khathib menjelaskan : ﻣﺎ ﻧﺴﺐ إﻟﻰ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أﺧﺘﻼﻓﺎ وﻛﺬﺑﺎ ﻣﻤﺎ ﻟﻢ ﯾﻘﻠﮫ أو ﯾﻔﻌﻠﮫ أو ﯾﻘﺮره. Artinya : sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Secara bohong dan dusta, padahal Rasulullah saw. tidak pernah mengatakan, mengerjakan atau menyetujuinya.
   Ibn al-Jawzi mencantumkan hadis ini dalam al - Maw du‘at dari jalur sanad
al-Khatib sebagaiman hadis di atas. Ibn al-Jawzi menguatkan analisanya
berdasarkan analisa Yahya ibn Main dan Ibn Adi bahwa anak Ja’far tidak
diakui riwayatnya,  hadis-hadisnya adalah Munkar dan Abdullah ibn Muhammad ibn Sinan adalah dicurigai berbohong”. [1]Menurut al-Daruqutni, ia adalah matruk Juga berdasarkan analisa Ibn Hibban  bahwa Ia memalsukan hadis, membolak-balikkan hadis dan mencurinya.  Ibn al-Jawzi memawdu‘ -kan hadis di atas karena Asbagh ibn Zaid tidak mahfuz  Alasan tersebut bersandar pada argumen Ibn ‘Adi (w.365 H.). Selanjutnya Ibn al-Jawzi menguatkan argumennya dengan bersandar pada Ibn Hibban yang menyatakan bahwa hadis di atas tidak dapat dijadikan hujjah jika hanya dia yang meriwayatkan hadis.
B. Sejarah Kemunculan dan Faktor Melatarbelakanginya
Para pakar hadits telah berbeda pendapat tentang awal mulanya fungsi hadits Maudhu’, ada yang menyatakan hadits Maudhu’ terjadi pada awal 10 H. seperti yang telah disampaikan oleh Mushthafa As-Siba’iy dalam bukunya alSunnah Wamakanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Usaha pemalsuan ini disebabkan kepentingan pribadi, primordial, politik seperti pertentangan politik (khalifah) antara Ali dan Mu’awiyah. Sedangkan dalam kitab Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Shubhi alShahih menyatakan hadits Maudhu’ itu lahir pada 41 H. pada saat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, dan pada masa itu pula terpecah umat Islam kepada tiga golongan yaitu : Syiah, Mu’awiyah dan Khawarij. Golongan Syi’ah yang setia kepada’ Ali juga kepada Ahlul Bait beranggapan bahwa Ali yang berhak memegang tampuk khalifah. Agar konsep ini berjalan mulus maka mereka membuat ceritera tentang keutamaan ‘Ali dengan menciptakan hadis-hadis maudhu’. Demikian juga golongan Mu’awiyah dan Khawarij. [2]Sebagai contoh golongan Syi’ah menetapkan adanya pesan dari Rasulullah kepada ‘Ali sebagai pengganti khalifah sesudahnya, sehingga mereka berani menciptakan satu hadis seperti berikut: Hadis tersebut jelas mendominasi posisi ‘Ali sebagai khalifah, dan ia berhak menduduki kursi khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW. wafat. bukan Abu Bakar, ‘ dan bukan pula ‘Usman Bin Affan ataupun Mu’awiyah, Setelah diteliti ternyata hadis ini adalah hadis maudhu’, dan tersiar pada pihak lawan politik, yaitu kaum Syi’ah. Mereka turut juga membuat hadis lain untuk menandingi Kaum ‘Aliyin serta mengkukuhkan derajat Abubakar, Umar, Usman dan Mu’awiyah, dengan hadis versi mereka.
Hadis maudhu’ tersebut telah menggambarkan kredibilitas Mu’awiyah, Abu Bakar, Umar dan Usman dan mendapat derajat yang tinggi bila dibandingkan dengan ‘Ali dan pengikutnya. Pada akhirnya Mushthafa As-Siba’i menyimpulkan bahwa sejak periode tabi’in usaha pemalsuan hadis telah dimulai, baik di masa kibaru At-tabi’in (para tabi’in yang pada masa sahabat telah dewasa), maupun pada masa Shighar AtTabi’in (Pra-tabi’in di masa sahabat masih anak-anak). [3]Pada masa kibaru AtTabi’in usaha pembuatan hadis palsu masih relative kecil bila dibandingkan dengan masa shigharu at-tabi’in, dengan alas an :
1. Para tabi’in besar lebih menghayati wibawa Rasulullah dibandingkan dengan para tabi’in kecil.
2. Prilakunya lebih memancarkan nilai ketaqwaan dan keta’atan beragama.
3. Perbedaan suhu politik tidak begitu tajam dan belum meluas.
 4. Masih banyak di antara sahabat dan tabi’in yang memancarkan nilai keilmuan dan kejujuran.
5. Ketelitian mereka dalam memisahkan mana hadis shahih dan maudhu’ itu lebih dekat dengan kebenaran.
 6. Mereka lebih membuka rahasia yang baik dan meluruskan sesuatu yang tidak baik, untuk terhindarnya hadits-hadits palsu.  Menurut Abu Rayah, hadits maudhu’, sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah masih hidup. Beliau membuat alasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’iy dan Ibnu Majah, yaitu: ان ﻛﺬﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﻟﻴﺲ ﻛﻜﺬب ﻋﻠﻰ اﺣﺪ وﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﻠﻴﺘﺒﻮأ ﻣﻌﻘﺪﻩ ﻣﻦ اﻟﻨﺎر" Pengertian hadits ini adalah berdusta atas namaku tidaklah sama dengan atas nama orang lain, barang siapa yang berdusta terhadap diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati neraka sebagai tempat tinggalnya. Imam Sayuthi menjelaskan dalam kitabnya Tahzir Al-Khawasi, tentang asbabul wurud datangnya hadits tersebut di atas sebagai berikut : telah datang seorang laki-laki kepada suatu kaum yang dekat dengan kota Madinah ia bermaksud melamar seorang wanita dari kaum itu, tetapi tanpa diduga famili siwanita menolak lamarannya. Kemudian ia datang lagi menemui famili itu dengan membawa pakaian baru sambil memberitahukan bahwa Nabi SAW. Telah memberikan pakaian itu untuknya. Lalu famili si wanita mengirim utusan menghadap Nabi untuk meneliti kebenaran laki-laki itu. Jawab Nabi, bahwa itu bohong dan musuh Allah dan beliau mengutus seorang sahabat seraya berkata : Bila anda mendapatkan dalam keadaan hidup bunuhlah ia, akan tetapi kamu tidak akan mendapatkannya dalam keadaan hidup, jika kamu mendapatkan nya dalam keadaan mati bakarlah ia. Ternyata bahwa orang itu di dapati dalam keadaan mati karena tersengat binatang berbisa dan ia telah mati, maka sahabat itu membakarnya. Ibn Husain menerima hadis dari Ibn al-Dhahab dari Ahmad ibn Ja’far dari Abdullah ibn Ahmad dari ayahku dari  Musa ibn Dawud dari Muhammad ibn Jabir dari ‘Amr ibn Murrah dari Abi al-Bakhtari dari Hudaifah berkata, suatu kali kami bersama Rasulullah mengiring jenazah. Ketika kami sampai di kubur beliau duduk di sampingnya dan terus memandanginya, kemudian beliau bersabda, orang mukmin dihimpit di dalamnya dengan himpitan yang dapat menghilangkan bebanbeban deritanya, sedang orang kafir dihimpit dengan himpitan yang dapat mengobarkan api.[4] Menurut Ibn al-Jawzi hadis ini tidak sahih, karena Ibn al-Jawzi menyandarkan analisanya pada Yahya dan Ahmad yang menyatakan bahwa perawi hadis yang bernama Muhammad ibn Jabir adalah tidak thiqah dan tidak boleh diriwayatkan kecuali orang yang lebih buruk darinya. Ibn al-Jawzi memawdu‘ kan hadis ini karena terdapat seorang perawi yang tidak thiqah dengan alasan: terdapat perawi yang bernama Said ibn Fairuz Abu al-Bukhtari  yang menyatakan telah meriwayatkan hadis dari Hudhaifah, pada kenyataannya menurut Yahya, ia tidak pernah bertemu dengan Hudhaifah,  oleh karena itu Ahmad menyatakan bahwa tidak boleh meriwayatkan hadis dari Abu Bukhtari kecuali orang yang lebih buruk darinya.
Asbabul wurud datangnya hadits ini merupakan suatu instrument yang awal mula timbul hadits palsu. Masyarakat semakin sehari semakin kompleks menghadapi berbagai kepentingan politik, pribadi dan partainya, maka mereka tidak segan-segan menciptakan pernyataan yang dilabelisasi dengan istilah hadits. Disini dapat disimpulkan bahwa hadits palsu telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup, walaupun dalam batas-batas relative tidak banyak. [5]Para muhadditsin telah mengidentifikasikan tentang sebab-sebab timbulnya hadits maudhu’ adalah sebagai berikut :
1. Pertentangan politik

2. Usaha kaum zindik
3. Ta’asub kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kenegaraan dan kekhalifahan
4. Usaha para qussah terhadap kaum awam dengan nasehat dan ceritera
 5. Perselisihan dalam bidang Fiqh dan ilmu kalam
6. Membangkitkan gairah beribadah tanpa mengetahui asal-usulnya
 7. Menjilat kepada raja atau pemimpin pemerintahan.  Pertentangan seperti ini telah diuraikan oleh Mushhthafa As’Siba’i dan Muhammad ‘ Ajjaj Al-Khatib dan juga oleh ulama-ulama hadits lainnya.
 Ad I. Pertentangan politik Pertentangan politik sedikit banyaknya akan menimbulkan suasana kehidupan yang memberikan angina segar bagi pada pembohong  dalam memalsukan hadits, deami terwujudnya cita-cita, seperti Al-Rafidhah (salah satu sekte dari kaum Syi’ah). Mereka dalam rangka mengkultuskan Sayyidina ‘Ali dan Ahlu Al-Baitnya rela mengorbankan keyakinan dan kebenaran dengan membuat 300.000 hadits palsu .Hammad Ibnu Salamah dalam kitabnya Minhaj Al-Sunnah pernah meriwayatkan bahwa salah seorang tokoh Rafidhah berkata : “Sekiranya kami berkumpul dan saat itu kami menemukan sesuatu yang kami pandang baik, maka kami akan menjadikan sebuah hadits”. Kalangan Ahlu As-Sunnah telah membuktikan satu hadits palsu, mengenai wasiat qadir Khan, yang disimpulkan sebagai berikut : Ketika Nabi SAW kembali dari Hujjatul Wada’, beliau mengumpulkan para sahabat di tempat tersebut, beliau memegang tangan Sayyidina ‘Ali sambil berdiri di sampingnya yang disaksikan oleh para sahabat yang lain: 1. Inilah pelaksana wasiatku, saudaraku, dan khalifah sesudahku, oleh karena itu ikutlah dan datanglah. 2. Aku ini timbangan ilmu dan ‘Ali ibarat piring timbangan, Hasan dan Husen ibarat talinya, dan Siti Fatimah ibarat tiangnya. Dengan timbangan inilah ditimbang amal orang-orang yang mencintainya atau orang-orang yang membenci kami. Para pemalsu ini membuat hadits untuk mengkultuskan terutama ‘Ali serta keluarganya, hadits palsu tersebut di atas ditandatangani oleh lawan politiknya dan ia juga membuat hadits palsu.[6]
 ad 2 Usaha kaum zindik Kaum zindik termasuk golongan yang menghina ajaran Islam, baik sebagai dasar agama maupun dasar pemerintah. Bagi kaum zindik sulit menemukan cara mendiskreditkan Islam, kecuali dengan cara memalsukan hadits, di antara hadits yang mereka buat   adalah Pernah Allah SWT, sakit dua matanya lalu para malaikat menjenguknya.  Buah terung merupakan obat bagi segala penyakit . Memandang wajah cantik merupakan ibadah Tokoh Zindik yang terkenal sebagai pembuat hadits maudhu’ adalah Abd Al- Karim Ibnu Abi Al-Awja’ (Ia mengaku telah membuat hadits sebanyak 4.000 hadits palsu. Bayan Ibnu Saman Al-Mahdi dan Muhammad Ibnu Sa’id AlMaslub).  
ad 3 Ta’assub kebangsaan, kesukuan, kebahasaan kenegaraan dan kekhalifahan. Pemalsuan hadits biasa dilakukan oleh orang-orang yang fanatic buta kepada seseorang atau sesuatu hal dengan maksud memperlihatkan keunggulan yang dimilikinya Hadits palsu ini ditandingi oleh orang-orang Arab yang fanatik pula dan merasa tersinggung dengan hadits yang mereka buat, contohnya hadits adalah sebagai berikut: إن اﷲ إذا ﻏﻀﺐ أﻧﺰل اﻟﻮﺣﻰ ﺑﺎﻟﻔﺎرﺳﻴﺔ وإذا أرﺿﻰ أﻧﺰل اﻟﻮﺣﻰ ﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ
Artinya : Apabila Allah marah menurunkan wahyu dalam bahasa Persi dan apabila Allah senang menurunkan wahyu dalam bahasa Arab.
adad 4. Usaha para Qusah terhadap kaum awam dengan nasihat dan ceritera. Dalam sejarah perjalanan umat Islam pernah tumbuh tradisi pengajaran buat orang-orang awam melalui pembacaan kisah-kisah dan pemberian nasehatnasehat di Mesjid. Dengan kisah seorang Ahli yang dapat memikat, bias pendengar terpukau dan kagum terhadapnya, bahkan bisa menyebabkan para pendengar menangis. Ada kisah menarik yang terjadi di sebuah Mesjid Rafasah, antara Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in disatu pihak dengan seorang ahli di pihak yang lain. Pada suatu hari Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in shalat di Mesjid Rafasah (Madinah). Pada saat itu ada seorang Ahli yang menceritakan begini : Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in telah menyampaikan berita kepadaku sebagai berikut : telah diberitahukan kepada kami oleh Abdurrazaq yang menerima riwayat itu dari Qatadah, bersumber dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda : ﻣﻦ ﻗﺎل إﻟﻪ إﻻ اﷲ ﺧﻠﻖ اﷲ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻛﻠﻤﺔ ا ﻣﻨﻘﺎرﻩ ن ذﻫﺐ ورﻳﺸﻪ ﻣﻦ ﻣﺮﺟﺎن. Artinya : Barang siapa yang mengucapkan kalimah Lailahaillallah untuk setiap هdari marjan. Tapi hadits palsu ini oleh orang-orang tersebut dibumbui lagi sehingga mencapai 20 lembar. Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in yang mendengar ini saling melirik dan Yahya mengatakan: Demi Allah saya mulai hari ini mendengar ceritera seperti ini. Setelah ceriteranya selesai, Yahya memanggil si qussah itu dan diapun menghampirinya pada saat itulah terjadi dialog diantara mereka. [7]
ad. 5. Perselisihan dalam bidang ilmu fiqh dan kalam Dengan munculnya berbagai masalah khilafiyah dalam bidang ilmu fiqh dan kalam, mulailah usaha pembuatan hadits – hadits palsu untuk memperkuat pendapat pandangan mazhab yang mereka ikuti, sebagai contoh hadits itu adalah: .ﻣﻦ ﻳﺮﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ اﻟﺼﻼة ﻓﻼ ﺻﻼة ﻟﻪ ١ .ﻣﻦ ﻗﺎال :اﻟﻘﺮآن ﳐﻠﻮق ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮر ٢ Artinya : 1. – Barang siapa yang mengangkat tangan di dalam shalat, maka shalatnya tidak sah 2. – Barang siapa mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, kafirlah ia (Hadits dalam bidang ilmu kalam). Banyak di kalangan kaum zuhud, para ‘ubbad shalih orang-orang shalih telah membuat hadits –hadits palsu dengan maksud baik. Mereka mengira usaha seperti itu merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena menurut hemat mereka telah dapat membangkitkan semangat beribadah kepada Allah SWT. Ghulam Khalil pernah dituduh membuat hadits palsu yaitu : ﻫﺬﻩ اﻷﺣﺎدﻳﺚ اﻟ ﲢﺪث ﻣﻦ اﻟﺮﻗﺎﺋﻖ
Atas tuduhan itu menjawab :
وﺿﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﺰﻓﻖ ﻗﻠﻮب اﻟﻌﺎﻣﺔ
Ad 6. Menjilat kepada raja atau pemimpin pemerintah Kasus Ghiyats Ibnu Ibrahim dapat dijadikan contoh. Pada suatu hari ia menghadap khalifah al – Mahdi, secara kebetulan khalifah yang gemar merpati dan ia sedang bermain-main merpati. Melihat ini Ghiyats meriwayatkan hadits sebagai berikut : ﺳﺒﻖ إﻻ ﻧﻀﻞ أو ﺣﺎﻓﺮ أو ﺟﻨﺎح Artinya : Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda dan mengadu burung. Pada kata terakhir an-junahun adalah tambahan dari ghiyats dan dengan hadits palsu itu ia mendapat hadiah sebanyak 10.000,- dirham dari khalifah. Namun ketika Ghiyats membalik khalifah menepuk kuduknya seraya berkata: “aku yakin ucapanmu itu sebenarnya dusta saudara telah mengatas namakan diri Rasulullah saw.” Akhirnya pada saat itulah beliau memerintahkan untuk menyembelihnya. Selain itu terdapat pula hadits maudhu’ yang dijadikan sebagai suatu ketidak sengajaan seperti : ﻣﻦ ﻛﺜﺮ ﺻﻼﺗﻪ ﺑﺎﻟﻴﻞ ﺣﺴﻦ وﺟﻬﻪ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎر Artinya : Barang siapa hanya shalat di waktu malam niscaya akan indah wajahnya di waktu siang Al-Hakim memberikan komentar bahwa Tsabit datang kepada Syariq yang sedang mendiktekan hadits.[8] Syariq mengatakan; Al-A’masy telah menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, ia mengatakan : Bahwa Rasulullah SAW. Sesudah itu beliau diam untuk memberikan kesempatan kepada penulis. Ketika beliau melihat Syariq beliau menyebutkan ucapan yang diatas, maka Tsabit menyangka bahwa perkataan yang dihadapkan kepadanya adalah matan hadits yang dimaksudkan padahal matan hadits sebenarnya adalah: ﻳـَْﻌِﻘُﺪ اﻟﱠﺸ ْﻴﻄَﺎُن َﻋﻠَﻰ ﻗَﺎﻓِﻴَِﺔ اﻟﱠﺮأِْس إذَا َﱂْ ﻳَُﺼﱢﻞ ﺑِﺎﻟﻠﱠْﻴِﻞ  {َوذََﻛَﺮ ِ َﺣِﺪﻳ ٍﺚ آَﺧَﺮ  : }ﻳـَْﻌِﻘُﺪ ﻗَﺎﻓِﻴَﺔَ َرأِْس أََﺣِﺪُﻛْﻢ ﺛََﻼ َث ﻋَُﻘٍﺪ ﻳَ ْﻀِﺮُب َﻣَﻜﺎَن ُﻛﱢﻞ ﻋُْﻘَﺪةٍ َﻋﻠَْﻴﻚ ﻟَْﻴٌﻞ ﻃَِﻮﻳٌﻞ ﻓَﺎْرﻗُْﺪ .ﻓَِﺈْن اْﺳﺘَـْﻴـَﻘَﻆ ﻓََﺬَﻛَﺮ اﻟﻠﱠﻪَ ﺗَـَﻌﺎَ اْﳓَﻠﱠ ْﺖ ﻋُْﻘَﺪةٌ ، ﻓَِﺈْن ﺗَـَﻮﱠﺿﺄَ اْﳓَﻠﱠ ْﺖ ﻋُْﻘَﺪةٌ ، ﻓَِﺈْن َﺻﻠﱠﻰ اْﳓَﻠﱠ ْﺖ ﻋُْﻘَﺪةٌ ؛ ﻓَﺄَ ْﺻﺒََﺢ ﻧَِﺸﻴﻄًﺎ ﻃَﻴﱢ َﺐ اﻟﻨﱠـْﻔ ِﺲ ؛ َوإِﱠﻻ أَ ْﺻﺒََﺢ َﺧﺒِﻴ َﺚ اﻟﻨﱠـْﻔ ِﺲ  َﻛْﺴَﻼَ
Artinya: Syaithan menyimpulkan tiga simpulan atas kuduk salah seorang kamu, apabila seseorang tidur. Ia pukul atas tiap-tiap simpul serta berkata : tidurlah sepanjang malam, maka jika terbangun lalu menyebut nama Allah, maka terurailah satu simpul, jika terus ia berwudhu terurai lagi satu simpul dan jika bersembahyang terurai sesimpul lagi, lalu ia menjadi tangkas dan gembira pada pagi harinya. Jika tidak, menjadilah ia seorang yang berjiwa keji lagi lesu dan pemalas.
 C.   Kiteria Hadis Maudu’
Para Muhadditsin telah berhasil mengidentifikasikan, bahwa upaya yang dilakukan dalam mengantisipasi penyebaran hadits palsu, adalah sebagai berikut :
1. Mengisnadkan hadits
 2. Meningkatkan usaha pencairan hadits
3. Meningkatkan tindakan tegas terhadap pemalsu hadits
4. Menerangkan keadaan perawi hadits
 5. Menetapkan kaedah-kaedah umum yang kuat untuk mengetahui hadits maudhu’.
 Ketika kaum muslimin dilanda fitnah, Abdullah bin Saba’ muncul mengajukan tuduhan negatif dengan isu pemikiran Syi’ah. Sejak itulah Ulama sahabat dan tabi’in mulai berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadits. Mereka bisa menerima suatu riwayat bila mana telah memenuhi syarat yang ada pada sanad dan para rawi. [9]Imam Muslim dalam muqaddimah kitabnya melukiskan bahwa Ibnu Sirin pernah berkomentar
 َﺣﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ َﺟْﻌ َﻔٍﺮ ُﳏَﱠﻤُﺪ ﺑُْﻦ اﻟ ﱠﺼﺒﱠﺎِح َﺣﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِْﲰَﻌِﻴُﻞ ﺑُْﻦ َزَﻛِﺮﻳﱠﺎءَ َﻋْﻦ َﻋﺎِﺻٍﻢ اْﻷَْﺣَﻮِل َﻋْﻦ اﺑِْﻦ ِﺳِﲑﻳَﻦ ﻗَﺎَل َﱂْ ﻳَُﻜﻮﻧُﻮا ﻳَْﺴﺄَﻟُﻮَن َﻋْﻦ اِْﻹْﺳﻨَﺎِد ﻓَـﻠَﱠﻤﺎ َوﻗَـَﻌ ْﺖ اﻟِْﻔْﺘـﻨَﺔُ ﻗَﺎﻟُﻮا َﲰﱡﻮا ﻟَﻨَﺎ ِرَﺟﺎﻟَُﻜْﻢ ﻓَـ ﻴُـْﻨﻈَُﺮ إَِ أَْﻫِﻞ اﻟﱡﺴﻨﱠِﺔ ﻓَـﻴُـْﺆَﺧُﺬ َﺣِﺪﻳﺜـُُﻬْﻢ َوﻳـُْﻨﻈَُﺮ إَِ أَْﻫِﻞ اﻟْﺒَِﺪِع ﻓََﻼ ﻳـُْﺆَﺧُﺬ َﺣِﺪﻳﺜـُُﻬْﻢ
 Artinya : Para ulama tidak mempersoalkan tentang sanad tetapi setelah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits, merekapun berkata kepada yang meriwayatkan hadits, sampaikan kepada kami perawi-perawi, maka mereka melihat kepada ahli sunnah lalu diambillah haditsnya dan mereka melihat kepada pembuat-pembuat bid’ah dan ditinggalkan. Ketetapan seperti ini membuktikan bahwa ulama Muhadditsin sangat selektif dalam menerima sesuatu hadits baik dari seorang guru maupun dari teman sebayanya, mereka menyeleksi para perawi yang terdapat dalam rentetan sanadnya. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi sikap generasi berikutnya tentang kewaspadaannya di dalam menerima dan menyampaikan hadits.
Meningkatkan usaha pencarian hadits Usaha ini dilakukan karena para rawi hadits tersebar di mana-mana, sehingga para tabi’in meningkatkan perlawatannya  mencari hadits  dari satu kota ke kota lainnya untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadits. Jika mereka mendengar hadits bukan dari sahabat untuk memperkuatnya. Hal ini (kegiatan) telah dilakukan oleh tabi’in kecil (shighar at – tabi’in), atau oleh atba ‘ Al-Tabi’in berkonsultasi dengan tabi’in kecil.
mengambil tindakan tegas terhadap pemalsuan hadits Dalam rangka menjaga keutuhan dan kemurnian sesuatu hadits, mereka tidak segan menindak para pemalsuan hadits dengan melarang mereka meriwayatkan dan menjauh masyarakat dari padanya, bahkan menyerahkan mereka kepada penguasa untuk di hukum dan dibunuh. Di antara ulama sebagi penentang pemalsu hadits adalah Amr Asy-Sya’bi (w.103), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w.160 H), Sufyan – Sauri (w.161 H), Abdurrahman Ibnu Mahdi (w.198 H).
Menerangkan keadaan perawi hadits Para muhadditsin yang terdiri dari para tabi’in dan At-ba’ Al-Tabi’in telah mempelajari biografi para perawi mengenai kejujurannya, kemampuan daya ingatan. Usaha ini tidak lain tujuannya kecuali untuk dapat membedakan haditshadits shahih, hasan dan dha’if. [10]Mereka mengeritik para perawi benar-benar karena Allah. Hasil usaha ini lahirlah sesuatu ilmu yang dinamakan dengan “Ilmu Jarh Wata’dil”.
Menetapkan kaedah-kaedah umum yang kuat untuk mengetahui hadits maudhu. Sebagaimana para Muhadditsin telah membuat kaedah-kaedah kesahihan suatu hadits dan kehasanannya, atau kedhaifannya, maka mereka juga membuat syarat-syarat kemaudhu’an hadits baik pada matan maupun pada sanad.









Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, karena rekaan atau dusta tentang sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan baik karena dengan sengaja atau bukan.
2. Hadits maudhu’ ini timbul ada sejak Rasulullah masih hidup dan ada sebahagian pendapat pada sekitar tahun 40 H, atau 41 H. Setelah terjadi fitnah besar antara Ali dan Mu’awiyah yang mengakibatkan banyak korban umat manusia.
3. Para ulama Muhadditsin telah berupaya untuk mengatasi tersebarnya hadits maudhu dalam masyarakat. Usaha dilakukan dengan mengisnadkan hadits kepada sumbernya sampai ke Rasulullah, meningkatkan pencarian hadits ke berbagai daerah, mengambil tindakan tegas terhadap pemalsu hadits. Menerangkan perawi hadits melalui ilmu rijalul hadits, membuat kaedah-kaedah umum serta syarat-syarat hadits shahih, hasan dan dhaif.




Daftar Pustaka
Damanhuri, Damanhuri. “PENELUSURAN AKAR HADITS.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014): 97–118.
Fadlilah, Nur. “HADITS MAUDHU’PERSPEKTIF IBN AL-JAWZI (510-597 H./1116-1200 M)(STUDI ANALISIS TERHADAP MANHAJ IBN AL-JAWZI DALAM MENETAPKAN KEPALSUAN HADITS PADA KITAB AL-MAUDHU’AT).” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
Gani, Burhanuddin A. “HISTORISITAS HADIS MAUDHUâ€TM.” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 1 (2017): 45–55.
Kuswadi, Edi. “Hadits Maudhu’dan Hukum Mengamalkannya.” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam 6, no. 1 (2016): 80–88.
Labala, A. L. “Menggantikan Puasa Orang Yang Meninggal Dalam Perspektif Hadits.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Majid, Abd Majid Abd. “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM).” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018): 114–123.
Muqoyyidin, Andik Wahyun. “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam.” Al-Ulum 13, no. 2 (2013): 490–511.
Nur, Afrizal. “Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah Hadits Maudhu.” An-Nida’ 38, no. 2 (2013): 69–76.
Wahid, Abd. “Strategi Ulama Mengantisipasi Penyebaran Hadist Maudhu’di Kecamatan Peureulak.” SUBSTANTIA 20, no. 2 (2018): 119–136.
Zaki, Muhammad. “Metode Pemahaman Dan Pengamalan Hadits Jamaah Tabligh.” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8, no. 2 (2015): 103–126.



[1] Burhanuddin A. Gani, “HISTORISITAS HADIS MAUDHUâ€TM,” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 1 (2017) hlm: 45–55.
[2] Muhammad Zaki, “Metode Pemahaman Dan Pengamalan Hadits Jamaah Tabligh,” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8, no. 2 (2015) hlm: 103–126.
[3] Nur Fadlilah, “HADITS MAUDHU’PERSPEKTIF IBN AL-JAWZI (510-597 H./1116-1200 M)(STUDI ANALISIS TERHADAP MANHAJ IBN AL-JAWZI DALAM MENETAPKAN KEPALSUAN HADITS PADA KITAB AL-MAUDHU’AT)” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) hlm : 20-180
[4] Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam,” Al-Ulum 13, no. 2 (2013) hlm: 490–511.
[5] Abd Majid Abd Majid, “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM),” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018) hlm : 114–123.
[6] Edi Kuswadi, “Hadits Maudhu’dan Hukum Mengamalkannya,” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam 6, no. 1 (2016) hlm : 80–88.
[7] A. L. Labala, “Menggantikan Puasa Orang Yang Meninggal Dalam Perspektif Hadits” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2011) hlm : 4-30.
[8] Afrizal Nur, “Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah Hadits Maudhu,” An-Nida’ 38, no. 2 (2013) hlm: 69–76.
[9] Abd Wahid, “Strategi Ulama Mengantisipasi Penyebaran Hadist Maudhu’di Kecamatan Peureulak,” SUBSTANTIA 20, no. 2 (2018) hlm : 119–136.
[10] Damanhuri Damanhuri, “PENELUSURAN AKAR HADITS,” Jurnal Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014) hlm : 97–118.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar