Selasa, 12 November 2019

Takrijul Hadis


Takhrijul Hadis “(Fa ahsana Ta’dibah”). Pendahuluan, Pencarian ke sumber asli,I’tibar,skema sanad, Tarjamah al-Ruwat dan Naqd al-sanad,Natijah, Pensyarahan Hadis, Hasil Takrij, Penutup
Keluarga Adalah Segalanya
PENDAHULUAN
Dalam Islam, hadis merupakan pentunjuk dan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Selain menjadi sumber hukum kedua, hadis mempunyai kedudukan sebagai syarah dan bayân bagi al-Quran. Berbeda halnya dengan al-Quran; yang diturunkan baik lafal maupun maknanya dari Allah Swt. hadis terbagi dua. Pertama, hadis yang maknanya dari Allah Swt. sedangkan lafalnya dari Nabi Saw. hadis model ini dikenal dengan Hadits Qudsî. Kedua, hadis yang makna dan lafalnya murni dari Nabi Saw. Hadis ini dikenal dengan Hadits Nabawî. Selain itu, pola periwayatan dan pengodifikasian hadis dan al-Quran berbeda. al-Quran disampaikan oleh Allah Swt. melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Saw. yang pelayanan dan perhatiannya sudah dilakukan semasa Nabi Saw. masih hidup. 
Sedangkan hadis, penulisanya memang sudah ada pada masa awal Islam. Hal itu terbukti dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh M. Azami, bahwa sedikitnya terdapat 52 orang sahabat yang memiliki tulisan hadis, meskipun ada pelarangan dari Nabi Saw. pada masa awal untuk menuliskannya. Hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian, bukan berarti tidak ada tulisan sama sekali dan hanya terbatas pada skala kecil.
Merupakan suatu keyakinan mayoritas umat Islam, kalau boleh dikatakan seperti itu, bahwa Sunnah Nabi adalah salah satu sumber ajaran terpenting setelah kitab suci Alquran QS Al-Hasyr (59):7; Ali Imran (3)  :32; Al-Nisa (4) :80; Al-Ahzab (33) 21). Posisi Alquran dan Sunnah Nabi, walaupun diyakini memiliki karakter yang berbeda, telah menempati posisi yang sangat strategis karena keduanya tidak bisa saling dipisahkan. Relasi keduanya ibarat menempati sekeping koin mata uang yang tidak bisa saling otonom satu dengan lainnya. Oleh karena itu,  harus selalu digandengkan dalam memahami salah satunya, baik dalam memahami Alquran atau memahami Sunnah, maupun dalam memahami keduanya sekaligus .
Pencarian ke Sumber asli
          Nabi sebagai Rasul, sebagaimana dikemukakan Yaqub, telah diberi wewenang oleh Allah swt. untuk menyampaikan segala firman atau wahyu yang diterima Nabi melalui Jibril dalam bentuk Alquran sebagai kitab suci. Kehadirannya berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan membawa ajaran dalam ruang yang lebih luas secara kosmik sebagai rahmatan li al-alamin. Akan tetapi, karena Alquran kebanyakan turun dengan ayat-ayat yang bersifat  umum, maka sekali lagi posisi Nabi kembali menjadi sangat sentral untuk langsung menjadi penafsir pertama terhadap ayat-ayat Alquran yang umum tersebut. Agar pesan Tuhan melalui ayat-ayatNya bisa diterapkan sesuai dengan kehendak petunjuk atau maksud (dalalah) Alquran dan sesuai pula dengan kondisi ril masyarakat Arab, sebagai objek pesan dari Alquran tersebut.  Arkoun menyatakan bahwa proses dari kegiatan “menafsir” Alquran itulah yang kemudian terimplementasi dalam tindakan perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau taqrir yang diambil oleh Rasul dalam dimensi historisitas-profetik. Aktivitas Nabi seperti tersebut di atas yang kemudian disebut sebagai Sunnah Nabi. Dalam masa sesudah Nabi dan para sahabat, istilah ini dibakukan secara verbal dan berubah menjadi “korpus resmi teks” dengan sebutan hadis, sebagai bagian dari realitas Sunnah, yang terlembaga dalam berbagai kitab-kitab hadis. Nabi dalam proses pengajaran Sunnah kepada para sahabat, biasanya menggunakan beberapa metode yang antara lain, menggunakan metode secara verbal/lisan, metode tulis dan dikte kepada juru tulis Nabi, dan metode demonstrasi praktis. Kegiatan periwayatan pada masa Nabi pada dasarnya telah mulai berlangsung, baik melalui pendengaran langsung dari Nabi,  melalui hafalan dari sahabat, maupun dari catatan pribadi yang dimiliki oleh sahabat tertentu, meskipun dalam tingkat yang sangat sederhana, karena proses cek dan ricek atas nilai kebenaran hadis tidak terlalu sulit.  [1]Apabila sahabat ragu terhadap kebenaran suatu hadis, maka langsung saja dapat menanyakannya kepada sumber yang meriwayatkan atau langsung menanyakan kepada Nabi. Artinya, penerimaan hadis tidak terlalu melibatkan suatu seleksi yang ketat, baik dari segi sanad maupun matan karena unsur kepercayaan akan otentisitas hadis yang diterima dan diyakini, bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena Nabi sendiri masih hidup dan sahabat yang meriwayatkan belum terpencar ke daerahdaerah lain di luar Madinah. Di samping,  para sahabat adalah figur pribadi yang adil, serta didukung oleh pengaruh lingkungan yang belum terkontaminasi jaringan konflik yang saling memperebutkan kepentingan-kepentingan hidup .  Keadaan tersebut berubah, terutama setelah terbunuhnya khalifah Usman, di mana timbul suatu kecurigaan di antara para sahabat dan berujung kepada pertikaian politik di masa Ali dan Muawiyah. Akibatnya, muncullah ketegangan-ketegangan politik yang berdampak pada persoalan teologi dan juga mempengaruhi  periwayatan hadis. Akibatnya, kejadian politik tersebut menimbulkan efek  yang melibatkan sahabat atau tabiin yang pro dan kontra dalam dua kubu di atas. Dengan kata lain, pada masa itu segala persoalan keilmuan, selalu melibatkan suatu persinggungan dengan realitas politik, tidak terkecuali tentunya perkembangan ilmu hadis. Hal inilah yang menimbulkan lahirnya beberapa disiplin ilmu baru dalam proses penerimaan, pelestarian dan pengamalan hadis. Ulama hadis dengan sangat hati-hati dan selektif  menyeleksi hadis-hadis Nabi melalui studi kritik sanad dan matan yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Sebagai langkah awal sebelum memulai proses tersebut, para ulama biasanya memulainya dengan melakukan takhrij al-hadis  karena hadis-hadis Nabi biasanya telah dibakukan  dalam kitab-kitab hadis induk yang sangat banyak dengan kualitas hadis yang  beragam.
I’tibar
          Menurut  al-Tahhan, kemunculan takhrij al-hadis  terkait dengan konsep sejarah yang membentang dari proses perkembangan ilmu hadis. Para ulama hadis yang tergolong mutaqaddimin belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis. Karena pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang kuat terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi. Misalnya, ketika seorang ulama membutuhkan suatu hadis, dalam waktu yang singkat dapat menemukan tempatnya dalam berbagai kitab hadis, bahkan sampai juz dan halamannya pun mereka ketahui. Kondisi ini karena sekali lagi memperlihatkan kapasitas ulama yang selalu „intim dengan periwayatan dan didukung pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat terhadap segala yang berhubungan dengan hadis Nabi.   Keadaan  itu berjalan cukup lama, namun seiring perjalanan waktu, tradisi pengetahuan yang luas dan hafalan yang kuat terhadap riwayat hadis, menjadi semakin menurun grafiknya. Akibatnya, mulai timbul kesulitan  menemukan sebuah hadis, sumber dan statusnya untuk difungsionalisasikan dalam ilmu-ilmu agama yang lain sebagai unsur legitimasi. [2]Dari sinilah timbul kegelisahan ulama, sehingga mereka mengarang kitab takhrij untuk memudahkan dan menghilangkan rintangan tersebut. Jadi, kitab-kitab tersebut berguna secara praktis dalam rangka menemukan hadis dari sumber riwayat dan mengetahui derajat dari otentisitas dan nilai sebuah hadis dengan cara melakukan komparasi riwayat. Menurut Ismail, setelah dirangkum dari sekian banyak, minimal ada tiga urgensi dari eksistensi dari takhrij al-hadis, yaitu; 1), untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan tidak diketahui asal-usul atau sumber hadis sangat sulit mengetahui susunan dari pengambilan sanad dan matan hadis, yang akan berdampak pada kesulitan meneliti hadis secara cermat, apalagi menilai suatu hadis. Maka takhrij  dalam hal ini diperlukan. 2), untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Adakalanya suatu hadis memiliki lebih dari satu sanad, sehingga dari masingmasing terkadang tidak memiliki kualifikasi yang sama dalam derajat kesahihannya. Sehingga dengan metode takhrij dapat diketahui dari berbagai sanad yang terkumpul, dan 3), untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi pada sanad yang diteliti. Ketika suatu hadis terdapat berbagai sanad dalam jalurnya, mungkin terdapat dalam salah satu jalur sanad itu yang mendukung (corroboration), dalam tingkat pertama, yakni sahabat yang disebut syahid atau  pada tingkat kedua, yakni tabiin disebut mutabi. Sehingga jalur sanad akan semakin kuat bila terdapat dukungan dari jalur sanad lain pada tingkat syahid atau mutabi.  Ismail mengemukakan bahwa untuk mengetahui semua itu, jelas posisi takhrij menjadi penting dan strategis sebab dalam penelitian hadis, langkah yang paling awal adalah melakukan takhrij atau mengumpulkan beberapa hadis yang akan diteliti dari jalur sanad untuk dikompilasikan dengan berbagai riwayat yang ada dan terkait dari sumber riwayat hadis pertama.
Menurut Ismail, berdasarkan  kriteria dari para ahli ilmu hadis, ada empat langkah dalam melakukan penelitian kritik sanad hadis, yaitu langkah takhrij al-hadis, langkah i„tibar dalam menyusun skema sanad, langkah meneliti biografi periwayat dan kualitas riwayatnya, serta langkah menentukan kesimpulan terhadap status derajat hadis yang diteliti. Untuk langkah pertama yaitu takhrij al-hadis, penyusun sudah kemukakan sebelumnya beserta urgensi dan metode-metode dalam praktek mencari hadis, yang merupakan langkah awal dari sekian objek penelitian ilmu hadis.  Sebagaimana penyusun mengambil sampel dari operasionalisasi takhrij al-hadis dalam mencari hadis “man raa minkum munkaran..” , yang hasilnya dapat dijumpai dalam enam buah sumber kitab-kitab hadis. [3]Langkah kedua adalah melakukan itibar. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah menyertakan jalur sanad-sanad lain untuk suatu hadis tetentu, di mana hadis itu kelihatan  mempunyai seorang riwayat saja.  Kegunaan menggunakan itibar   ini adalah supaya diketahui apakah ada riwayat lain yang meriwayatkan hadis serupa pada jalur periwayat yang lain. Dengan melakukan itibar, akan terlihat dengan jelas seluruh jalur riwayat hadis, demikian juga nama para periwayat dan metode periwayatan yang ditempuh melalui indikasi pencantuman simbol-simbol transmisi hadis yang dilakukan secara cermat.  Untuk memudahkan langkah itibar ini, perlu membuat suatu skema sanad hadis dalam bentuk tabel jalur periwayat sesuai dengan sumber yang didapatkan dari penelusuran dalam proses takhrij alhadis sebelumnya dalam tema hadis mengenai  anjuran mengatasi kemungkaran.
Skema sanad
Dalam salah satu riwayat dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-nya  sebagaimana terlihat dalam skema berikut: hal meneliti biografi dan kualitas periwayat dan persambungan sanad yang diriwayatkan. Urutan pertama dari periwayat ialah, 1) Abu Said al-Khudri, 2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syubah, 5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang membahas  ilm rijal al-hadis, yang  dalam tulisan  ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara umum adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara teoriti. Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi periwayat,  berhubungan erat dengan penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muruah dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh wa al-tadil. [4]Dengan diketahuinya aspek ini,  akan dapat diukur
 عبدالله بن احمد
 احمد بن حنبل
 ابو سعيد    الخدري
 طا رق بن شهاب
 قيس بن مسلم
 شعبة
 يزيد
Langkah ketiga adalah melakukan penelitian sanad dalam hal meneliti biografi dan kualitas periwayat dan persambungan sanad yang diriwayatkan. Urutan pertama dari periwayat ialah, 1) Abu Said al-Khudri, 2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syubah, 5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang membahas  ilm rijal al-hadis, yang  dalam tulisan  ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara umum adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara teoritis. Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi periwayat,  berhubungan erat dengan penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muruah dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh wa al-tadil. Dengan diketahuinya aspek ini,  akan dapat diukur tingkat akuntabilitas periwayatannnya. Hal lain yang ditekankan adalah kualitas kapasitas intelektual periwayat. Untuk bidang ini, yang terpenting adalah sifat ke-dabit-an seorang periwayat. Periwayat yang dabit ialah periwayat yang hafal dan memahami dengan sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada periwayat yang lain. Berdasarkan penelitian, para periwayat yang melakukan periwayatan terhadap hadis „mengatasi kemungkaran melalui jalur Musnad Ibn Hanbal, maka semuanya dipandang sebagai berkategori siqah (adil dan dabit) dan sanadnya bersambung.   Mengenai kategori adanya syuzuz, dalam pandangan ulama hadis ialah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii adalah adanya hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh periwayat lain yang lebih siqah. Dalam penilaian Syafii, bahwa kemungkinan sanad yang diteliti tidak hanya satu. Oleh karena itu, dasar itu harus dilakukan komparasi riwayat dari semua jalur sanad yang terlihat adanya syaz. Mengenai pertentangan atau terdapatnya unsur syaz ini bisa terdapat di dalam bagian sanad dan matan. [5]Para ulama mengakui kesulitan dalam menentukan tingkat syaz dalam  kritik sanad, kecuali dengan kecermatan penelitian dengan metode komparasi dan cross reference yang ketat dan disertai kesesuaian prosedur. Adapun tentang adanya „illat dalam penelitian sanad hadis ialah dimaksudkan sebagai sebab yang tersembunyi yang bisa merusak kualitas hadis. Keberadaannya akan  menurunkan derajat kesahihan suatu hadis. Ulama hadis kebanyakan menganggap bahwa, „illat biasanya terjadi dan mengambil bentuk : 1) sanad yang tampak muttasi dan marfu, ternyata hanya sampai muttasil tetapi mauquf,; 2) sanad yang tampak muttasil dan marfu, ternyata setelah diteliti bersifat muttasil dan mursal; 3) terjadi percampuran antara bagian hadis dengan bagian hadis lain; dan 4) terjadi kesalahan ketika ditelusuri dalam penyebutan periwayat karena adanya unsur kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya. Hadis mengatasi kemungkaran di atas setelah diteliti, berdasarkan ada tidaknya unsur syaz dan „illat. Setelah dibuktikan, ternyata hadis yang diriwayatkkan oleh Ahmad ibn Hanbal melalui Yazid di atas, mempunyai jarak yang tidak jauh dan tidak banyak dari mulai periwayat pertama yaitu Abu Said al-Khudri hingga periwayat terakhir yakni Ahmad ibn Hanbal hanya dalam jenjang lima orang. Dan antara beberapa jalur periwayatan tidak ada pertentangan, bahkan saling menguatkan, karena semua periwayat berkategori siqah, bahkan dengan predikat yang tinggi, dengan tingkat ketersambungan sanad secara muttasil dan marfu. Langkah yang terakhir adalah menentukan kesimpulan dari keseluruhan penelitian dengan tolak ukur yang sudah dipaparkan. Untuk kesimpulan dari hadis mengatasi kemungkaran adalah, bahwa walaupun hadis ini banyak jalur periwayatannnya, akan tetapi tidak sampai kepada mutawatir, dan hanya berstatus hadis ahad.[6] Dalam skema seluruh sanad, periwayat pertama berstatus garib, dan mulai periwayat tingkat keempat seterusnya berstatus masyhur. Karena prosedur dari kesahihan hadis terpenuhi, maka hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal termasuk hadis sahih lizatihi.
Tarjamah ar-Ruwat
Kitab yang muncul pada permulaan abad ketiga ini ialah kitab Musnad yang salah satunya adalah Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal. Terbitnya kitab Musnad dirasa masih belum sempurna. Di dalamnya masih belum menyisihkan hadîts-hadîts dhaîf bahkan mawdhu. Untuk itu, pada pertengahan abad ketiga, para ulama ahli hadis tergerak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis itu shahîh atau dhaîf. Pada pertengahan abad ketiga ini mulai diterbitkan kitab Shahîh karya Imam Bukhari dan kitab ahîh karya Imam Muslim. Kedua kitab yang disebut terakhir menghimpun hadis yang dipandang shahîh berdasarkan kaidah dan syarat yang telah dibuat. Di samping itu, masih pada pertengah abad ketiga, selain terbit kitab Musnad dan Shahîh, muncul juga kitab Sunan yang mencakup seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat dhaîf dan munkar.  Di antaranya yang tergolong pada kitab Sunan ini ialah Abu Dawud, at-Tirmidzi, anNasai, dan Ibnu Majah.
Penelitian hadis sangat erat kaitanya dengan takhrîj. Takhrîj merupakan langkah awal dalam penelitian hadis, karena dengan takhrîj. Pertama, kita dapat mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kedua, mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan diteliti. Ketiga, untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi di dalam sanad yang diteliti. Hal ini sangat erat sekali kaitanya dengan penentuan kualitas sebuah hadis.
Naqhad Sanad
          a. Pengertian Naqd al - Hadith
 Kata “naqd”, yang dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia diartikan dengan kritik dan penelitian secara cermat, ditinjau dari segi bahasa mempunyai beberapa makna, di antaranya: a ) ibrazal shay’ wa izharuhu (menjelaskan dan menampakkan sesuatu), b) altamyizbainal – jayyidwa al- radi’ (membedakan/menyeleksi antara yang bagus dan yang jelek), c) idamat al - naza rila al-shay’(mengekalkan pandangan terhadap sesuatu), dan d) al - intiqa’ wa al ikhtiyar  (menyeleksi dan memilih). Sebenarnya masih ada beberapa makna “naqd”  dari tinjauan bahasa selain yang penulis uraikan di atas, akan tetapi apa yang penulis sebutkan adalah makna yang cocok sejalan dengan makna istilah sebagaimana yang akan penulis utarakan di bawah ini.[7]
Menurut istilah, para pakar hadis mendefinisikan kata “ naqd”dengan beberapa definisi yang saling melengkapi sebagai berikut;
1)   al-A’z}ami mendefinisikan “ n aqd” dengan; 
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Upaya menyeleksi (membedakan) antara hadith-hadith Sahih dan da’if dan menghukumi (menetapkan) status perawi-perawinya dari segi kepercayaan ( thiqqah) dan cacat, tidak dipercaya ( Jarh) ”.
2)   Hamid Qufi mendefinisikan “ Naqd” dengan;
 تمحيص الروايات الحديثية والتمييز بين المقبول والمردود منها من خلال التمييز بين أحوال الروّاة جرحا وتعديلا, ومن خلال السند اتصالا وانقطاعا, ومن  .خلال الواقع إصابة وتخطئة
“Penelitian (secara cermat) riwayat-riwayat hadis dan pembedaan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang ditolak melalui perbedaan antara keadaan para rawi dari sisi jarh (dianggap cacat) dan ta’dil nya (dianggap adil), dan melalui sanad , muttasil (sambung) dan munqati’ (putus), dan melalui realitas yang ada, benar dan tidaknya”.
3)   Al-‘Umary mendefinisikan “ n aqd” dengan;
علم يبحث في تمييز الأحاديث الصحيحة من الضعيفة وبيان عللها والحكم على  روّاتها جرحا وتعديلا بألفاظ مخصوصة ذات دلائل معلومة عند اهل الفنّ.
“Ilmu yang membahas tentang penyeleksian hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da’if serta menjelaskan illat - illat nya dan menghukumi para rawi nya dari sisi jarh (dianggap cacat) dan ta’dil nya (dianggap adil ), dengan lafadz-lafadz tertentu yang mempunyai petunjuk yang telah diketahui oleh ahli fan (ilmu ini)”. Dari beberapa uraian definisi di atas dapat disimpulkan bahwa naqd al - hadith adalah kegiatan menyeleksi antara hadis-hadis sahih dan da’if melalui pelacakan status perawi hadis, penelitian sanad dan matan hadis.
1)   Naqd al - Sanad . dilakukan melalui dua langkah, yaitu naqd al – rawi dan naqd al-riwayah .
a)    Naqd al - Rawi .
Pengetahuan tentang rawi di dalam kajian hadis merupakan faktor penting untuk mengetahui derajat suatu hadis, dari sahih, hasan dan da’if nya, juga dapat diterima (maqbul) atau tertolaknya (mardud) suatu hadis. Karena itulah penelitian seputar kepribadian para periwayat hadis menjadi sangat urgen untuk disajikan dalam setiap naqd al-hadith, sebab hadis yang dapat diterima hanya hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang thiqqah (terpercaya). Para ahli naqd al- hadith sepakat bahwa hadis yang diterima adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang thiqqah. Sedangkan uji ke thiqqah an (keterpercayaan) rawi bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama, uji ‘adalat al-rawi (keadilan periwayat hadis) dan kedua, uji dabt alrawi (daya hafal periwayat hadis). Adalah ialah malakah (watak atau sifat yang melekat pada seseorang) yang dapat mendorong pemiliknya untuk bertaqwa, menjauhi segala dosa dan segala hal yang dapat
merusak muru’ah (harga diri). [8]Syarat-syarat ‘adalah ada lima;
a) islam, b) baligh, c) berakal sehat, d) taqwa (menjauhi dosa
besar dan tidak membiasakan perbuatan dosa kecil), dan e)
berprilaku sesuai harga diri ( muru’ah ) dan meninggalkan hal
hal yang dapat merusaknya. Sedangkan dabit ialah sifat yang dapat menjadikan rawilayak untuk meriwayatkan suatu hadis sesuai dengan yang didengarnya. Maksudnya adalah bahwa seorang
rawi harus punya sikap kesadaran penuh (mutayaqqiz) dan tidak lalai (ghairmughaffil ), kuat hafalan (hafiz) jikalau hadis yang diriwayatkannya berdasarkan hafalan, benar tulisan (dabit)
jikalau hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan dan
mengetahui kata-kata yang bisa mewakili makna jikalau hadis
yang diriwayatkannya berdasarkan makna. Untuk menguji ke thiqq ahan (‘adalah dan dabt) rawi, para ahli hadis telah membuat standart penelitian dalam menilai sifat-sifat rawi yang tertuang dalam ilmu
al - jarh waal - ta'dil. al-Jarh adalah mensifati rawi dengan sifat-sifat yang dapat melemahkan periwayatannya atau menyebabkan
periwayatannya tidak dapat diterima. Sedangkan al-ta'dil
adalah mensifati rawi dengan sifat-sifat terpuji yang dapat
menampakkan ‘adalah nya sehingga  periwayatannya dapat
diterima.

Natijah
Dalam al - jarh wa al-ta'dil terdapat tingkatan periwayat yang terbagmenjadi dua tingkatan, yaitu: tingkatan ta'dil dan tingkatan jarh. Ulama’ hadis membagi tingkatan ta'dil menjadi enam tingkatan sebagai berikut: Tingkatan pertama, yang paling tinggi adalah dengan katakata yang menunjukkan mubalaghah (melebih-lebihkan), dengan shighat af'ālal-tafdil atau semacamnya , seperti: Authāq al-nās (orang yang paling dapat dipercaya) , adbāt al nās (orang yang paling teliti) , lais lahu nazir (dia tidak ada bandingannya)dan lain sebagainya. Tingkatan kedua adalah dengan menggunakan kata-kata yang dapat memperkuat ke thiqah an (keterpercayaan) rawi dengan pengulangan lafadz yang pertama, seperti;  thiqqah thiqqah,hujjah - hujjah dan thabat - thabat, maupun dengan pengulangan kata-kata yang semakna, seperti: thiq q ah - thabat , thiqqah - hujjah, hujjah - thiq qah dan lain sebagainya . [9]Tingkatan ketiga adalah dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan ‘adalah tanpa adanya pengulangan lafal atau penguatan makna, seperti: hujjah, thabat, thiq q ah, h ā fiz dan imam . Tingkatan keempat adalah dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan ‘adalah akan tetapi dengan lafazh yang memberikan indikasi ketidak-telitian (‘ adamdabt ), seperti: s ad ū q (jujur), m a'm u n (dapat dipercaya), m a h a ll u h u a l - sidq (dia dapat dipercaya). Tingkatan kelima adalah dengan menggunakan kata yang tidak menunjukkan kejujuran ( tauthiq ) ataupun kecacatan ( tajrih) rawi, seperti: la ba's bihi , lays bih ba’s (tidak apa-apa) , shaykh dan lain sebagainnya . Tingkatan keenam adalah dengan menggunakan kata yang menunjukkan arti mendekati cacat dalam riwayat ( tajrih ), seperti: salih al - hadith (orang yang layak hadisnya) , lays bi b a ’ id m i n a l - sawab (tidak jauh dari kebenaran), yuktab hadithuhu (hadisnya bisa dicatat), sad ū q in sha’a Allah, sad ū q lahu awham dan lain sebagainnya. Selanjutnya, dari ke-enam tingkatan dalam ta'dil tersebut,rawi pada tingkatan pertama sampai tingkatan ketiga hadisnya dapat dijadikan sebagai hujjah, sedangkan rawi pada tingkatan keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah karena lafadz-lafadz yang dipakai tidak menunjukkan tanda-tanda kedabit  -an (ketelitian), akan tetapi hadisnya hanya dapat ditulis dan digunakan ikhtibar (menguji) kedabit  -an rawi dengan hadis lainnya. Adapun rawi pada tingkatan keenam hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, karena jelas sekali ketidakdabit  -annya, hanya dapat ditulis untuk digunakan i’tibar (pendukung hadis lain) bukan ikhtibar.
Sebagaimana ta’dil yang terbagi menjadi enam tingkatan, ahli haids juga membagi jarh ke dalam enam tingkatan. Tingkatan pertama, menunjukkan cacat yang keterlaluan pada rawi dengan menggunakan shighat mubalaghah seperti af' ā l al - tafdil atau dengan ungkapan lain yang mengandung arti sejenisnya, misalnya: akdh abal - nas (orang yang paling dusta), manba’ al - kadh b, ma’din al - kadhb (sumber dusta) dan lain sebagainya . Tingkatan kedua, menunjukkan cacat yang bersangkutan dengan kebohongan atau pemalsuan dengan menggunakan lafal yang berbentuk shigha mubalagh ah yang lebih ringan daripada tingkatan pertama, seperti: kadhdha b (tukang bohong) , wadda' (tukang pembuat kepalsuan) dan lain sebagainya . Tingkatan ketiga, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan tuduhan dusta, seperti: fulan muttaham bi al kad h b a w a l - wad (orang yang dicurigai berbohong atau palsu) , yasriq al - hadith (mencuri hadis) , lays bi thiqqah (tidak dapat dipercaya) dan lain sebagainya . Tingkatan keempat, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sangat lemahnya rawi , misalnya : matruk a l hadith (orang yang hadisnya ditinggalkan), mardu d al - hadi th (orang yang hadisnya ditolak), l a y u k t a b ha d it h u h u (orang yang hadisnya tidak bisa dicatat), da’if jiddan (orang yang sangat lemah) dan lain sebagainya . Tingkatan kelima, menggunakan kata-kata yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan rawi dalam hafalannya, misalnya: l ā y u h t a jj b i h (tidak dapat dibuat hujjah), mudtarib al - hadith (orang yang hadisnya kacau), fulan majhul (orang yang tidak diketahui), fulan munka r al - hadith (orang yang hadisnya diinkari), da’if (orang yang lemah), da’afuhu (ulama menganggapnya lemah) dan lain sebagainya . Tingkatan keenam, menggunakan lafadz-lafadz yang menunjukkan kelemahan, namun mendekati derajat ‘adalah, seperti: lays bi dhak al - qawi (tidak begitu kuat), ful ā n layyin (orang yang lemah) , f u l ā n m a q a l f i h (orang yang masih diperdebatkan), ghairuh authaq minhu ( rawi lain lebih thiqqah darinya), fih du’f (dia punya kelemahan) dan lain sebagainya . Selanjutnya, dari ke-enam tingkatan dalam jarh tersebut , rawi pada tingkatan pertama sampai tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali, tidak bisa dicatat dan tidak bisa dipakai i’tibar . Sedangkan rawi pada tingkatan tingkatan kelima dan keenam hadisnya juga tidak dapat dijadikan hujjah akan tetapi masih dapat dicatat untuk dipakai i’tibar. Jika dalam n a q d a l - rawi (penelitian rawi ) ditemukan ta' ā rud (pertentangan) antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menganggapnya adil ( ta'dil ) sedangkan sebagian yang lain menganggapnya cacat ( tajrih ), maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama, sebagai berikut: Pendapat pertama, yang diikuti oleh jumhur ulama’, adalah mendahulukan tajrih daripada ta’dil walaupun yang men ta’dil lebih banyak daripada yang men tajrih , karena orang yang menganggap cacat (al-jarih) meneliti apa-apa yang tidak diteliti oleh orang yang menganggap adil ( mu’addil ) . Pendapat kedua, mendahulukan ta’dil daripada jarh , jika orang yang men ta’dil lebih banyak dari yang men jarh , karena banyaknya orang yang men ta’dil akan menguatkan mereka.  Pendapat ketiga mengatakan; jika jarh dan ta’dil bertentangan, maka tidak ada yang diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat menguatkannya. [10]
Dalam artian, dua pendapat tersebut tidak dipakai kecuali ada yang mengunggulkan ( tarjih ) salah satu di antara keduanya. Melihat ketiga pendapat di atas, peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat ketiga, yakni tidak ada yang diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat menguatkan. Hal ini karena, menurut peneliti, perbedaan sudut pandang para kritikus ( nuqqad ) tentu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dalam al - j a r h  w a a l ta’dil . Pendapat ini dikuatkan oleh statemen al-Dhahabi yang mengatakan “ lam yajtami’ ithnani min ‘ulama’ hadha al - sha’nqatt ‘ala tawthiq da’if wa la ‘ala tad’if thiqqah ”, tidak pernah ada kesepakatan antara dua kritikus hadis untuk men thiqqah kan rawi yang da’if dan men da’if kan rawi yang thiqqah .   
b.)  Naqd al - Riwayah
Dalam istilah ahli hadis al - riwayah didefinisikan dengan “haml al - hadith wa naqluh wa isnaduh ila man ‘uzia ilayh bi sig h a t m i n si y a g h a l - ‘ada’” , membawa/menerima hadis dan menyampaikan serta menyandarkannya kepada pengucapnya dengan salah satu shighat dari beberapa shighat penyampaian.  Pengetahuan tentang r iwayah, dalam kajian hadis merupakan suatu langkah yang harus ditempuh untuk memastikan terwujudnya persambungan sanad pada masingmasing rawi sampai kepada Beliau Rasulullah saw. Oleh karenanya kritik persambungan sanad perlu disampaikan untuk memastikan bahwa matan hadis benar-benar dari Beliau Rasulullah saw. Hal ini, dikarenakan terdapat beberapa matan hadis yang disinyalir bukan dari Beliau Rasulullah saw.
Pensyarahan Hadis
          Mengingat pentingnya persambungan sanad ini, ulama’ ahli hadis membuat kaidah-kaidah dan metode yang dinamakan dengan “ tu r u q t a ha m m u l w a ‘ ada ’ a l - hadith” , metode membawa/ menerima dan menyampaikan hadis . Ada delapan metode yang dipakai ulama’ dalam altahammul wa al - ‘ ada.
Hasil Takhrij
          Pertama, metode al - sama’ , yaitu murid mendengarkan dan menulis atau mendengarkan saja bacaan lafadz hadis dari seorang guru berdasarkan ingatan atau tulisannya. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) s ami ’ tu ( )سمعت atau sami ’ na (سمعنا), b) haddathani حدّ( ) ثني atau haddathana حدّثن( ا ), c) akhbarani( ) أخبرني atau
akhbarana (أخبرنا), d) anba ’ ani (أنبأني) atau anba’ana ( ),أنبأنا e) qala li ( )قال لي dan  hakali ( .)حكى لي  
Kedua , metode al - q ira’ ah ‘ ala al - s haykh . Metode ini disebut juga dengan nama al - ‘a rd , yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah “sorogan”, yaitu seorang murid atau orang lain membaca hadis dihadapan guru baik dari kitab atau hafalannya sedangkan guru mendengarkan dengan seksama sambil sesekali membenarkan jika terjadi kesalahan. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) qara’tu ala fulan ( )قرأت على فلان , b) quri’a ala fulan wa ana asma’u قرئ ( على فلان وانا اسمع ), c) haddathana fulan qira’atan ‘alayh ( .)حدّثنا فلان قرآءة عليه  
Ketiga, metode al - ijazah, yaitu seorang guru memberikan izin periwayatan pada seorang atau beberapa muridnya untuk meriwayatkan hadis darinya atau dari kitab-kitabnya tanpa mendengar atau membaca keseluruhan hadis yang diijazahkan, seperti perkataan seorang guru “ a j a z t u k a a n t a r w i y a ‘ a nn i sahih a l - bukhari ” (aku izinkan/ijazahkan kepadamu untuk meriwayat-kan dariku hadis kitab sahih al bukhari ).
Para ahli hadis silang pendapat tentang kebolehan metode ijazah ini dalam penerimaan hadis. Jumhur ulama’ ahli hadis memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan metode ini, karena menurut mereka ijazah identik dengan periwayatan dan pemberitahuan hadis dan kitab secara global.  Berbeda dengan ulama’ mutaqaddimin terkesan yang lebih berhati-hati dalam memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan metode ini. Mereka cenderung untuk tidak memperbolehkan kecuali bagi orang-orang yang benar-benar ahli, mengerti seluk beluk tahammul dan ada’ dan diberikan kepada orang yang layak pula. Redaksi periwayatannya selain dengan lafadz ijazah( ) أجَازَنِي adalah lafadz akhbarana fulan idhnan aw fi ma adhina li (أخْبَرََنا فَُلان اذًْنا او فِيَْما اَذِنَ لِي) dan lafadz anba ’ ana ,)أنبأنا( menurut ulama’ muta’akhirin . Akan tetapi jika menggunakan lafadz anba’ana ( ) أنبأنا maka lebih baik ditambah dengan lafadz ijazah, sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا إجَازًَة  
Keempat, metode al - munawalah , yaitu seorang guru memberikan hadis atau kitabnya kepada muridnya kemudian ia mengatakan “ hadha hadithi aw hadha sama’ati ” (ini adalah hadisku atau riwayat yang aku terima) tanpa mengucapkan lafadz “ arwihi ‘ anni ” (maka riwayatkanlah hadis tersebut dariku), atau lafadz ajaztuka (aku ijazahkan kepadamu).  Para ulama’ mendasarkan pembolehan metode ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al - ‘ilm bahwa Rasulullah saw., pernah menulis sebuah surat kepada pemimpin prajurit perang ( sariyyah ). Beliau berkata “jangan baca surat ini sebelum sampai pada tempat ini dan ini”. Kemudian ketika sampai tempat yang ditunjuk, pemimpin tersebut membacakan isi surat dan perintah Rasulullah kepada para prajuritnya. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz akhbarana  fulan munaw a l a t a n (أخْبَرََنا فَُلان مُنَاَولًَة ) atau a k h b a rana fulan fi ma nawalani أخْبَ( رََنا فُلَان فِيَْما نَاَولَنِي ) dan lafadz anba’ana (أنبأنا) yang ditambah dengan lafadz munawalah , sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا مُنَاَولَةً  
Kelima, metode al - k itabah , yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis apa yang pernah ia dengar baik untuk yang hadir maupun yang tidak hadir dan mengirimkannya melalui orang yang terpercaya. Metode ini terbagi menjadi dua macam, yaitu al - khitabah al maqrun bi al - ijazah ( kitabah yang disertai dengan ijazah ) dan al - kitabah minghairal - ijazah ( kitabah yang tidak disertai dengan ijazah ).  Para ahli hadis menyamakan hukum al - khitabah al - maqrun b i a l - ijazah dengan metode al - munawalah dalam hal pembolehannya. Sedangkan dalam al - kitaba hmin ghairal jazah para ahli hadis silang pendapat, akan tetapi qaul yang sahih  mengatakan boleh. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz akhbarana fulan mu kata batan أخْبَرََنا فُلَان مُ( َكاتَبًَة ) atau akhbarana fulan kitabatan أخْبَرََنا فُلَان ( ) كِتَابًَة atau kataba ilayya fulan qala haddathana fulan ( )كَتََب ِالَََّي فُلَان قَالَ حَدََّثَنَا فَُلان dan lafadz akhbarana ( ) أخْبََرَنا juga lafadz haddathana )َحدََّثََنا( menurut al-Layth bin Sa’d.
 Keenam, metode al - i ’ lam , yaitu pemberian informasi ( i ’lam) oleh seorang guru kepada murid bahwa satu hadis atau kitab tertentu pernah didengarnya dari seseorang dengan tanpa memberikan kejelasan ijazah pada murid tersebut untuk meriwayatkannya. Hukum periwayatan hadis dengan metode ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Kebanyakan ulama hadis berpendapat bahwa meriwayatkan hadis dengan metode al - i ’ Iam adalah boleh. Mereka beralasan bahwa dalam i’lam terkandung makna ijazah secara tidak langsung. Di samping itu, dengan adanya pemberian informasi ( i’lam ) oleh seorang guru kepada murid memberikan indikasi bahwa sang guru legawa (rida) kepada murid untuk tahammul dan ada’ .  
Sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan tidak boleh sebab dimungkinkan masih terdapat cacat pada apa yang diinformasikan. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas pada periwayatan saja tidak dalam pengamalannya, karena dalam mengamalkan setiap hadis yang didengar semua ulama sepakat mengatakan wajib jika memang sanadnya sahih.  Redaksi periwayatan metode al - i’ lam , juga metode setelahnya yakni was}iyyat , menurut pendapat ulama’ yang membolehkan adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan lafadz yang tercetak dari masdar i’lam , seperti; fima a’ lamanishaykhianna fulan had datha ( .)فِيَْما َاعَْل َمنِي َشْيِخ ي أنََّ فُلَانًا َحدََّثَ  
Ketujuh, metode al - wasiy yah, yaituseorang guru ketika akan meninggal atau bepergian berwasiat agar kitab yang dia riwayatkan diberikan kepada orang tertentu ketika dia wafat. Periwayatan dengan metode ini dibolehkan menurut sebagian ulama’, karena dalam wasiat terkandung makna perizinan.  Akan tetapi, pendapat yang benar sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn al-Salah adalah tidak dibolehkannya periwayatan hadis dengan metode ini. Pendapat ini sangat akurat karena wasiat itu berfungsi hanya sebatas pelimpahan hak milik akan naskah kitab sebagaimana jual beli, dan ini merupakan suatu hal yang sudah keluar dari ikhbar (pemberian kabar) akan isi naskah tersebut. Redaksi periwayatannya, seperti yang telah kami singgung di atas, adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan lafadz yang tercetak dari masdar alwasiyyahal - isa’ , seperti; awsa ilayya fulan اَْوصَى ِالَََّي (  )فُلَانٌ atau akhbarani fulan bi al - wasiyyat ( .)أخْبَرَنِي فُلَانٌ ِبالوَصِيََّة
Kedelapan, metode al - w ijadah . a l - wijadah menurut istilah ahli hadis adalah penemuan hadis dari suatu naskah dalam kitab tanpa pernah mendengar, tanpa ijazah dan tanpa munawalah .  Orang yang menemukan hadis seperti ini tidak boleh meriwayatkannya dengan redaksi sama’, Ia hanya diperbolehkan meriwayatkan dengan redaksi hikayah (cerita) dengan menjelaskan bahwa ia menemukan hadis tersebut. Karena itu redaksi wijadah tidak boleh menggunakan redaksi akhbarana> أخْبَرَ( َنا ) atau haddathana ( )َحدََّثََنا akan tetapi dengan menggunakan redaksi seperti; wajadtu fi kitab fulan kadha wa kadha (وََجدْتُ فِي كَِتاِب ُفَلان َكذَا و َكذَا) atau wajadtu bi khat fulan: haddathana fulan ( ).َوجَدْتُ ِبَخطَِّ َوجَدُْت فُلَان :حَدََّثََنا فُلَان


KESIMPULAN
Setelah mengetahui bentuk-bentuk shighat al - tahammul wa al - ada’ , setiap peneliti hadis hendaknya meneliti dengan cermat kriteria rawi sebagaiman yang telah disebutkan dalam sub al – jarh wa a l - ta’dil . hal ini perlu dilakukan karena terkadang seorang rawi menerima hadis dengan cara yang rendah tetapi menyampaikannya dengan cara yang ternilai tinggi seperti menggunakan lafadz akhbarana untuk hadis yang didapat dari ijazah . Jika demikian, maka rawi tersebut telah melakukan sebuah penipuan ( tadlis).  Tidak kalah pentingnya dengan metode al - tahammul wa al ada’ , untuk memastikan tercapainya persambungan sanad, para ahli hadis merumuskan satu disiplin ilmu yang dinamakan ‘ilm tarikh al-ruwwat (ilmu tentang sejarah para rawi). ‘Ilmtarikh al-ruwwat adalah ilmu yang memperkenalkan para rawi hadis dari sisi yang berhubungan dengan periwayatan hadis. Cakupan bahasan dari ilmu ini meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan rawi, mulai dari sejarah kelahiran, tahun wafat, guru, murid, tempat domisili, pengembaraan akademik, hingga tempat singgah dalam pengembaraan dan lain sebagainnya.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa studi penelitian hadis merupakan suatu pekerjaan intelektual yang menuntut pengetahuan yang luas, dan harus didukung oleh referensi yang memadai. Hal ini karena penelitian hadis, seperti studi takhrij al-hadis dan kritik sanad sangat terkait dengan disiplin studi-studi lain dan memerlukan tingkat kesungguhan dan kecermatan yang tinggi. Selain itu, harus ditopang oleh aspek kritisisme yang kuat dan cermat, baik dalam lingkup studi historis maupun ideologis. Karena identik dengan ilmu kritik, antikemapanan dan anti statisme, ilmu hadis akan senantiasa mengalami struktur ilmu yang bersifat anomali dan akan terjadi suatu masa revolusi pemikiran seiring perubahan waktu dan validitas metodologis. Dalam konteks ini, ilmu hadis diharapkan dapat menjadi suatu paradigma bagi pengembangan dan sumber legitimasi bagi ilmuilmu lain.
 
 
Daftar Pustaka
Apandi, Muhammad Usman. “Takhrij Hadits Tentang Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut Ketika Hendak Sujud.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014.
Hakim, Munawar. “Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar).” PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2015.
Hidayat, Taufik. “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.
Izzan, Ahmad. Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis. Tafakkur, 2012.
Kamiludin, Ihsan. “Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman Kepada Hari Kiamat.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Nasrulloh, Nasrulloh. “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits.” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014): 15–28.
Nur, Tajudin, and Debibik Nabilatul Fauziah. “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017).
Pamil, Jon. “Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist.” An-Nida’ 37, no. 1 (2012): 52–71.
Prasefya, Eka. “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017.
Sopyan, Ichsan. “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016.

               


[1] Nasrulloh Nasrulloh, “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014) hlm : 15–28.
[2] Taufik Hidayat, “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), hlm : 74-322.
[3] Tajudin Nur and Debibik Nabilatul Fauziah, “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA),” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017), hlm : 12-115.
[4] Ichsan Sopyan, “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016), hlm: 16-260.
[5] Munawar Hakim, “Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar)” (PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2015),hlm: 104-114.
[6] Muhammad Usman Apandi, “Takhrij Hadits Tentang Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut Ketika Hendak Sujud” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014),hlm:18-180.
[7]Ihsan Kamiludin, “Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman Kepada Hari Kiamat” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015),hlm:15-150.,
[8] Eka Prasefya, “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017,hlm : 18-55.
[9] Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis (Tafakkur, 2012),hlm:50-338.
[10] Jon Pamil, “Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist,” An-Nida’ 37, no. 1 (2012),hlm: 52–71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar