Hadis
Maudu’: Pengertian, Sejarah Kemunculan dan Faktor Melatarbelakanginya,
Keriteria Hadis Maudu’
Kesendirian adalah hal yang terindah |
Pendahuluan
Para
ulama sepakat bahwa hadits adalah sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an.
Hadits adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi saw. baik yang
bersifat perbuatan, perkataan dan taqrir. Umat Islam wajib menerima semua
ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah SAW. Itu baik yang berhubungan dengan
ibadah, munakahah, muamalah dan jinayah, akhlak dan sebagainya. Sumber hukum
yang pertama adalah al-Qur’an yang diriwayatkan secara mutawatir sehingga para
ulama sepakat semua ayat al-Quran dapat dijadikan hujjah dan nilainya qathi’iy.
Tetapi berbeda dengan hadits, sebagian kecil saja yang diriwayatkan secara
mutawatir, sedangkan yang lain diriwayatkan secara Ahad. Para ulama hadits
telah mengklasifikasikan bahwa hadits “Maudhu’” itu adalah salah satu diantara
macam hadits dhaif, yang sampai kepada generasi sahabat tabi’in serta atba’at
tabi’in telah menempuh beberapa fase, yang berbeda kondisi, tingkat kejujuran
seseorang perawi dan keta’ataannya. Apalagi dipengaruhi oleh misi politik yang
saling menghina, mengkultuskan satu sama lain. Sehingga mereka tidak merasa
takut menciptakan dan membuat hadis palsu yang mengatasnamakan prilaku
Rasulullah SAW.
A.
Pengertian
Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, kata Maudhu’ ) (ﻣﻮﺿﻮع
adalah isim maf’ul dan fi’il madhi wadha’a ) (وﺿﻊ
mudhari’nya yadha’ ) (ﯾﻀﻊ yang mempunyai
banyak arti sesuai menurut konteks dari kalimat itu sendiri, antara lain
menggugurkan isqath seperti ( )وﺿﻊ اﻟﺠﻨﺎﯾﺔ
ﻋﻨﮫ
artinya menggugurkan jinayah dari padanya. Adakala bermakna meninggalkan ) (اﻟﺘﺮك
seperti اﺑﻞ
ﻣﻮﺿﻮﻋﺔ
ﻓﻰ
اﻟﻤﺮﻋﻰ
artinya ada yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya dan ada pula yang
bermakna memalsukan contohnya dalam kalimat وﺿﻊ
ﻓﻼن
ھﺬه
اﻟﻘﺼﺔ
artinya si pulan membuat-buat atau mereka-reka kisah ini. Sedangkan menurut
istilah Ulumul Hadits, sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa ahli, seperti
Muhammad ‘Ajjjaj al-Khatib, Hasbi ash-Shiddieqi dan Subhi ash-Shahih adalah
sebagai berikut : Muhammad ‘Ajjjaj al-Khathib
menjelaskan : ﻣﺎ ﻧﺴﺐ
إﻟﻰ
اﻟﺮﺳﻮل
ﺻﻠﻰ
ﷲ
ﻋﻠﯿﮫ
وﺳﻠﻢ
أﺧﺘﻼﻓﺎ
وﻛﺬﺑﺎ
ﻣﻤﺎ
ﻟﻢ
ﯾﻘﻠﮫ
أو
ﯾﻔﻌﻠﮫ
أو
ﯾﻘﺮره.
Artinya : sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Secara bohong dan
dusta, padahal Rasulullah saw. tidak pernah mengatakan, mengerjakan atau
menyetujuinya.
Ibn al-Jawzi mencantumkan hadis ini dalam al
- Maw du‘at dari jalur sanad
al-Khatib sebagaiman
hadis di atas. Ibn al-Jawzi menguatkan analisanya
berdasarkan analisa
Yahya ibn Main dan Ibn Adi bahwa anak Ja’far tidak
diakui riwayatnya, hadis-hadisnya adalah Munkar dan Abdullah ibn
Muhammad ibn Sinan adalah dicurigai berbohong”. [1]Menurut
al-Daruqutni, ia adalah matruk Juga berdasarkan analisa Ibn Hibban bahwa Ia memalsukan hadis, membolak-balikkan
hadis dan mencurinya. Ibn
al-Jawzi memawdu‘ -kan hadis di atas karena Asbagh ibn Zaid tidak mahfuz Alasan tersebut bersandar pada argumen Ibn
‘Adi (w.365 H.). Selanjutnya Ibn al-Jawzi menguatkan argumennya dengan
bersandar pada Ibn Hibban yang menyatakan bahwa hadis di atas tidak dapat
dijadikan hujjah jika hanya dia yang meriwayatkan hadis.
B. Sejarah Kemunculan dan Faktor
Melatarbelakanginya
Para pakar hadits telah berbeda
pendapat tentang awal mulanya fungsi hadits Maudhu’, ada yang menyatakan hadits
Maudhu’ terjadi pada awal 10 H. seperti yang telah disampaikan oleh Mushthafa
As-Siba’iy dalam bukunya alSunnah Wamakanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Usaha
pemalsuan ini disebabkan kepentingan pribadi, primordial, politik seperti
pertentangan politik (khalifah) antara Ali dan Mu’awiyah. Sedangkan dalam kitab
Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Shubhi alShahih menyatakan hadits Maudhu’ itu
lahir pada 41 H. pada saat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, dan
pada masa itu pula terpecah umat Islam kepada tiga golongan yaitu : Syiah,
Mu’awiyah dan Khawarij. Golongan Syi’ah yang setia kepada’ Ali juga kepada
Ahlul Bait beranggapan bahwa Ali yang berhak memegang tampuk khalifah. Agar
konsep ini berjalan mulus maka mereka membuat ceritera tentang keutamaan ‘Ali
dengan menciptakan hadis-hadis maudhu’. Demikian juga golongan Mu’awiyah dan
Khawarij. [2]Sebagai
contoh golongan Syi’ah menetapkan adanya pesan dari Rasulullah kepada ‘Ali
sebagai pengganti khalifah sesudahnya, sehingga mereka berani menciptakan satu
hadis seperti berikut: Hadis tersebut jelas mendominasi posisi ‘Ali sebagai
khalifah, dan ia berhak menduduki kursi khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW.
wafat. bukan Abu Bakar, ‘ dan bukan pula ‘Usman Bin Affan ataupun Mu’awiyah,
Setelah diteliti ternyata hadis ini adalah hadis maudhu’, dan tersiar pada
pihak lawan politik, yaitu kaum Syi’ah. Mereka turut juga membuat hadis lain
untuk menandingi Kaum ‘Aliyin serta mengkukuhkan derajat Abubakar, Umar, Usman
dan Mu’awiyah, dengan hadis versi mereka.
Hadis maudhu’
tersebut telah menggambarkan kredibilitas Mu’awiyah, Abu Bakar, Umar dan Usman
dan mendapat derajat yang tinggi bila dibandingkan dengan ‘Ali dan pengikutnya.
Pada akhirnya Mushthafa As-Siba’i menyimpulkan bahwa sejak periode tabi’in
usaha pemalsuan hadis telah dimulai, baik di masa kibaru At-tabi’in (para tabi’in
yang pada masa sahabat telah dewasa), maupun pada masa Shighar AtTabi’in
(Pra-tabi’in di masa sahabat masih anak-anak). [3]Pada
masa kibaru AtTabi’in usaha pembuatan hadis palsu masih relative kecil bila
dibandingkan dengan masa shigharu at-tabi’in, dengan alas an :
1. Para tabi’in besar
lebih menghayati wibawa Rasulullah dibandingkan dengan para tabi’in kecil.
2. Prilakunya lebih
memancarkan nilai ketaqwaan dan keta’atan beragama.
3. Perbedaan suhu
politik tidak begitu tajam dan belum meluas.
4. Masih banyak di antara sahabat dan tabi’in
yang memancarkan nilai keilmuan dan kejujuran.
5. Ketelitian mereka
dalam memisahkan mana hadis shahih dan maudhu’ itu lebih dekat dengan
kebenaran.
6. Mereka lebih membuka rahasia yang baik dan
meluruskan sesuatu yang tidak baik, untuk terhindarnya hadits-hadits palsu. Menurut Abu Rayah, hadits maudhu’, sebenarnya
telah ada sejak masa Rasulullah masih hidup. Beliau membuat alasan dengan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam Muslim, Abu Daud,
Tirmizi, Nasa’iy dan Ibnu Majah, yaitu: ان
ﻛﺬﺑﺎ
ﻋﻠﻰ
ﻟﻴﺲ
ﻛﻜﺬب
ﻋﻠﻰ
اﺣﺪ
وﻣﻦ
ﻛﺬب
ﻋﻠﻲ
ﻣﺘﻌﻤﺪا
ﻓﻠﻴﺘﺒﻮأ
ﻣﻌﻘﺪﻩ
ﻣﻦ
اﻟﻨﺎر"
Pengertian hadits ini adalah berdusta atas namaku tidaklah sama dengan atas
nama orang lain, barang siapa yang berdusta terhadap diriku dengan sengaja,
maka hendaklah ia menempati neraka sebagai tempat tinggalnya. Imam Sayuthi
menjelaskan dalam kitabnya Tahzir Al-Khawasi, tentang asbabul wurud datangnya
hadits tersebut di atas sebagai berikut : telah datang seorang laki-laki kepada
suatu kaum yang dekat dengan kota Madinah ia bermaksud melamar seorang wanita
dari kaum itu, tetapi tanpa diduga famili siwanita menolak lamarannya. Kemudian
ia datang lagi menemui famili itu dengan membawa pakaian baru sambil
memberitahukan bahwa Nabi SAW. Telah memberikan pakaian itu untuknya. Lalu
famili si wanita mengirim utusan menghadap Nabi untuk meneliti kebenaran
laki-laki itu. Jawab Nabi, bahwa itu bohong dan musuh Allah dan beliau mengutus
seorang sahabat seraya berkata : Bila anda mendapatkan dalam keadaan hidup
bunuhlah ia, akan tetapi kamu tidak akan mendapatkannya dalam keadaan hidup,
jika kamu mendapatkan nya dalam keadaan mati bakarlah ia. Ternyata bahwa orang
itu di dapati dalam keadaan mati karena tersengat binatang berbisa dan ia telah
mati, maka sahabat itu membakarnya. Ibn Husain menerima hadis dari Ibn
al-Dhahab dari Ahmad ibn Ja’far dari Abdullah ibn Ahmad dari ayahku dari Musa ibn Dawud dari Muhammad ibn Jabir dari
‘Amr ibn Murrah dari Abi al-Bakhtari dari Hudaifah berkata, suatu kali kami
bersama Rasulullah mengiring jenazah. Ketika kami sampai di kubur beliau duduk
di sampingnya dan terus memandanginya, kemudian beliau bersabda, orang mukmin
dihimpit di dalamnya dengan himpitan yang dapat menghilangkan bebanbeban
deritanya, sedang orang kafir dihimpit dengan himpitan yang dapat mengobarkan
api.[4] Menurut
Ibn al-Jawzi hadis ini tidak sahih, karena Ibn al-Jawzi menyandarkan analisanya
pada Yahya dan Ahmad yang menyatakan bahwa perawi hadis yang bernama Muhammad
ibn Jabir adalah tidak thiqah dan tidak boleh diriwayatkan kecuali orang yang
lebih buruk darinya. Ibn al-Jawzi memawdu‘ kan hadis ini karena terdapat
seorang perawi yang tidak thiqah dengan alasan: terdapat perawi yang bernama
Said ibn Fairuz Abu al-Bukhtari yang
menyatakan telah meriwayatkan hadis dari Hudhaifah, pada kenyataannya menurut
Yahya, ia tidak pernah bertemu dengan Hudhaifah, oleh karena itu Ahmad menyatakan bahwa tidak
boleh meriwayatkan hadis dari Abu Bukhtari kecuali orang yang lebih buruk darinya.
Asbabul wurud
datangnya hadits ini merupakan suatu instrument yang awal mula timbul hadits
palsu. Masyarakat semakin sehari semakin kompleks menghadapi berbagai
kepentingan politik, pribadi dan partainya, maka mereka tidak segan-segan
menciptakan pernyataan yang dilabelisasi dengan istilah hadits. Disini dapat
disimpulkan bahwa hadits palsu telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup,
walaupun dalam batas-batas relative tidak banyak. [5]Para
muhadditsin telah mengidentifikasikan tentang sebab-sebab timbulnya hadits
maudhu’ adalah sebagai berikut :
1. Pertentangan
politik
2. Usaha kaum zindik
3. Ta’asub
kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kenegaraan dan kekhalifahan
4. Usaha para qussah
terhadap kaum awam dengan nasehat dan ceritera
5. Perselisihan dalam bidang Fiqh dan ilmu
kalam
6. Membangkitkan
gairah beribadah tanpa mengetahui asal-usulnya
7. Menjilat kepada raja atau pemimpin
pemerintahan. Pertentangan seperti ini
telah diuraikan oleh Mushhthafa As’Siba’i dan Muhammad ‘ Ajjaj Al-Khatib dan
juga oleh ulama-ulama hadits lainnya.
Ad I. Pertentangan politik Pertentangan
politik sedikit banyaknya akan menimbulkan suasana kehidupan yang memberikan
angina segar bagi pada pembohong dalam
memalsukan hadits, deami terwujudnya cita-cita, seperti Al-Rafidhah (salah satu
sekte dari kaum Syi’ah). Mereka dalam rangka mengkultuskan Sayyidina ‘Ali dan
Ahlu Al-Baitnya rela mengorbankan keyakinan dan kebenaran dengan membuat
300.000 hadits palsu .Hammad Ibnu Salamah dalam kitabnya Minhaj Al-Sunnah
pernah meriwayatkan bahwa salah seorang tokoh Rafidhah berkata : “Sekiranya
kami berkumpul dan saat itu kami menemukan sesuatu yang kami pandang baik, maka
kami akan menjadikan sebuah hadits”. Kalangan Ahlu As-Sunnah telah membuktikan
satu hadits palsu, mengenai wasiat qadir Khan, yang disimpulkan sebagai berikut
: Ketika Nabi SAW kembali dari Hujjatul Wada’, beliau mengumpulkan para sahabat
di tempat tersebut, beliau memegang tangan Sayyidina ‘Ali sambil berdiri di
sampingnya yang disaksikan oleh para sahabat yang lain: 1. Inilah pelaksana
wasiatku, saudaraku, dan khalifah sesudahku, oleh karena itu ikutlah dan
datanglah. 2. Aku ini timbangan ilmu dan ‘Ali ibarat piring timbangan, Hasan
dan Husen ibarat talinya, dan Siti Fatimah ibarat tiangnya. Dengan timbangan
inilah ditimbang amal orang-orang yang mencintainya atau orang-orang yang
membenci kami. Para pemalsu ini membuat hadits untuk mengkultuskan terutama
‘Ali serta keluarganya, hadits palsu tersebut di atas ditandatangani oleh lawan
politiknya dan ia juga membuat hadits palsu.[6]
ad 2 Usaha kaum zindik Kaum zindik termasuk
golongan yang menghina ajaran Islam, baik sebagai dasar agama maupun dasar
pemerintah. Bagi kaum zindik sulit menemukan cara mendiskreditkan Islam,
kecuali dengan cara memalsukan hadits, di antara hadits yang mereka buat adalah Pernah Allah SWT, sakit dua matanya lalu
para malaikat menjenguknya. Buah terung
merupakan obat bagi segala penyakit . Memandang wajah cantik merupakan ibadah
Tokoh Zindik yang terkenal sebagai pembuat hadits maudhu’ adalah Abd Al- Karim
Ibnu Abi Al-Awja’ (Ia mengaku telah membuat hadits sebanyak 4.000 hadits palsu.
Bayan Ibnu Saman Al-Mahdi dan Muhammad Ibnu Sa’id AlMaslub).
ad 3 Ta’assub
kebangsaan, kesukuan, kebahasaan kenegaraan dan kekhalifahan. Pemalsuan hadits
biasa dilakukan oleh orang-orang yang fanatic buta kepada seseorang atau
sesuatu hal dengan maksud memperlihatkan keunggulan yang dimilikinya Hadits
palsu ini ditandingi oleh orang-orang Arab yang fanatik pula dan merasa
tersinggung dengan hadits yang mereka buat, contohnya hadits adalah sebagai
berikut: إن اﷲ
إذا
ﻏﻀﺐ
أﻧﺰل
اﻟﻮﺣﻰ
ﺑﺎﻟﻔﺎرﺳﻴﺔ
وإذا
أرﺿﻰ
أﻧﺰل
اﻟﻮﺣﻰ
ﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ
Artinya : Apabila
Allah marah menurunkan wahyu dalam bahasa Persi dan apabila Allah senang
menurunkan wahyu dalam bahasa Arab.
adad 4. Usaha para Qusah
terhadap kaum awam dengan nasihat dan ceritera. Dalam sejarah perjalanan umat
Islam pernah tumbuh tradisi pengajaran buat orang-orang awam melalui pembacaan
kisah-kisah dan pemberian nasehatnasehat di Mesjid. Dengan kisah seorang Ahli
yang dapat memikat, bias pendengar terpukau dan kagum terhadapnya, bahkan bisa
menyebabkan para pendengar menangis. Ada kisah menarik yang terjadi di sebuah
Mesjid Rafasah, antara Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in disatu pihak
dengan seorang ahli di pihak yang lain. Pada suatu hari Ahmad Ibnu Hanbal dan
Yahya Ibnu Mu’in shalat di Mesjid Rafasah (Madinah). Pada saat itu ada seorang
Ahli yang menceritakan begini : Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in telah
menyampaikan berita kepadaku sebagai berikut : telah diberitahukan kepada kami
oleh Abdurrazaq yang menerima riwayat itu dari Qatadah, bersumber dari Anas
bahwa Rasulullah saw bersabda : ﻣﻦ
ﻗﺎل
ﻻ
إﻟﻪ
إﻻ
اﷲ
ﺧﻠﻖ
اﷲ
ﻣﻦ
ﻛﻞ
ﻛﻠﻤﺔ
ﻃﲑا
ﻣﻨﻘﺎرﻩ
ن
ذﻫﺐ
ورﻳﺸﻪ
ﻣﻦ
ﻣﺮﺟﺎن.
Artinya : Barang siapa yang mengucapkan kalimah Lailahaillallah untuk setiap هdari
marjan. Tapi hadits palsu ini oleh orang-orang tersebut dibumbui lagi sehingga
mencapai 20 lembar. Ahmad Ibnu Hanbal dan Yahya Ibnu Mu’in yang mendengar ini
saling melirik dan Yahya mengatakan: Demi Allah saya mulai hari ini mendengar
ceritera seperti ini. Setelah ceriteranya selesai, Yahya memanggil si qussah
itu dan diapun menghampirinya pada saat itulah terjadi dialog diantara mereka. [7]
ad. 5. Perselisihan
dalam bidang ilmu fiqh dan kalam Dengan munculnya berbagai masalah khilafiyah
dalam bidang ilmu fiqh dan kalam, mulailah usaha pembuatan hadits – hadits
palsu untuk memperkuat pendapat pandangan mazhab yang mereka ikuti, sebagai
contoh hadits itu adalah: .ﻣﻦ ﻳﺮﻓﻊ
ﻳﺪﻳﻪ
ﰱ
اﻟﺼﻼة
ﻓﻼ
ﺻﻼة
ﻟﻪ
١
.ﻣﻦ
ﻗﺎال
:اﻟﻘﺮآن
ﳐﻠﻮق
ﻓﻘﺪ
ﻛﻔﺮر
٢
Artinya : 1. – Barang siapa yang mengangkat tangan di dalam shalat, maka
shalatnya tidak sah 2. – Barang siapa mengatakan Al-Qur’an itu makhluk,
kafirlah ia (Hadits dalam bidang ilmu kalam). Banyak di kalangan kaum zuhud,
para ‘ubbad shalih orang-orang shalih telah membuat hadits –hadits palsu dengan
maksud baik. Mereka mengira usaha seperti itu merupakan usaha mendekatkan diri
kepada Allah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena menurut hemat
mereka telah dapat membangkitkan semangat beribadah kepada Allah SWT. Ghulam
Khalil pernah dituduh membuat hadits palsu yaitu : ﻫﺬﻩ
اﻷﺣﺎدﻳﺚ
اﻟﱴ
ﲢﺪث
ﺎ
ﻣﻦ
اﻟﺮﻗﺎﺋﻖ
Atas tuduhan itu
menjawab :
وﺿﻌﻨﺎﻫﺎ
ﻟﺰﻓﻖ
ﺎ
ﻗﻠﻮب
اﻟﻌﺎﻣﺔ
Ad 6. Menjilat kepada
raja atau pemimpin pemerintah Kasus Ghiyats Ibnu Ibrahim dapat dijadikan
contoh. Pada suatu hari ia menghadap khalifah al – Mahdi, secara kebetulan
khalifah yang gemar merpati dan ia sedang bermain-main merpati. Melihat ini
Ghiyats meriwayatkan hadits sebagai berikut : ﻻ
ﺳﺒﻖ
إﻻ
ﰱ
ﻧﻀﻞ
أو
ﺣﺎﻓﺮ
أو
ﺟﻨﺎح
Artinya : Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mengadu unta,
mengadu kuda dan mengadu burung. Pada kata terakhir an-junahun adalah tambahan
dari ghiyats dan dengan hadits palsu itu ia mendapat hadiah sebanyak 10.000,-
dirham dari khalifah. Namun ketika Ghiyats membalik khalifah menepuk kuduknya
seraya berkata: “aku yakin ucapanmu itu sebenarnya dusta saudara telah mengatas
namakan diri Rasulullah saw.” Akhirnya pada saat itulah beliau memerintahkan
untuk menyembelihnya. Selain itu terdapat pula hadits maudhu’ yang dijadikan
sebagai suatu ketidak sengajaan seperti : ﻣﻦ
ﻛﺜﺮ
ﺻﻼﺗﻪ
ﺑﺎﻟﻴﻞ
ﺣﺴﻦ
وﺟﻬﻪ
ﺑﺎﻟﻨﻬﺎر
Artinya : Barang siapa hanya shalat di waktu malam niscaya akan indah wajahnya di
waktu siang Al-Hakim memberikan komentar bahwa Tsabit datang kepada Syariq yang
sedang mendiktekan hadits.[8]
Syariq mengatakan; Al-A’masy telah menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan
dari Jabir, ia mengatakan : Bahwa Rasulullah SAW. Sesudah itu beliau diam untuk
memberikan kesempatan kepada penulis. Ketika beliau melihat Syariq beliau
menyebutkan ucapan yang diatas, maka Tsabit menyangka bahwa perkataan yang
dihadapkan kepadanya adalah matan hadits yang dimaksudkan padahal matan hadits
sebenarnya adalah: ﻳـَْﻌِﻘُﺪ اﻟﱠﺸ
ْﻴﻄَﺎُن
َﻋﻠَﻰ
ﻗَﺎﻓِﻴَِﺔ
اﻟﱠﺮأِْس
إذَا
َﱂْ
ﻳَُﺼﱢﻞ
ﺑِﺎﻟﻠﱠْﻴِﻞ {َوذََﻛَﺮ
ِﰲ
َﺣِﺪﻳ
ٍﺚ
آَﺧَﺮ : }ﻳـَْﻌِﻘُﺪ
ﻗَﺎﻓِﻴَﺔَ
َرأِْس
أََﺣِﺪُﻛْﻢ
ﺛََﻼ
َث
ﻋَُﻘٍﺪ
ﻳَ
ْﻀِﺮُب
َﻣَﻜﺎَن
ُﻛﱢﻞ
ﻋُْﻘَﺪةٍ
َﻋﻠَْﻴﻚ
ﻟَْﻴٌﻞ
ﻃَِﻮﻳٌﻞ
ﻓَﺎْرﻗُْﺪ
.ﻓَِﺈْن
اْﺳﺘَـْﻴـَﻘَﻆ
ﻓََﺬَﻛَﺮ
اﻟﻠﱠﻪَ
ﺗَـَﻌﺎَﱃ
اْﳓَﻠﱠ
ْﺖ
ﻋُْﻘَﺪةٌ
،
ﻓَِﺈْن
ﺗَـَﻮﱠﺿﺄَ
اْﳓَﻠﱠ
ْﺖ
ﻋُْﻘَﺪةٌ
،
ﻓَِﺈْن
َﺻﻠﱠﻰ
اْﳓَﻠﱠ
ْﺖ
ﻋُْﻘَﺪةٌ
؛
ﻓَﺄَ
ْﺻﺒََﺢ
ﻧَِﺸﻴﻄًﺎ
ﻃَﻴﱢ
َﺐ
اﻟﻨﱠـْﻔ
ِﺲ
؛
َوإِﱠﻻ
أَ
ْﺻﺒََﺢ
َﺧﺒِﻴ
َﺚ
اﻟﻨﱠـْﻔ
ِﺲ َﻛْﺴَﻼَ
Artinya: Syaithan
menyimpulkan tiga simpulan atas kuduk salah seorang kamu, apabila seseorang
tidur. Ia pukul atas tiap-tiap simpul serta berkata : tidurlah sepanjang malam,
maka jika terbangun lalu menyebut nama Allah, maka terurailah satu simpul, jika
terus ia berwudhu terurai lagi satu simpul dan jika bersembahyang terurai
sesimpul lagi, lalu ia menjadi tangkas dan gembira pada pagi harinya. Jika
tidak, menjadilah ia seorang yang berjiwa keji lagi lesu dan pemalas.
C.
Kiteria
Hadis Maudu’
Para Muhadditsin
telah berhasil mengidentifikasikan, bahwa upaya yang dilakukan dalam
mengantisipasi penyebaran hadits palsu, adalah sebagai berikut :
1. Mengisnadkan
hadits
2. Meningkatkan usaha pencairan hadits
3. Meningkatkan
tindakan tegas terhadap pemalsu hadits
4. Menerangkan
keadaan perawi hadits
5. Menetapkan kaedah-kaedah umum yang kuat
untuk mengetahui hadits maudhu’.
Ketika kaum muslimin dilanda fitnah, Abdullah
bin Saba’ muncul mengajukan tuduhan negatif dengan isu pemikiran Syi’ah. Sejak
itulah Ulama sahabat dan tabi’in mulai berhati-hati dalam menerima dan
menyampaikan hadits. Mereka bisa menerima suatu riwayat bila mana telah
memenuhi syarat yang ada pada sanad dan para rawi. [9]Imam
Muslim dalam muqaddimah kitabnya melukiskan bahwa Ibnu Sirin pernah berkomentar
َﺣﱠﺪﺛـَﻨَﺎ
أَﺑُﻮ
َﺟْﻌ
َﻔٍﺮ
ُﳏَﱠﻤُﺪ
ﺑُْﻦ
اﻟ
ﱠﺼﺒﱠﺎِح
َﺣﱠﺪﺛـَﻨَﺎ
إِْﲰَﻌِﻴُﻞ
ﺑُْﻦ
َزَﻛِﺮﻳﱠﺎءَ
َﻋْﻦ
َﻋﺎِﺻٍﻢ
اْﻷَْﺣَﻮِل
َﻋْﻦ
اﺑِْﻦ
ِﺳِﲑﻳَﻦ
ﻗَﺎَل
َﱂْ
ﻳَُﻜﻮﻧُﻮا
ﻳَْﺴﺄَﻟُﻮَن
َﻋْﻦ
اِْﻹْﺳﻨَﺎِد
ﻓَـﻠَﱠﻤﺎ
َوﻗَـَﻌ
ْﺖ
اﻟِْﻔْﺘـﻨَﺔُ
ﻗَﺎﻟُﻮا
َﲰﱡﻮا
ﻟَﻨَﺎ
ِرَﺟﺎﻟَُﻜْﻢ
ﻓَـ
ﻴُـْﻨﻈَُﺮ
إَِﱃ
أَْﻫِﻞ
اﻟﱡﺴﻨﱠِﺔ
ﻓَـﻴُـْﺆَﺧُﺬ
َﺣِﺪﻳﺜـُُﻬْﻢ
َوﻳـُْﻨﻈَُﺮ
إَِﱃ
أَْﻫِﻞ
اﻟْﺒَِﺪِع
ﻓََﻼ
ﻳـُْﺆَﺧُﺬ
َﺣِﺪﻳﺜـُُﻬْﻢ
Artinya : Para ulama tidak mempersoalkan
tentang sanad tetapi setelah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits, merekapun
berkata kepada yang meriwayatkan hadits, sampaikan kepada kami perawi-perawi,
maka mereka melihat kepada ahli sunnah lalu diambillah haditsnya dan mereka
melihat kepada pembuat-pembuat bid’ah dan ditinggalkan. Ketetapan seperti ini
membuktikan bahwa ulama Muhadditsin sangat selektif dalam menerima sesuatu
hadits baik dari seorang guru maupun dari teman sebayanya, mereka menyeleksi
para perawi yang terdapat dalam rentetan sanadnya. Kondisi seperti ini sangat
mempengaruhi sikap generasi berikutnya tentang kewaspadaannya di dalam menerima
dan menyampaikan hadits.
Meningkatkan usaha
pencarian hadits Usaha ini dilakukan karena para rawi hadits tersebar di
mana-mana, sehingga para tabi’in meningkatkan perlawatannya mencari hadits dari satu kota ke kota lainnya untuk menemui
para sahabat yang meriwayatkan hadits. Jika mereka mendengar hadits bukan dari
sahabat untuk memperkuatnya. Hal ini (kegiatan) telah dilakukan oleh tabi’in
kecil (shighar at – tabi’in), atau oleh atba ‘ Al-Tabi’in berkonsultasi dengan
tabi’in kecil.
mengambil tindakan
tegas terhadap pemalsuan hadits Dalam rangka menjaga keutuhan dan kemurnian
sesuatu hadits, mereka tidak segan menindak para pemalsuan hadits dengan
melarang mereka meriwayatkan dan menjauh masyarakat dari padanya, bahkan
menyerahkan mereka kepada penguasa untuk di hukum dan dibunuh. Di antara ulama
sebagi penentang pemalsu hadits adalah Amr Asy-Sya’bi (w.103), Syu’bah bin
Al-Hajjaj (w.160 H), Sufyan – Sauri (w.161 H), Abdurrahman Ibnu Mahdi (w.198
H).
Menerangkan keadaan
perawi hadits Para muhadditsin yang terdiri dari para tabi’in dan At-ba’
Al-Tabi’in telah mempelajari biografi para perawi mengenai kejujurannya,
kemampuan daya ingatan. Usaha ini tidak lain tujuannya kecuali untuk dapat
membedakan haditshadits shahih, hasan dan dha’if. [10]Mereka
mengeritik para perawi benar-benar karena Allah. Hasil usaha ini lahirlah
sesuatu ilmu yang dinamakan dengan “Ilmu Jarh Wata’dil”.
Menetapkan
kaedah-kaedah umum yang kuat untuk mengetahui hadits maudhu. Sebagaimana para
Muhadditsin telah membuat kaedah-kaedah kesahihan suatu hadits dan
kehasanannya, atau kedhaifannya, maka mereka juga membuat syarat-syarat
kemaudhu’an hadits baik pada matan maupun pada sanad.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hadits maudhu’
adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, karena rekaan atau dusta
tentang sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan baik
karena dengan sengaja atau bukan.
2. Hadits maudhu’ ini
timbul ada sejak Rasulullah masih hidup dan ada sebahagian pendapat pada sekitar
tahun 40 H, atau 41 H. Setelah terjadi fitnah besar antara Ali dan Mu’awiyah
yang mengakibatkan banyak korban umat manusia.
3. Para ulama
Muhadditsin telah berupaya untuk mengatasi tersebarnya hadits maudhu dalam
masyarakat. Usaha dilakukan dengan mengisnadkan hadits kepada sumbernya sampai
ke Rasulullah, meningkatkan pencarian hadits ke berbagai daerah, mengambil
tindakan tegas terhadap pemalsu hadits. Menerangkan perawi hadits melalui ilmu
rijalul hadits, membuat kaedah-kaedah umum serta syarat-syarat hadits shahih,
hasan dan dhaif.
Daftar
Pustaka
Damanhuri, Damanhuri. “PENELUSURAN AKAR HADITS.” Jurnal
Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014): 97–118.
Fadlilah,
Nur. “HADITS MAUDHU’PERSPEKTIF IBN AL-JAWZI (510-597 H./1116-1200 M)(STUDI
ANALISIS TERHADAP MANHAJ IBN AL-JAWZI DALAM MENETAPKAN KEPALSUAN HADITS PADA
KITAB AL-MAUDHU’AT).” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.
Gani,
Burhanuddin A. “HISTORISITAS HADIS MAUDHUâ€TM.” Jurnal Ilmiah
Al-Mu’ashirah 14, no. 1 (2017): 45–55.
Kuswadi,
Edi. “Hadits Maudhu’dan Hukum Mengamalkannya.” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran
Dan Pendidikan Islam 6, no. 1 (2016): 80–88.
Labala,
A. L. “Menggantikan Puasa Orang Yang Meninggal Dalam Perspektif Hadits.” PhD
Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Majid,
Abd Majid Abd. “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
(Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM).” Jurnal
Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018): 114–123.
Muqoyyidin,
Andik Wahyun. “Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
Gerakan Feminisme Islam.” Al-Ulum 13, no. 2 (2013): 490–511.
Nur,
Afrizal. “Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah Hadits Maudhu.” An-Nida’
38, no. 2 (2013): 69–76.
Wahid,
Abd. “Strategi Ulama Mengantisipasi Penyebaran Hadist Maudhu’di Kecamatan
Peureulak.” SUBSTANTIA 20, no. 2 (2018): 119–136.
Zaki,
Muhammad. “Metode Pemahaman Dan Pengamalan Hadits Jamaah Tabligh.” Ijtimaiyya:
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8, no. 2 (2015): 103–126.
[1] Burhanuddin A. Gani, “HISTORISITAS HADIS MAUDHUâ€TM,”
Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 1 (2017) hlm: 45–55.
[2] Muhammad Zaki, “Metode Pemahaman Dan Pengamalan
Hadits Jamaah Tabligh,” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
8, no. 2 (2015) hlm: 103–126.
[3] Nur Fadlilah, “HADITS MAUDHU’PERSPEKTIF IBN
AL-JAWZI (510-597 H./1116-1200 M)(STUDI ANALISIS TERHADAP MANHAJ IBN AL-JAWZI
DALAM MENETAPKAN KEPALSUAN HADITS PADA KITAB AL-MAUDHU’AT)” (PhD Thesis, UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2015) hlm : 20-180
[4] Andik Wahyun Muqoyyidin, “Wacana Kesetaraan
Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam,” Al-Ulum
13, no. 2 (2013) hlm: 490–511.
[5] Abd Majid Abd Majid, “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI
HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits
Maudhuâ€TM),” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018)
hlm : 114–123.
[6] Edi Kuswadi, “Hadits Maudhu’dan Hukum
Mengamalkannya,” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam 6, no.
1 (2016) hlm : 80–88.
[7] A. L. Labala, “Menggantikan Puasa Orang Yang
Meninggal Dalam Perspektif Hadits” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2011) hlm : 4-30.
[8] Afrizal Nur, “Kontribusi Dan Peran Ulama Mencegah
Hadits Maudhu,” An-Nida’ 38, no. 2 (2013) hlm: 69–76.
[9] Abd Wahid, “Strategi Ulama Mengantisipasi
Penyebaran Hadist Maudhu’di Kecamatan Peureulak,” SUBSTANTIA 20, no. 2
(2018) hlm : 119–136.
[10] Damanhuri Damanhuri, “PENELUSURAN AKAR HADITS,” Jurnal
Ilmiah Peuradeun 2, no. 3 (2014) hlm : 97–118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar