Takhrijul
Hadis “(Fa ahsana Ta’dibah”). Pendahuluan, Pencarian ke sumber
asli,I’tibar,skema sanad, Tarjamah al-Ruwat dan Naqd al-sanad,Natijah, Pensyarahan
Hadis, Hasil Takrij, Penutup
Keluarga Adalah Segalanya |
PENDAHULUAN
Dalam
Islam, hadis merupakan pentunjuk dan sumber hukum kedua setelah al-Quran.
Selain menjadi sumber hukum kedua, hadis mempunyai kedudukan sebagai syarah dan
bayân bagi al-Quran. Berbeda halnya dengan al-Quran; yang diturunkan baik lafal
maupun maknanya dari Allah Swt. hadis terbagi dua. Pertama, hadis yang maknanya
dari Allah Swt. sedangkan lafalnya dari Nabi Saw. hadis model ini dikenal
dengan Hadits Qudsî. Kedua, hadis yang makna dan lafalnya murni dari Nabi Saw.
Hadis ini dikenal dengan Hadits Nabawî. Selain itu, pola periwayatan dan
pengodifikasian hadis dan al-Quran berbeda. al-Quran disampaikan oleh Allah
Swt. melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Saw. yang pelayanan dan
perhatiannya sudah dilakukan semasa Nabi Saw. masih hidup.
Sedangkan
hadis, penulisanya memang sudah ada pada masa awal Islam. Hal itu terbukti
dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh M. Azami, bahwa sedikitnya terdapat
52 orang sahabat yang memiliki tulisan hadis, meskipun ada pelarangan dari Nabi
Saw. pada masa awal untuk menuliskannya. Hal tersebut sebagai bentuk
kehati-hatian, bukan berarti tidak ada tulisan sama sekali dan hanya terbatas
pada skala kecil.
Merupakan
suatu keyakinan mayoritas umat Islam, kalau boleh dikatakan seperti itu, bahwa
Sunnah Nabi adalah salah satu sumber ajaran terpenting setelah kitab suci
Alquran QS Al-Hasyr (59):7; Ali Imran (3)
:32; Al-Nisa‟ (4) :80; Al-Ahzab
(33) 21). Posisi Alquran dan Sunnah Nabi, walaupun diyakini memiliki karakter
yang berbeda, telah menempati posisi yang sangat strategis karena keduanya
tidak bisa saling dipisahkan. Relasi keduanya ibarat menempati sekeping koin
mata uang yang tidak bisa saling otonom satu dengan lainnya. Oleh karena
itu, harus selalu digandengkan dalam
memahami salah satunya, baik dalam memahami Alquran atau memahami Sunnah,
maupun dalam memahami keduanya sekaligus .
Pencarian ke Sumber
asli
Nabi sebagai Rasul, sebagaimana
dikemukakan Yaqub, telah diberi wewenang oleh Allah swt. untuk menyampaikan
segala firman atau wahyu yang diterima Nabi melalui Jibril dalam bentuk Alquran
sebagai kitab suci. Kehadirannya berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan membawa
ajaran dalam ruang yang lebih luas secara kosmik sebagai rahmatan li al-‟alamin.
Akan tetapi, karena Alquran kebanyakan turun dengan ayat-ayat yang
bersifat umum, maka sekali lagi posisi
Nabi kembali menjadi sangat sentral untuk langsung menjadi “penafsir” pertama terhadap
ayat-ayat Alquran yang umum tersebut. Agar pesan Tuhan melalui ayat-ayatNya
bisa diterapkan sesuai dengan kehendak petunjuk atau maksud (dalalah) Alquran
dan sesuai pula dengan kondisi ril masyarakat Arab, sebagai objek pesan dari Alquran
tersebut. Arkoun menyatakan bahwa proses
dari kegiatan “menafsir” Alquran itulah yang kemudian terimplementasi dalam
tindakan perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau taqrir yang diambil oleh
Rasul dalam dimensi historisitas-profetik. Aktivitas Nabi seperti tersebut di
atas yang kemudian disebut sebagai Sunnah Nabi. Dalam masa sesudah Nabi dan
para sahabat, istilah ini dibakukan secara verbal dan berubah menjadi “korpus
resmi teks” dengan sebutan hadis, sebagai bagian dari realitas Sunnah, yang
terlembaga dalam berbagai kitab-kitab hadis. Nabi dalam proses pengajaran
Sunnah kepada para sahabat, biasanya menggunakan beberapa metode yang antara
lain, menggunakan metode secara verbal/lisan, metode tulis dan dikte kepada
juru tulis Nabi, dan metode demonstrasi praktis. Kegiatan periwayatan pada masa
Nabi pada dasarnya telah mulai berlangsung, baik melalui pendengaran langsung
dari Nabi, melalui hafalan dari sahabat,
maupun dari catatan pribadi yang dimiliki oleh sahabat tertentu, meskipun dalam
tingkat yang sangat sederhana, karena proses cek dan ricek atas nilai kebenaran
hadis tidak terlalu sulit. [1]Apabila
sahabat ragu terhadap kebenaran suatu hadis, maka langsung saja dapat
menanyakannya kepada sumber yang meriwayatkan atau langsung menanyakan kepada
Nabi. Artinya, penerimaan hadis tidak terlalu melibatkan suatu seleksi yang
ketat, baik dari segi sanad maupun matan karena unsur kepercayaan akan
otentisitas hadis yang diterima dan diyakini, bisa dipertanggungjawabkan. Hal
ini disebabkan karena Nabi sendiri masih hidup dan sahabat yang meriwayatkan
belum terpencar ke daerahdaerah lain di luar Madinah. Di samping, para sahabat adalah figur pribadi yang adil,
serta didukung oleh pengaruh lingkungan yang belum terkontaminasi jaringan
konflik yang saling memperebutkan kepentingan-kepentingan hidup . Keadaan tersebut berubah, terutama setelah
terbunuhnya khalifah Usman, di mana timbul suatu kecurigaan di antara para
sahabat dan berujung kepada pertikaian politik di masa Ali dan Mu‟awiyah.
Akibatnya, muncullah ketegangan-ketegangan politik yang berdampak pada
persoalan teologi dan juga mempengaruhi
periwayatan hadis. Akibatnya, kejadian politik tersebut menimbulkan efek yang melibatkan sahabat atau tabi‟in
yang pro dan kontra dalam dua kubu di atas. Dengan kata lain, pada masa itu
segala persoalan keilmuan, selalu melibatkan suatu persinggungan dengan
realitas politik, tidak terkecuali tentunya perkembangan ilmu hadis. Hal inilah
yang menimbulkan lahirnya beberapa disiplin ilmu baru dalam proses penerimaan,
pelestarian dan pengamalan hadis. Ulama hadis dengan sangat hati-hati dan
selektif menyeleksi hadis-hadis Nabi
melalui studi kritik sanad dan matan yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Sebagai
langkah awal sebelum memulai proses tersebut, para ulama biasanya memulainya
dengan melakukan takhrij al-hadis karena
hadis-hadis Nabi biasanya telah dibakukan
dalam kitab-kitab hadis induk yang sangat banyak dengan kualitas hadis
yang beragam.
I’tibar
Menurut al-Tahhan, kemunculan takhrij al-hadis terkait dengan konsep sejarah yang membentang
dari proses perkembangan ilmu hadis. Para ulama hadis yang tergolong
mutaqaddimin belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis.
Karena pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang
kuat terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi. Misalnya, ketika seorang
ulama membutuhkan suatu hadis, dalam waktu yang singkat dapat menemukan
tempatnya dalam berbagai kitab hadis, bahkan sampai juz dan halamannya pun mereka
ketahui. Kondisi ini karena sekali lagi memperlihatkan kapasitas ulama yang
selalu „intim‟ dengan periwayatan dan didukung
pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat terhadap segala yang berhubungan
dengan hadis Nabi. Keadaan itu berjalan cukup lama, namun seiring
perjalanan waktu, tradisi pengetahuan yang luas dan hafalan yang kuat terhadap
riwayat hadis, menjadi semakin menurun grafiknya. Akibatnya, mulai timbul
kesulitan menemukan sebuah hadis, sumber
dan statusnya untuk difungsionalisasikan dalam ilmu-ilmu agama yang lain
sebagai unsur legitimasi. [2]Dari
sinilah timbul kegelisahan ulama, sehingga mereka mengarang kitab takhrij untuk
memudahkan dan menghilangkan rintangan tersebut. Jadi, kitab-kitab tersebut
berguna secara praktis dalam rangka menemukan hadis dari sumber riwayat dan
mengetahui derajat dari otentisitas dan nilai sebuah hadis dengan cara
melakukan komparasi riwayat. Menurut Ismail, setelah dirangkum dari sekian
banyak, minimal ada tiga urgensi dari eksistensi dari takhrij al-hadis, yaitu;
1), untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan tidak
diketahui asal-usul atau sumber hadis sangat sulit mengetahui susunan dari
pengambilan sanad dan matan hadis, yang akan berdampak pada kesulitan meneliti
hadis secara cermat, apalagi menilai suatu hadis. Maka takhrij dalam hal ini diperlukan. 2), untuk
mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Adakalanya suatu
hadis memiliki lebih dari satu sanad, sehingga dari masingmasing terkadang
tidak memiliki kualifikasi yang sama dalam derajat kesahihannya. Sehingga
dengan metode takhrij dapat diketahui dari berbagai sanad yang terkumpul, dan
3), untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi‟
pada sanad yang diteliti. Ketika suatu hadis terdapat berbagai sanad dalam
jalurnya, mungkin terdapat dalam salah satu jalur sanad itu yang mendukung
(corroboration), dalam tingkat pertama, yakni sahabat yang disebut syahid atau pada tingkat kedua, yakni tabi‟in
disebut mutabi‟. Sehingga jalur sanad akan
semakin kuat bila terdapat dukungan dari jalur sanad lain pada tingkat syahid
atau mutabi‟.
Ismail mengemukakan bahwa untuk mengetahui semua itu, jelas posisi
takhrij menjadi penting dan strategis sebab dalam penelitian hadis, langkah
yang paling awal adalah melakukan takhrij atau mengumpulkan beberapa hadis yang
akan diteliti dari jalur sanad untuk dikompilasikan dengan berbagai riwayat
yang ada dan terkait dari sumber riwayat hadis pertama.
Menurut
Ismail, berdasarkan kriteria dari para
ahli ilmu hadis, ada empat langkah dalam melakukan penelitian kritik sanad
hadis, yaitu langkah takhrij al-hadis, langkah i„tibar dalam menyusun skema
sanad, langkah meneliti biografi periwayat dan kualitas riwayatnya, serta
langkah menentukan kesimpulan terhadap status derajat hadis yang diteliti.
Untuk langkah pertama yaitu takhrij al-hadis, penyusun sudah kemukakan
sebelumnya beserta urgensi dan metode-metode dalam praktek mencari hadis, yang
merupakan langkah awal dari sekian objek penelitian ilmu hadis. Sebagaimana penyusun mengambil sampel dari
operasionalisasi takhrij al-hadis dalam mencari hadis “man raa minkum
munkaran..” , yang hasilnya dapat dijumpai dalam enam buah sumber kitab-kitab
hadis. [3]Langkah
kedua adalah melakukan i‟tibar. Yang dimaksud
dengan istilah ini ialah menyertakan jalur sanad-sanad lain untuk suatu hadis
tetentu, di mana hadis itu kelihatan
mempunyai seorang riwayat saja.
Kegunaan menggunakan i‟tibar ini adalah supaya diketahui apakah ada riwayat
lain yang meriwayatkan hadis serupa pada jalur periwayat yang lain. Dengan
melakukan i‟tibar, akan terlihat dengan jelas
seluruh jalur riwayat hadis, demikian juga nama para periwayat dan metode
periwayatan yang ditempuh melalui indikasi pencantuman simbol-simbol transmisi
hadis yang dilakukan secara cermat.
Untuk memudahkan langkah i‟tibar
ini, perlu membuat suatu skema sanad hadis dalam bentuk tabel jalur periwayat
sesuai dengan sumber yang didapatkan dari penelusuran dalam proses takhrij
alhadis sebelumnya dalam tema hadis mengenai
anjuran mengatasi kemungkaran.
Skema sanad
Dalam
salah satu riwayat dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-nya sebagaimana terlihat dalam skema berikut: hal
meneliti biografi dan kualitas periwayat dan persambungan sanad yang
diriwayatkan. Urutan pertama dari periwayat ialah, 1) Abu Sa‟id
al-Khudri, 2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syu‟bah,
5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti
berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang
membahas ilm rijal al-hadis, yang dalam tulisan
ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara
umum adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara
teoriti. Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi
periwayat, berhubungan erat dengan
penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi
periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muru‟ah
dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh
wa al-ta‟dil.
[4]Dengan
diketahuinya aspek ini, akan dapat
diukur
عبدالله
بن
احمد
احمد
بن
حنبل
ابو
سعيد الخدري
طا
رق
بن
شهاب
قيس
بن
مسلم
شعبة
يزيد
Langkah
ketiga adalah melakukan penelitian sanad dalam hal meneliti biografi dan
kualitas periwayat dan persambungan sanad yang diriwayatkan. Urutan pertama
dari periwayat ialah, 1) Abu Sa‟id al-Khudri,
2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syu‟bah,
5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti
berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang
membahas ilm rijal al-hadis, yang dalam tulisan
ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara umum
adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara teoritis.
Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi
periwayat, berhubungan erat dengan
penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi
periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muru‟ah
dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh
wa al-ta‟dil.
Dengan diketahuinya aspek ini, akan
dapat diukur tingkat akuntabilitas periwayatannnya. Hal lain yang ditekankan
adalah kualitas kapasitas intelektual periwayat. Untuk bidang ini, yang
terpenting adalah sifat ke-dabit-an seorang periwayat. Periwayat yang dabit
ialah periwayat yang hafal dan memahami dengan sempurna hadis yang diterimanya
dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada periwayat yang
lain. Berdasarkan penelitian, para periwayat yang melakukan periwayatan
terhadap hadis „mengatasi kemungkaran‟
melalui jalur Musnad Ibn Hanbal, maka semuanya dipandang sebagai berkategori
siqah (adil dan dabit) dan sanadnya bersambung. Mengenai kategori adanya syuzuz, dalam
pandangan ulama hadis ialah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi‟i
adalah adanya hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqah, tetapi
riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh periwayat lain
yang lebih siqah. Dalam penilaian Syafi‟i,
bahwa kemungkinan sanad yang diteliti tidak hanya satu. Oleh karena itu, dasar
itu harus dilakukan komparasi riwayat dari semua jalur sanad yang terlihat
adanya syaz. Mengenai pertentangan atau terdapatnya unsur syaz ini bisa
terdapat di dalam bagian sanad dan matan. [5]Para
ulama mengakui kesulitan dalam menentukan tingkat syaz dalam kritik sanad, kecuali dengan kecermatan
penelitian dengan metode komparasi dan cross reference yang ketat dan disertai
kesesuaian prosedur. Adapun tentang adanya „illat dalam penelitian sanad hadis
ialah dimaksudkan sebagai sebab yang tersembunyi yang bisa merusak kualitas
hadis. Keberadaannya akan menurunkan
derajat kesahihan suatu hadis. Ulama hadis kebanyakan menganggap bahwa, „illat
biasanya terjadi dan mengambil bentuk : 1) sanad yang tampak muttasi dan marfu‟,
ternyata hanya sampai muttasil tetapi mauquf,; 2) sanad yang tampak muttasil
dan marfu‟, ternyata setelah diteliti
bersifat muttasil dan mursal; 3) terjadi percampuran antara bagian hadis dengan
bagian hadis lain; dan 4) terjadi kesalahan ketika ditelusuri dalam penyebutan
periwayat karena adanya unsur kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan
tidak semuanya. Hadis mengatasi kemungkaran di atas setelah diteliti,
berdasarkan ada tidaknya unsur syaz dan „illat. Setelah dibuktikan, ternyata
hadis yang diriwayatkkan oleh Ahmad ibn Hanbal melalui Yazid di atas, mempunyai
jarak yang tidak jauh dan tidak banyak dari mulai periwayat pertama yaitu Abu
Sa‟id
al-Khudri hingga periwayat terakhir yakni Ahmad ibn Hanbal hanya dalam jenjang
lima orang. Dan antara beberapa jalur periwayatan tidak ada pertentangan,
bahkan saling menguatkan, karena semua periwayat berkategori siqah, bahkan
dengan predikat yang tinggi, dengan tingkat ketersambungan sanad secara
muttasil dan marfu‟. Langkah yang
terakhir adalah menentukan kesimpulan dari keseluruhan penelitian dengan tolak
ukur yang sudah dipaparkan. Untuk kesimpulan dari hadis mengatasi kemungkaran
adalah, bahwa walaupun hadis ini banyak jalur periwayatannnya, akan tetapi
tidak sampai kepada mutawatir, dan hanya berstatus hadis ahad.[6]
Dalam skema seluruh sanad, periwayat pertama berstatus garib, dan mulai
periwayat tingkat keempat seterusnya berstatus masyhur. Karena prosedur dari
kesahihan hadis terpenuhi, maka hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal termasuk hadis
sahih lizatihi.
Tarjamah ar-Ruwat
Kitab
yang muncul pada permulaan abad ketiga ini ialah kitab Musnad yang salah
satunya adalah Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal. Terbitnya kitab Musnad
dirasa masih belum sempurna. Di dalamnya masih belum menyisihkan hadîts-hadîts
dha‟îf bahkan mawdhu‟.
Untuk itu, pada pertengahan abad ketiga, para ulama ahli hadis tergerak dan
mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis
itu shahîh atau dha‟îf. Pada pertengahan abad ketiga ini
mulai diterbitkan kitab Shahîh karya Imam Bukhari dan kitab ahîh karya Imam
Muslim. Kedua kitab yang disebut terakhir menghimpun hadis yang dipandang
shahîh berdasarkan kaidah dan syarat yang telah dibuat. Di samping itu, masih
pada pertengah abad ketiga, selain terbit kitab Musnad dan Shahîh, muncul juga
kitab Sunan yang mencakup seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat dha‟îf dan munkar. Di antaranya yang tergolong pada kitab Sunan
ini ialah Abu Dawud, at-Tirmidzi, anNasa‟i,
dan Ibnu Majah.
Penelitian
hadis sangat erat kaitanya dengan takhrîj. Takhrîj merupakan langkah awal dalam
penelitian hadis, karena dengan takhrîj. Pertama, kita dapat mengetahui
asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kedua, mengetahui seluruh riwayat
hadis yang akan diteliti. Ketiga, untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan
mutabi‟
di dalam sanad yang diteliti. Hal ini sangat erat sekali kaitanya dengan
penentuan kualitas sebuah hadis.
Naqhad Sanad
a. Pengertian Naqd al - Hadith
Kata “naqd”, yang dalam Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia diartikan dengan kritik dan penelitian secara cermat, ditinjau
dari segi bahasa mempunyai beberapa makna, di antaranya: a ) ibrazal shay’ wa
izharuhu (menjelaskan dan menampakkan sesuatu), b) altamyizbainal – jayyidwa
al- radi’ (membedakan/menyeleksi antara yang bagus dan yang jelek), c) idamat
al - naza rila al-shay’(mengekalkan pandangan terhadap sesuatu), dan d) al -
intiqa’ wa al ikhtiyar (menyeleksi dan
memilih). Sebenarnya masih ada beberapa makna “naqd” dari tinjauan bahasa selain yang penulis
uraikan di atas, akan tetapi apa yang penulis sebutkan adalah makna yang cocok sejalan
dengan makna istilah sebagaimana yang akan penulis utarakan di bawah ini.[7]
Menurut
istilah, para pakar hadis mendefinisikan kata “ naqd”dengan beberapa definisi
yang saling melengkapi sebagai berikut;
1)
al-A’z}ami mendefinisikan “ n aqd”
dengan;
تمييز
الاحاديث
الصحيحة
من
الضعيفة
والحكم
على
الرواة
توثيقا
وتجريحا
“Upaya menyeleksi
(membedakan) antara hadith-hadith Sahih dan da’if dan menghukumi (menetapkan)
status perawi-perawinya dari segi kepercayaan ( thiqqah) dan cacat, tidak
dipercaya ( Jarh) ”.
2)
Hamid Qufi mendefinisikan “ Naqd”
dengan;
تمحيص
الروايات
الحديثية
والتمييز
بين
المقبول
والمردود
منها
من
خلال
التمييز
بين
أحوال
الروّاة
جرحا
وتعديلا,
ومن
خلال
السند
اتصالا
وانقطاعا,
ومن .خلال
الواقع
إصابة
وتخطئة
“Penelitian (secara
cermat) riwayat-riwayat hadis dan pembedaan antara hadis yang dapat diterima
dan hadis yang ditolak melalui perbedaan antara keadaan para rawi dari sisi jarh
(dianggap cacat) dan ta’dil nya (dianggap adil), dan melalui sanad , muttasil
(sambung) dan munqati’ (putus), dan melalui realitas yang ada, benar dan
tidaknya”.
3)
Al-‘Umary mendefinisikan “ n aqd”
dengan;
علم يبحث
في
تمييز
الأحاديث
الصحيحة
من
الضعيفة
وبيان
عللها
والحكم
على روّاتها
جرحا
وتعديلا
بألفاظ
مخصوصة
ذات
دلائل
معلومة
عند
اهل
الفنّ.
“Ilmu yang membahas
tentang penyeleksian hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da’if serta menjelaskan
illat - illat nya dan menghukumi para rawi nya dari sisi jarh (dianggap cacat)
dan ta’dil nya (dianggap adil ), dengan lafadz-lafadz tertentu yang mempunyai
petunjuk yang telah diketahui oleh ahli fan (ilmu ini)”. Dari beberapa uraian
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa naqd al - hadith adalah kegiatan
menyeleksi antara hadis-hadis sahih dan da’if melalui pelacakan status perawi
hadis, penelitian sanad dan matan hadis.
1)
Naqd al - Sanad . dilakukan melalui dua
langkah, yaitu naqd al – rawi dan naqd al-riwayah .
a)
Naqd al - Rawi .
Pengetahuan tentang rawi di dalam
kajian hadis merupakan faktor penting untuk mengetahui derajat suatu hadis,
dari sahih, hasan dan da’if nya, juga dapat diterima (maqbul) atau tertolaknya
(mardud) suatu hadis. Karena itulah penelitian seputar kepribadian para
periwayat hadis menjadi sangat urgen untuk disajikan dalam setiap naqd
al-hadith, sebab hadis yang dapat diterima hanya hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang thiqqah (terpercaya). Para ahli naqd al- hadith sepakat bahwa hadis
yang diterima adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang thiqqah. Sedangkan
uji ke thiqqah an (keterpercayaan) rawi bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama,
uji ‘adalat al-rawi (keadilan periwayat hadis) dan kedua, uji dabt alrawi (daya
hafal periwayat hadis). Adalah ialah malakah (watak atau sifat yang melekat
pada seseorang) yang dapat mendorong pemiliknya untuk bertaqwa, menjauhi segala
dosa dan segala hal yang dapat
merusak muru’ah (harga diri). [8]Syarat-syarat
‘adalah ada lima;
a) islam, b) baligh, c) berakal sehat,
d) taqwa (menjauhi dosa
besar dan tidak membiasakan perbuatan
dosa kecil), dan e)
berprilaku sesuai harga diri ( muru’ah
) dan meninggalkan hal
hal yang dapat merusaknya. Sedangkan dabit
ialah sifat yang dapat menjadikan rawilayak untuk meriwayatkan suatu hadis
sesuai dengan yang didengarnya. Maksudnya adalah bahwa seorang
rawi harus punya sikap kesadaran penuh
(mutayaqqiz) dan tidak lalai (ghairmughaffil ), kuat hafalan (hafiz) jikalau
hadis yang diriwayatkannya berdasarkan hafalan, benar tulisan (dabit)
jikalau hadis yang diriwayatkannya
berdasarkan tulisan dan
mengetahui kata-kata yang bisa
mewakili makna jikalau hadis
yang diriwayatkannya berdasarkan
makna. Untuk menguji ke thiqq ahan (‘adalah dan dabt) rawi, para ahli hadis
telah membuat standart penelitian dalam menilai sifat-sifat rawi yang tertuang
dalam ilmu
al - jarh waal - ta'dil. al-Jarh
adalah mensifati rawi dengan sifat-sifat yang dapat melemahkan periwayatannya
atau menyebabkan
periwayatannya tidak dapat diterima.
Sedangkan al-ta'dil
adalah mensifati rawi dengan
sifat-sifat terpuji yang dapat
menampakkan ‘adalah nya sehingga periwayatannya dapat
diterima.
Natijah
Dalam
al - jarh wa al-ta'dil terdapat tingkatan periwayat yang terbagmenjadi dua
tingkatan, yaitu: tingkatan ta'dil dan tingkatan jarh. Ulama’ hadis membagi
tingkatan ta'dil menjadi enam tingkatan sebagai berikut: Tingkatan pertama,
yang paling tinggi adalah dengan katakata yang menunjukkan mubalaghah
(melebih-lebihkan), dengan shighat af'ālal-tafdil atau semacamnya , seperti:
Authāq al-nās (orang yang paling dapat dipercaya) , adbāt al nās (orang yang
paling teliti) , lais lahu nazir (dia tidak ada bandingannya)dan lain
sebagainya. Tingkatan kedua adalah dengan menggunakan kata-kata yang dapat
memperkuat ke thiqah an (keterpercayaan) rawi dengan pengulangan lafadz yang
pertama, seperti; thiqqah thiqqah,hujjah
- hujjah dan thabat - thabat, maupun dengan pengulangan kata-kata yang semakna,
seperti: thiq q ah - thabat , thiqqah - hujjah, hujjah - thiq qah dan lain
sebagainya . [9]Tingkatan
ketiga adalah dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan ‘adalah tanpa
adanya pengulangan lafal atau penguatan makna, seperti: hujjah, thabat, thiq q
ah, h ā fiz dan imam . Tingkatan keempat adalah dengan menggunakan kata-kata
yang menunjukkan ‘adalah akan tetapi dengan lafazh yang memberikan indikasi
ketidak-telitian (‘ adamdabt ), seperti: s ad ū q (jujur), m a'm u n (dapat
dipercaya), m a h a ll u h u a l - sidq (dia dapat dipercaya). Tingkatan kelima
adalah dengan menggunakan kata yang tidak menunjukkan kejujuran ( tauthiq )
ataupun kecacatan ( tajrih) rawi, seperti: la ba's bihi , lays bih ba’s (tidak
apa-apa) , shaykh dan lain sebagainnya . Tingkatan keenam adalah dengan
menggunakan kata yang menunjukkan arti mendekati cacat dalam riwayat ( tajrih
), seperti: salih al - hadith (orang yang layak hadisnya) , lays bi b a ’ id m
i n a l - sawab (tidak jauh dari kebenaran), yuktab hadithuhu (hadisnya bisa
dicatat), sad ū q in sha’a Allah, sad ū q lahu awham dan lain sebagainnya. Selanjutnya,
dari ke-enam tingkatan dalam ta'dil tersebut,rawi pada tingkatan pertama sampai
tingkatan ketiga hadisnya dapat dijadikan sebagai hujjah, sedangkan rawi pada tingkatan
keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah karena lafadz-lafadz yang
dipakai tidak menunjukkan tanda-tanda kedabit -an (ketelitian), akan tetapi hadisnya hanya
dapat ditulis dan digunakan ikhtibar (menguji) kedabit -an rawi dengan hadis lainnya. Adapun rawi
pada tingkatan keenam hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, karena jelas
sekali ketidakdabit -annya, hanya dapat
ditulis untuk digunakan i’tibar (pendukung hadis lain) bukan ikhtibar.
Sebagaimana
ta’dil yang terbagi menjadi enam tingkatan, ahli haids juga membagi jarh ke
dalam enam tingkatan. Tingkatan pertama, menunjukkan cacat yang keterlaluan
pada rawi dengan menggunakan shighat mubalaghah seperti af' ā l al - tafdil
atau dengan ungkapan lain yang mengandung arti sejenisnya, misalnya: akdh abal
- nas (orang yang paling dusta), manba’ al - kadh b, ma’din al - kadhb (sumber
dusta) dan lain sebagainya . Tingkatan kedua, menunjukkan cacat yang
bersangkutan dengan kebohongan atau pemalsuan dengan menggunakan lafal yang
berbentuk shigha mubalagh ah yang lebih ringan daripada tingkatan pertama,
seperti: kadhdha b (tukang bohong) , wadda' (tukang pembuat kepalsuan) dan lain
sebagainya . Tingkatan ketiga, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan tuduhan
dusta, seperti: fulan muttaham bi al kad h b a w a l - wad (orang yang
dicurigai berbohong atau palsu) , yasriq al - hadith (mencuri hadis) , lays bi
thiqqah (tidak dapat dipercaya) dan lain sebagainya . Tingkatan keempat, dengan
menggunakan kata-kata yang menunjukkan sangat lemahnya rawi , misalnya : matruk
a l hadith (orang yang hadisnya ditinggalkan), mardu d al - hadi th (orang yang
hadisnya ditolak), l a y u k t a b ha d it h u h u (orang yang hadisnya tidak
bisa dicatat), da’if jiddan (orang yang sangat lemah) dan lain sebagainya . Tingkatan
kelima, menggunakan kata-kata yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan rawi
dalam hafalannya, misalnya: l ā y u h t a jj b i h (tidak dapat dibuat hujjah),
mudtarib al - hadith (orang yang hadisnya kacau), fulan majhul (orang yang
tidak diketahui), fulan munka r al - hadith (orang yang hadisnya diinkari),
da’if (orang yang lemah), da’afuhu (ulama menganggapnya lemah) dan lain
sebagainya . Tingkatan keenam, menggunakan lafadz-lafadz yang menunjukkan
kelemahan, namun mendekati derajat ‘adalah, seperti: lays bi dhak al - qawi
(tidak begitu kuat), ful ā n layyin (orang yang lemah) , f u l ā n m a q a l f
i h (orang yang masih diperdebatkan), ghairuh authaq minhu ( rawi lain lebih
thiqqah darinya), fih du’f (dia punya kelemahan) dan lain sebagainya . Selanjutnya,
dari ke-enam tingkatan dalam jarh tersebut , rawi pada tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali, tidak
bisa dicatat dan tidak bisa dipakai i’tibar . Sedangkan rawi pada tingkatan
tingkatan kelima dan keenam hadisnya juga tidak dapat dijadikan hujjah akan tetapi
masih dapat dicatat untuk dipakai i’tibar. Jika dalam n a q d a l - rawi
(penelitian rawi ) ditemukan ta' ā rud (pertentangan) antara jarh dan ta'dil
pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menganggapnya adil ( ta'dil ) sedangkan
sebagian yang lain menganggapnya cacat ( tajrih ), maka dalam hal ini terdapat
tiga pendapat ulama, sebagai berikut: Pendapat pertama, yang diikuti oleh
jumhur ulama’, adalah mendahulukan tajrih daripada ta’dil walaupun yang men
ta’dil lebih banyak daripada yang men tajrih , karena orang yang menganggap
cacat (al-jarih) meneliti apa-apa yang tidak diteliti oleh orang yang menganggap
adil ( mu’addil ) . Pendapat kedua, mendahulukan ta’dil daripada jarh , jika orang
yang men ta’dil lebih banyak dari yang men jarh , karena banyaknya orang yang
men ta’dil akan menguatkan mereka. Pendapat
ketiga mengatakan; jika jarh dan ta’dil bertentangan, maka tidak ada yang
diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat
menguatkannya. [10]
Dalam
artian, dua pendapat tersebut tidak dipakai kecuali ada yang mengunggulkan (
tarjih ) salah satu di antara keduanya. Melihat ketiga pendapat di atas,
peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat ketiga, yakni tidak ada yang
diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat menguatkan.
Hal ini karena, menurut peneliti, perbedaan sudut pandang para kritikus ( nuqqad
) tentu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dalam al - j a r h w a a l ta’dil . Pendapat ini dikuatkan oleh
statemen al-Dhahabi yang mengatakan “ lam yajtami’ ithnani min ‘ulama’ hadha al
- sha’nqatt ‘ala tawthiq da’if wa la ‘ala tad’if thiqqah ”, tidak pernah ada
kesepakatan antara dua kritikus hadis untuk men thiqqah kan rawi yang da’if dan
men da’if kan rawi yang thiqqah .
b.) Naqd al - Riwayah
Dalam
istilah ahli hadis al - riwayah didefinisikan dengan “haml al - hadith wa
naqluh wa isnaduh ila man ‘uzia ilayh bi sig h a t m i n si y a g h a l - ‘ada’”
, membawa/menerima hadis dan menyampaikan serta menyandarkannya kepada
pengucapnya dengan salah satu shighat dari beberapa shighat penyampaian. Pengetahuan tentang r iwayah, dalam kajian hadis
merupakan suatu langkah yang harus ditempuh untuk memastikan terwujudnya
persambungan sanad pada masingmasing rawi sampai kepada Beliau Rasulullah saw.
Oleh karenanya kritik persambungan sanad perlu disampaikan untuk memastikan
bahwa matan hadis benar-benar dari Beliau Rasulullah saw. Hal ini, dikarenakan
terdapat beberapa matan hadis yang disinyalir bukan dari Beliau Rasulullah saw.
Pensyarahan Hadis
Mengingat pentingnya persambungan
sanad ini, ulama’ ahli hadis membuat kaidah-kaidah dan metode yang dinamakan
dengan “ tu r u q t a ha m m u l w a ‘ ada ’ a l - hadith” , metode membawa/
menerima dan menyampaikan hadis . Ada delapan metode yang dipakai ulama’ dalam
altahammul wa al - ‘ ada.
Hasil Takhrij
Pertama, metode al - sama’ , yaitu
murid mendengarkan dan menulis atau mendengarkan saja bacaan lafadz hadis dari seorang
guru berdasarkan ingatan atau tulisannya. Redaksi periwayatannya adalah dengan
menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) s ami ’ tu ( )سمعت
atau sami ’ na (سمعنا), b) haddathani حدّ(
) ثني
atau haddathana حدّثن( ا
), c) akhbarani( ) أخبرني atau
akhbarana (أخبرنا),
d) anba ’ ani (أنبأني) atau anba’ana
( ),أنبأنا
e) qala li ( )قال لي
dan hakali ( .)حكى
لي
Kedua
, metode al - q ira’ ah ‘ ala al - s haykh . Metode ini disebut juga dengan nama
al - ‘a rd , yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah “sorogan”,
yaitu seorang murid atau orang lain membaca hadis dihadapan guru baik dari
kitab atau hafalannya sedangkan guru mendengarkan dengan seksama sambil sesekali
membenarkan jika terjadi kesalahan. Redaksi periwayatannya adalah dengan
menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) qara’tu ala fulan ( )قرأت
على
فلان
, b) quri’a ala fulan wa ana asma’u قرئ
( على
فلان
وانا
اسمع
), c) haddathana fulan qira’atan ‘alayh ( .)حدّثنا
فلان
قرآءة
عليه
Ketiga,
metode al - ijazah, yaitu seorang guru memberikan izin periwayatan pada seorang
atau beberapa muridnya untuk meriwayatkan hadis darinya atau dari
kitab-kitabnya tanpa mendengar atau membaca keseluruhan hadis yang diijazahkan,
seperti perkataan seorang guru “ a j a z t u k a a n t a r w i y a ‘ a nn i
sahih a l - bukhari ” (aku izinkan/ijazahkan kepadamu untuk meriwayat-kan
dariku hadis kitab sahih al bukhari ).
Para
ahli hadis silang pendapat tentang kebolehan metode ijazah ini dalam penerimaan
hadis. Jumhur ulama’ ahli hadis memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan
metode ini, karena menurut mereka ijazah identik dengan periwayatan dan
pemberitahuan hadis dan kitab secara global. Berbeda dengan ulama’ mutaqaddimin terkesan
yang lebih berhati-hati dalam memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan metode
ini. Mereka cenderung untuk tidak memperbolehkan kecuali bagi orang-orang yang
benar-benar ahli, mengerti seluk beluk tahammul dan ada’ dan diberikan kepada
orang yang layak pula. Redaksi periwayatannya selain dengan lafadz ijazah( ) أجَازَنِي
adalah lafadz akhbarana fulan idhnan aw fi ma adhina li (أخْبَرََنا
فَُلان
اذًْنا
او
فِيَْما
اَذِنَ
لِي)
dan lafadz anba ’ ana ,)أنبأنا( menurut ulama’
muta’akhirin . Akan tetapi jika menggunakan lafadz anba’ana ( ) أنبأنا
maka lebih baik ditambah dengan lafadz ijazah, sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا
إجَازًَة
Keempat,
metode al - munawalah , yaitu seorang guru memberikan hadis atau kitabnya
kepada muridnya kemudian ia mengatakan “ hadha hadithi aw hadha sama’ati ” (ini
adalah hadisku atau riwayat yang aku terima) tanpa mengucapkan lafadz “ arwihi
‘ anni ” (maka riwayatkanlah hadis tersebut dariku), atau lafadz ajaztuka (aku
ijazahkan kepadamu). Para ulama’
mendasarkan pembolehan metode ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dalam kitab al - ‘ilm bahwa Rasulullah saw., pernah menulis
sebuah surat kepada pemimpin prajurit perang ( sariyyah ). Beliau berkata
“jangan baca surat ini sebelum sampai pada tempat ini dan ini”. Kemudian ketika
sampai tempat yang ditunjuk, pemimpin tersebut membacakan isi surat dan
perintah Rasulullah kepada para prajuritnya. Redaksi periwayatannya adalah
dengan menggunakan lafadz akhbarana
fulan munaw a l a t a n (أخْبَرََنا
فَُلان
مُنَاَولًَة
) atau a k h b a rana fulan fi ma nawalani أخْبَ(
رََنا
فُلَان
فِيَْما
نَاَولَنِي
) dan lafadz anba’ana (أنبأنا) yang
ditambah dengan lafadz munawalah , sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا
مُنَاَولَةً
Kelima,
metode al - k itabah , yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang
lain untuk menulis apa yang pernah ia dengar baik untuk yang hadir maupun yang
tidak hadir dan mengirimkannya melalui orang yang terpercaya. Metode ini
terbagi menjadi dua macam, yaitu al - khitabah al maqrun bi al - ijazah ( kitabah
yang disertai dengan ijazah ) dan al - kitabah minghairal - ijazah ( kitabah
yang tidak disertai dengan ijazah ). Para
ahli hadis menyamakan hukum al - khitabah al - maqrun b i a l - ijazah dengan
metode al - munawalah dalam hal pembolehannya. Sedangkan dalam al - kitaba hmin
ghairal jazah para ahli hadis silang pendapat, akan tetapi qaul yang sahih mengatakan boleh. Redaksi periwayatannya adalah
dengan menggunakan lafadz akhbarana fulan mu kata batan أخْبَرََنا
فُلَان
مُ(
َكاتَبًَة
) atau akhbarana fulan kitabatan أخْبَرََنا
فُلَان
( ) كِتَابًَة
atau kataba ilayya fulan qala haddathana fulan ( )كَتََب
ِالَََّي
فُلَان
قَالَ
حَدََّثَنَا
فَُلان
dan lafadz akhbarana ( ) أخْبََرَنا juga lafadz haddathana
)َحدََّثََنا(
menurut al-Layth bin Sa’d.
Keenam, metode al - i ’ lam , yaitu pemberian
informasi ( i ’lam) oleh seorang guru kepada murid bahwa satu hadis atau kitab
tertentu pernah didengarnya dari seseorang dengan tanpa memberikan kejelasan
ijazah pada murid tersebut untuk meriwayatkannya. Hukum periwayatan hadis
dengan metode ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Kebanyakan ulama
hadis berpendapat bahwa meriwayatkan hadis dengan metode al - i ’ Iam adalah
boleh. Mereka beralasan bahwa dalam i’lam terkandung makna ijazah secara tidak
langsung. Di samping itu, dengan adanya pemberian informasi ( i’lam ) oleh seorang
guru kepada murid memberikan indikasi bahwa sang guru legawa (rida) kepada
murid untuk tahammul dan ada’ .
Sedangkan
sebagian ulama lainnya mengatakan tidak boleh sebab dimungkinkan masih terdapat
cacat pada apa yang diinformasikan. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas pada periwayatan
saja tidak dalam pengamalannya, karena dalam mengamalkan setiap hadis yang
didengar semua ulama sepakat mengatakan wajib jika memang sanadnya sahih. Redaksi periwayatan metode al - i’ lam , juga
metode setelahnya yakni was}iyyat , menurut pendapat ulama’ yang membolehkan
adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan
lafadz yang tercetak dari masdar i’lam , seperti; fima a’ lamanishaykhianna
fulan had datha ( .)فِيَْما َاعَْل
َمنِي
َشْيِخ
ي
أنََّ
فُلَانًا
َحدََّثَ
Ketujuh,
metode al - wasiy yah, yaituseorang guru ketika akan meninggal atau bepergian
berwasiat agar kitab yang dia riwayatkan diberikan kepada orang tertentu ketika
dia wafat. Periwayatan dengan metode ini dibolehkan menurut sebagian ulama’,
karena dalam wasiat terkandung makna perizinan. Akan tetapi, pendapat yang benar sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibn al-Salah adalah tidak dibolehkannya periwayatan hadis
dengan metode ini. Pendapat ini sangat akurat karena wasiat itu berfungsi hanya
sebatas pelimpahan hak milik akan naskah kitab sebagaimana jual beli, dan ini merupakan
suatu hal yang sudah keluar dari ikhbar (pemberian kabar) akan isi naskah
tersebut. Redaksi periwayatannya, seperti yang telah kami singgung di atas,
adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan
lafadz yang tercetak dari masdar alwasiyyahal - isa’ , seperti; awsa ilayya
fulan اَْوصَى
ِالَََّي
( )فُلَانٌ
atau akhbarani fulan bi al - wasiyyat ( .)أخْبَرَنِي
فُلَانٌ
ِبالوَصِيََّة
Kedelapan,
metode al - w ijadah . a l - wijadah menurut istilah ahli hadis adalah penemuan
hadis dari suatu naskah dalam kitab tanpa pernah mendengar, tanpa ijazah dan
tanpa munawalah . Orang yang menemukan
hadis seperti ini tidak boleh meriwayatkannya dengan redaksi sama’, Ia hanya diperbolehkan
meriwayatkan dengan redaksi hikayah (cerita) dengan menjelaskan bahwa ia
menemukan hadis tersebut. Karena itu redaksi wijadah tidak boleh menggunakan
redaksi akhbarana> أخْبَرَ( َنا
) atau haddathana ( )َحدََّثََنا
akan tetapi dengan menggunakan redaksi seperti; wajadtu fi kitab fulan kadha wa
kadha (وََجدْتُ
فِي
كَِتاِب
ُفَلان
َكذَا
و
َكذَا)
atau wajadtu bi khat fulan: haddathana fulan ( ).َوجَدْتُ
ِبَخطَِّ
َوجَدُْت
فُلَان
:حَدََّثََنا
فُلَان
KESIMPULAN
Setelah
mengetahui bentuk-bentuk shighat al - tahammul wa al - ada’ , setiap peneliti hadis
hendaknya meneliti dengan cermat kriteria rawi sebagaiman yang telah disebutkan
dalam sub al – jarh wa a l - ta’dil . hal ini perlu dilakukan karena terkadang
seorang rawi menerima hadis dengan cara yang rendah tetapi menyampaikannya
dengan cara yang ternilai tinggi seperti menggunakan lafadz akhbarana untuk
hadis yang didapat dari ijazah . Jika demikian, maka rawi tersebut telah melakukan
sebuah penipuan ( tadlis). Tidak kalah
pentingnya dengan metode al - tahammul wa al ada’ , untuk memastikan tercapainya
persambungan sanad, para ahli hadis merumuskan satu disiplin ilmu yang
dinamakan ‘ilm tarikh al-ruwwat (ilmu tentang sejarah para rawi). ‘Ilmtarikh
al-ruwwat adalah ilmu yang memperkenalkan para rawi hadis dari sisi yang
berhubungan dengan periwayatan hadis. Cakupan bahasan dari ilmu ini meliputi
segala hal yang berhubungan dengan keadaan rawi, mulai dari sejarah kelahiran,
tahun wafat, guru, murid, tempat domisili, pengembaraan akademik, hingga tempat
singgah dalam pengembaraan dan lain sebagainnya.
Akhirnya,
dapat disimpulkan bahwa studi penelitian hadis merupakan suatu pekerjaan
intelektual yang menuntut pengetahuan yang luas, dan harus didukung oleh
referensi yang memadai. Hal ini karena penelitian hadis, seperti studi takhrij
al-hadis dan kritik sanad sangat terkait dengan disiplin studi-studi lain dan
memerlukan tingkat kesungguhan dan kecermatan yang tinggi. Selain itu, harus
ditopang oleh aspek kritisisme yang kuat dan cermat, baik dalam lingkup studi
historis maupun ideologis. Karena identik dengan ilmu kritik, antikemapanan dan
anti statisme, ilmu hadis akan senantiasa mengalami struktur ilmu yang bersifat
anomali dan akan terjadi suatu masa revolusi pemikiran seiring perubahan waktu
dan validitas metodologis. Dalam konteks ini, ilmu hadis diharapkan dapat
menjadi suatu paradigma bagi pengembangan dan sumber legitimasi bagi ilmuilmu
lain.
Daftar Pustaka
Apandi,
Muhammad Usman. “Takhrij Hadits Tentang Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut
Ketika Hendak Sujud.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014.
Hakim,
Munawar. “Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid
Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar).” PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
2015.
Hidayat,
Taufik. “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah
Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya,
2019.
Izzan,
Ahmad. Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan
Penelitian Hadis. Tafakkur, 2012.
Kamiludin,
Ihsan. “Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman
Kepada Hari Kiamat.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Nasrulloh,
Nasrulloh. “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadits.” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014):
15–28.
Nur,
Tajudin, and Debibik Nabilatul Fauziah. “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam
Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas
Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1,
no. 1 (2017).
Pamil,
Jon. “Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist.” An-Nida’ 37, no.
1 (2012): 52–71.
Prasefya,
Eka. “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL
AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017.
Sopyan,
Ichsan. “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji:
Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2016.
[1]
Nasrulloh Nasrulloh, “Rekonstruksi
Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits,” ULUL
ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014) hlm : 15–28.
[2] Taufik Hidayat, “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu
Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan”
(PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), hlm : 74-322.
[3] Tajudin Nur and Debibik Nabilatul Fauziah,
“Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen
Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA),” Jurnal
Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017), hlm : 12-115.
[4] Ichsan Sopyan, “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm
al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima” (PhD
Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016), hlm: 16-260.
[5] Munawar Hakim, “Kualitas Hadis-Hadis Dalam
Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar)”
(PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2015),hlm: 104-114.
[6] Muhammad Usman Apandi, “Takhrij Hadits Tentang
Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut Ketika Hendak Sujud” (PhD Thesis, UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2014),hlm:18-180.
[7]Ihsan Kamiludin, “Kualitas Hadis Dalam Kitab
Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman Kepada Hari Kiamat” (PhD Thesis, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, 2015),hlm:15-150.,
[8] Eka Prasefya, “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN
RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM
KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,”
2017,hlm : 18-55.
[9] Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis: Kajian
Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis (Tafakkur,
2012),hlm:50-338.
[10] Jon Pamil, “Takhrij Hadist: Langkah Awal
Penelitian Hadist,” An-Nida’ 37, no. 1 (2012),hlm: 52–71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar