Pengenalan
Takhrij Hadis Secara Teoritas : Pengenalan Takhrij Hadis, Pengenalan
Kitab-Kitab Terkait Penggunaannya
Bersama sahabat adalah hal yang terindah |
Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai sumber utama ajaran Islam adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya
melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah dengan lafadz
berbahasa Arab, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya.
Al-Qur’an dihimpun antara tepian lembaran mushaf yang dimulai dengan surat
al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, dan tetap terpelihara dari perubahan apapun. Sumber ajaran
Islam yang kedua adalah as-sunnah, As-Sunnah menurut istilah syara adalah
sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
ataupun pengakuan (taqrir). Status Al-Qur’an sebagai wahyu sudah tidak
diragukan lagi mengingat proses periwayatan, penghimpunan dan
pengodifikasiannya yang begitu ketat. Namun untuk hadist-hadist Nabawiyyah
timbul pertanyaan, apakah suatu hadist memang benar-benar diucapkan oleh nabi
Muhammad SAW? Kita tidak bisa semena-mena mengatakan ia benar ucapan beliau
atau bukan tanpa menelitinya kembali. Penelitiannya pun kembali menjadi
permasalahan tersendiri karena hadist-hadist Nabi tersebut bertebaran dalam
beragam dan berjilid-jilid kitab hingga tak terhitung jumlahnya, apakah harus
membukanya kitab demi kitab dan halaman demi halaman? Hal tersebut tentu
menjadi suatu hal yang tidak mungkin ketika keefisienan dan kreatifitas sangat
dibutuhkan dewasa ini. Namun kekhawatiran-kekhawatiran ini sirna dengan adanya
metode takhrij hadist, secara sederhana metode ini adalah mengeluarkan atau
mengungkapkan hadist dan mengangkatnya ke permukaan dari sumber-sumber aslinya.
Oleh karena itu melihat betapa pentingnya ilmu takhrij maka penulis ingin
membagi sedikit ilmu yang penulis kuasai tentang metode takhrij dengan
mengadakan pengabdian di kalangan dosen Fakultas Agama Islam (FAI) berupa
pengenalan metode takhrij hadist.
A.
Pengenalan Takhrij
Menurut al-Tahhan, kemunculan takhrij al-hadis terkait dengan konsep sejarah yang membentang
dari proses perkembangan ilmu hadis. Para ulama hadis yang tergolong mutaqaddimin
belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis. Karena
pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang kuat
terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi. Misalnya, ketika seorang ulama
membutuhkan suatu hadis, dalam waktu yang singkat dapat menemukan tempatnya
dalam berbagai kitab hadis, bahkan sampai juz dan halamannya pun mereka
ketahui. Kondisi ini karena sekali lagi memperlihatkan kapasitas ulama yang
selalu „intim‟ dengan periwayatan dan didukung
pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat terhadap segala yang berhubungan
dengan hadis Nabi. Keadaan itu berjalan cukup lama, namun seiring
perjalanan waktu, tradisi pengetahuan yang luas dan hafalan yang kuat terhadap
riwayat hadis, menjadi semakin menurun grafiknya. [1]Akibatnya,
mulai timbul kesulitan menemukan sebuah
hadis, sumber dan statusnya untuk difungsionalisasikan dalam ilmu-ilmu agama
yang lain sebagai unsur legitimasi. [2]Dari
sinilah timbul kegelisahan ulama, sehingga mereka mengarang kitab takhrij untuk
memudahkan dan menghilangkan rintangan tersebut. Jadi, kitab-kitab tersebut
berguna secara praktis dalam rangka menemukan hadis dari sumber riwayat dan
mengetahui derajat dari otentisitas dan nilai sebuah hadis dengan cara
melakukan komparasi riwayat. Menurut Ismail, setelah dirangkum dari sekian
banyak, minimal ada tiga urgensi dari eksistensi dari takhrij al-hadis, yaitu;
1), untuk mengetahui
asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan tidak diketahui asal-usul atau
sumber hadis sangat sulit mengetahui susunan dari pengambilan sanad dan matan
hadis, yang akan berdampak pada kesulitan meneliti hadis secara cermat, apalagi
menilai suatu hadis. Maka takhrij dalam
hal ini diperlukan.
2), untuk mengetahui seluruh riwayat bagi
hadis yang akan diteliti. Adakalanya suatu hadis memiliki lebih dari satu
sanad, sehingga dari masingmasing terkadang tidak memiliki kualifikasi yang
sama dalam derajat kesahihannya. Sehingga dengan metode takhrij dapat diketahui
dari berbagai sanad yang terkumpul, dan
3), untuk mengetahui
ada atau tidaknya syahid dan mutabi‟
pada sanad yang diteliti. Ketika suatu hadis terdapat berbagai sanad dalam
jalurnya, mungkin terdapat dalam salah satu jalur sanad itu yang mendukung
(corroboration), dalam tingkat pertama, yakni sahabat yang disebut syahid
atau pada tingkat kedua, yakni tabi‟in
disebut mutabi‟. Sehingga jalur sanad akan
semakin kuat bila terdapat dukungan dari jalur sanad lain pada tingkat syahid
atau mutabi‟.
Ismail mengemukakan bahwa untuk mengetahui semua itu, jelas posisi
takhrij menjadi penting dan strategis sebab dalam penelitian hadis, langkah
yang paling awal adalah melakukan takhrij atau mengumpulkan beberapa hadis yang
akan diteliti dari jalur sanad untuk dikompilasikan dengan berbagai riwayat
yang ada dan terkait dari sumber riwayat hadis pertama.
Ada tiga makna yang
dapat ditemukan mengenai mana takhrij, yang antara lain adalah: 1) al-istinbat
atau sinonim dengan akar kata takhrij, yaitu al-ikhraj yang bermakna
mengeluarkan; 2) altadrib, yaitu melatih atau membiasakan; dan 3) al-taujih,
yaitu mengahadapkan. Adapun secara
terminologis, sebagaimana makna yang digunakan dalam disiplin ilmu hadis, kata
al-takhrij mempunyai beberapa arti: 1. Mengemukakan suatu hadis dengan
menyebutkan sejumlah periwayat yang menyampaikan dalam deretan sanad melalui
metode periwayatan yang mereka tempuh. Hal ini dapat terlihat dari periwayat
yang menghimpun kitabnya, di mana ia berposisi sebagai perawi terakhir seperti
Imam al-Bukhari dengan Kitab Sahih-nya
dan Imam Muslim dengan Sahih Muslim-nya. 2. Ulama hadis mengemukakan berbagai
hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau berbagai kitab hadis
lainnya yang dalam sistematika penyusunannya menurut riwayatnya sendiri, atau
gurunya dengan menerangkan periwayatnya yang dikutip atau kitab hadis yang
dijadikan rujukan. Seperti yang ditempuh oleh Imam al-Baihaqi yang banyak
mengambil dari kitab Al-Sunan karya Abu al-Hasan al-Basri al-Saffar. 3.
Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengutipannya dari berbagai
kitab hadis yang disusun oleh orang yang men-takhrij sendiri secara langsung
dalam kapasitasnya sebagai penghimpun kitab hadis, seperti Ibn Hajar
al-„Asqalani dalam kitab Bulugh al-Maram. 4. Mengemukakan hadis berdasarkan
sumbernya atau berbagai sumber yang di dalamnya disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta dijelaskan keadaan periwayatnya
dan kualitas hadisnya. Seperti yang dilakukan oleh al-Husein al-„Iraqi dalam
karyanya untuk mengomentari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya‟
Ulum al-Din alGhazali dengan judul Ikhbar al-Ihya‟
bi Akhbar al-Ihya‟ sejumlah empat
jilid. 5. Menunjukkan atau mengemukakan letak hadis pada sumbernya yang asli,
yakni berbagai kitab, yang di dalamnya disebutkan secara lengkap dengan sanad
dan matannya masing-masing, yang kemudian untuk penelitian lebih lanjut dapat
dinilai kualitas hadis tersebut. [3]Untuk
pengertian yang ke lima inilah diperlukan kitab kamus hadis seperti alMu‟jam
al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi dan Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J.
Wensinck, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at-Tahhan, Turuq
Takhrij Hadis al-Rasul karya Abu
Muhammnad Abdul Mahdi, dan Cara Praktis Mencari Hadis karya M. Syuhudi Ismail.
Metode Takhrij
Yaitu
Metode penelusuran atau pencarian Hadits pada berbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadits yang bersangkutan. Yang di dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap mutu dan sanad hadits. Dalam kamus Lisan al-‘Arab disebutkan definisi
takhrij ( ) َتخْرِيْجٌ secara bahasa berasal
dari huruf ) ر
- ج
– (خ
yang berarti tampak atau jelas. Secara terminologi takhrij menurut ahli hadist
berarti: a. Bagaimana seorang menyebutkan dalam kitab karangannya suatu hadist
dengan sanadnya sendiri. b. Seorang pengarang kitab menyebutkan hadist-hadist
yang tertera dalam suatu kitab sebelumnya dengan sanad-sanad miliknya sendiri
dan ada kesamaan dalam sanadnya itu dengan sanad pengarang kitab sebelumnya
pada pihak gurunya atau yang di atasnya. c. Menisbatkan hadist-hadist kepada
para ulama hadist yang menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka, baik yang
berupa jawami’, sunan atau musnad. Takhrij hadist memberikan manfaat yang
sangat banyak, dengan adanya takhrij kita dapat sampai kepada
pembendaharaan-pembendaharaan sunnah Nabi, tanpa keberadaan takhrij seseorang
tidak akan mungkin dapat mengungkapkannya. Diantara kegunaan takhrij adalah: a.
Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadist, kitab-kitab asal dimana suatu
hadist berada beserta ulama yang meriwayatkannya. b. Takhrij dapat menambah
pembedaharaan sanad hadist-hadist melalui kitab-kitab yang ditunjukinya.
Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadist, semakin banyak pula
pembendaharaan sanad yang kita miliki. c. Takhrij memperjelas hukum hadist
dengan banyak riwayatnya itu, terkadang kita dapatkan suatu hadist dha’if
melalui satu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan dapati riwayat
lain yang shahih. Hadist yang shahih itu akan mengangkat hokum hadist yang dha’if
tersebut ke derajat yang lebih tinggi. d. Dengan takhrij kita dapat mengetahui
pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadist. Untuk mengetahui kejelasan
hadist beserta sumber-sumbernya ada beberapa metode takhrij yang dapat
dipergunakan oleh mereka yang akan menelusurinya. Metode-metode takhrij ini
diupayakan oleh para ulama dengan maksud untuk mempermudah mencari
hadist-hadist Rasul. Metode-metode takhrij hadist disimpulkan dalam lima macam
metode: a. Takhrij hadist menurut lafal pertama hadist b. Takhrij menurut
lafal-lafal yang terdapat dalam hadist c. Takhrij menurut perawi terakhir d.
Takhrij menurut tema hadist e. Takhrij menurut klasifikasi jenis hadist.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Metode Takhrij
Hadits Pertama: Takhrij Melalui Kata-Kata Dalam Matan
Hadits ( اَلَت
خْرِيْجُ
بِأَلْفَاظِ
اْلحَدِيْثِ ) Metode ini tergantung kepada kata-kata yang
terdapat dalam matan hadits, baik itu berupa isim (kata benda) atau fi’il (kata
kerja), sedangkan huruf tidak digunakan dalam metode ini. Hadits-hadits yang
dicantumkan hanyalah bagian hadits saja, adapun ulama-ulama yang
meriwayatkannya dan nama-nama kitab induknya dicantumkan di bawah potongan
hadits-haditsnya. Para penyusun kitab kitab-kitab takhrij menitikberatkan
peletakan hadits-haditsnya menurut lafal-lafal yang asing, semakin asing
(gharib) suatu kata maka pencarian akan semakin mudah. Diantara kitab yang
terkenal dalam metode takhrij melalui kata-kata yang terdapat dalam matan
hadits adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Hadits An-Nabawi karya A.J.
Wensinck. [4]Metode
ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya: a. Metode ini mempercepat
pencarian hadits-hadits. b. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini
membatasi hadits-haditsnya dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan
nama kitab, juz, bab dan halaman. c. Memungkinkan
pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam metode ini antara lain: a. Keharusan
memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai.
Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap katakata kuncinya kepada
kata dasarnya. Seperti kata ُمَتعَم
ِدًاharuslah
dicari melalui kata َ
دِمَ
. ع
b. Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui
nama sahabat yang menerima hadist dari Nabi SAW mengharuskan kembali kepada
kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab yang menggunakan metode
ini. c. Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang
yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain. Diantara kitab yang terkenal
dalam metode takhrij melalui kata-kata yang terdapat dalam matan hadits adalah:
1)
Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Hadits An-Nabawi (اَلُْمْعجَمُ
الْمَُفهْرَسُ
لِأَلَْفاِظ
اْلحَدِيْ
ِث
الَن
َبوِ
ِي
), karya A.J. Wensinck.
2) Fihris shahih Muslim (فهْرُس
َصِحيِْح
ُمسْلِ
م
), karya Muhammad Fuad Abd al-Baqy.
3)
Fihris Sunan Abi Daud ( فهْرُس ُسَنِن
أَبِى
دَاُود
), karya Ibnu Bayumi.
2. Metode Kedua:
Takhrij Melalui Perawi Hadits Pertama
Metode takhrij yang kedua ini berlandaskan pada perawi pertama suatu
hadits. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan
hadits-hadits oleh setiap perawi pertama (shahabat atau tabi’i). Sebagai
langkah pertama ialah mengenal terlebih dahulu perawi pertama setiap hadits
yang akan kita takhrij melalui kitabkitabnya. Langkah selanjutnya mencari nama
perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab takhrij metode ini, dan kemudian
mencari hadits yang kita inginkan diantara haditshadits yang tertera di bawah
nama perawi pertamanya itu. Bila kita telah menemukannya maka kita akan
mengetahui pula ulama hadits yang meriwayatkannya. Diantara kitab yang terkenal
menggunakan metode ini adalah Musnad Ahmad bin Hanbal karya Imam Ahmad bin
Hanbal.[5]
Takhrij dengan Musnad Imam Ahmad ini harus didahului dengan pengenalan kepada
Shahabat yang meriwayatkan Hadits. Bila kita tidak tahu siapa shahabat yang
meriwayatkan Hadits yang akan kita takhrij, tentunya kita tidak mungkin
menggunakan metode ini. Bila kita telah mengetahui Shahabat yang meriwayatkan
Hadits tersebut, maka kemudian kita mencari Hadits-Haditsnya pada Musnad ini.
Akan sangat membantu sekali bila terlebih dahulu melihat daftar isinya. Bila
kita telah sampai pada Hadits-Haditsnya maka langkah selanjutnya adalah
menelusuri Hadits-Hadits untuk sampai pada hadits yang dimaksud. Diantara
kelebihan metode ini adalah dapat memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkan
ulama hadist yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya. Adapun diantara
kekurangannya adalah: a. Metode ini tidak dapat digunakan dengan baik tanpa
mengetahui lebih dahulu perawi pertama hadist yang kita maksud. b. Kesulitan
mencari hadits karena penyusunan hadits-haditsnya didasarkan perawiperawinya
yang dapat menyulitkan maksud tujuan.
B. Pengenalan
Kitab-Kitab Terkait Penggunaan
a.
Kitab Al-Athraf
1) Pengertian
Al-Athraf Al-Athraf adalah salah satu jenis kitab-kitab yang disusun sebagai
kumpulan hadits-hadits Nabi. Yang dimaksud dengan jenis al-Athraf ini ialah
kumpulan hadits-hadits dari beberapa kitab induknya dengan cara mencantumkan
bagian atau potongan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat.
Penyusunnya hanyalah menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang menurutnya
dapat dipahami hadits yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya terkadang ada
yang menuliskannya lengkap dan ada pula yang menuliskannya sebagian. Hal ini
bermaksud agar dapat dijadikan studi komparatif sanad dan memperjelas
selukbeluk sanadnya [6]2)
Kegunaan Kitab-Kitab Athraf
a)
Dapat menghimpun berbagai jalan hadits (sanad) dari kitab-kitab yang menjadi
literaturnya hingga dapat diketahui hukum setiap hadits. Penentuan hukum suatu
hadits biasanya bersifat nisbi, artinya hanya berdasarkan apa yang dikatakan
oleh beberapa kitab-kitabnya.
b) Hadits-hadits yang dihimpunnya dapat
dijadikan bahan studi komparatif sanad antara yang satu dengan yang lainnya.
c)
Sebagai tindak lanjut penyelamatan teks hadits, ini tentunya sebagai hasil
menelaah kembali teks-teks haditsnya dalam kitab-kitab referennya melalui
kitab-kitab al-athraf.
d)
Pengenalan terhadap para Imam periwayat hadits dan tempat-tempat hadits dalam
kitab-kitab mereka.
3) Kitab-Kitab Yang
Berjenis Al-Athraf
a) Athraf
ash-Shahihain, karangan al-Hafizh Imam abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad bin
‘Ubaid ad-Dimasyqi, wafat tahun 400 H.
b) Athraf
ash-Shahihain, karangan al-Hafizh Imam Khalaf bin Hamadun alWashithi, wafat
tahun 401 H.
c) Athraf al-Kutub
as-Sittah, karangan Ibnu al-Qaisarani,
wafat tahun 507 H. d) Al-Isyraf ‘Ala Ma’rifah al-Athraf, karangan Ibnu Asakir,
wafat tahun 571 H. e) Tuhfah al-Asyraf Bi Ma’rifah al-Athraf, karangan
al-Mizzi, wafat tahun 742 H.
b. Kitab Musnad
1) Pengertian
Al-Musnad Al-Musnad merupakan jenis lain dari kitab-kitab takhrij yang disusun
berdasarkan perawi teratas. Dan al-Musnad menentukan hadits-hadits setiap
shahabat sendiri-sendiri.
2) Kekhususan
Kitab-Kitab Musnad
a)
Musnad tersusun menurut perawi teratas, baik shahabat atau tabi’in bila hadits
tersebut mursal.
b)
Shahabat-shahabat tersusun menurut aturan-aturan tersentu. Sebagian ulama ada
yang mengaturnya berdasarkan urutan huruf-huruf Hijaiyyah, sebagian lain ada
yang mengaturnya berdasarkan yang lebih dulu masuk Islam, dan lain-lain.
c)
Hadits-hadits kitab-kitab Musnad kualitasnya tidak sama seluruhnya.
Hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if tidak dipisah tetapi dikumpulkan menjadi
satu.
d)
Kitab-kitab Musnad tidak memuat keseluruhan shahabat. Sebagian memuat shahabat
dalam jumlah besar, sebagian lain memuat shahabatshahabat yang memiliki satu sifat
kesamaan seperti musnad shahabat yang dijamin masuk surga dan musnad shahabat
yang sedikit riwayatnya. Dan sebagian lain memuat satu shahabat seperti musnad
Abu Bakar Shiddiq.[7]
3) Karya-Karya Dalam Al-Musnad Kitab-kitab
Musnad banyak sekali dan merupakan metode yang dipakai oleh para ulama pada
permulaan tahun 200-an H dalam penulisan-penulisan hadits. Musnad yang terkenal
adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Humaidi, Musnad Abi Daud
ath-Thayalisi, Musnad al-Bukhari al-Kabir, dan lain-lain.
4) Kegunaan Musnad
a)
Musnad adalah kumpulan hadits-hadits dalam jumlah banyak, mencakup berbagai
riwayat dan meliputi jalan yang bermacam-macam.
b)
Sarana untuk memudahkan menghafal hadits bagi yang berkeinginan.
c)
Dapat menjadi jalan untuk sampai kepada hadits yang dituju. Takhrij melalui
musnad dapat dilakukan dengan mudah, meskipun dibutuhkan kehati-hatian dan
kesabaran dalam mencari hadits dari shahabat yang banyak riwayatnya.
3. Metode Ketiga:
Takhrij Menurut Tema Hadits
Takhrij
dengan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadits, setelah kita
menentukan hadits yang akan kita takhrij maka langkah selanjutnya ialah
menyimpulkan tema hadits tersebut kemudian kita mencarinya melalui tema ini
pada kitab-kitab metode ini. Kitab yang terkenal yang menggunakan metode ini
adalah kitab Miftah Kunuz As-Sunnah karya DR. AJ. WENSINCK, seorang orientalis
dan guru besar bahasa Arab di Universitas Leiden. Keistimewaan metode ketiga a.
Metode tema hadist tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain di luar
hadist, seperti keabsahan lafal pertamanya, pengetahuan bahasa Arab dengan
perubahan-perubahan katanya, dan pengenalan perawi teratas. Yang dituntut oleh
metode keempat ini ialah pengetahuan akan kandungan hadist. b. Metode ini
mendidik ketajaman pemahaman hadist pada diri peneliti. c. Metode ini
memperkenalkan kepada peneliti maksud hadist yang dicarinya dan hadist-hadist
yang senada dengannya, hal ini tentunya akan membantu mendalami permasalahan. [8]
Kekurangan
metode ketiga a. Terkadang kandungan hadist sulit disimpulkan oleh seorang
peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya, sebagai akibatnya dia tidak
mungkin memfungsikan metode ini. b. Terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai
dengan pemahaman penyusun kitab, sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan
hadist pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut. Contohnya seperti
hadist yang semula oleh peneliti disimpulkan sebagai hadist peperangan ternyata
oleh penyusun diletakkan pada hadist tafsir. Karya-karya tulis pada metode
ketiga a. Kitab –kitab takhrij hadits secara umum, seperti:
-
Kanzul ‘Ummal Fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al ( َكنْزُ
اْلعُم
َاِل
فىِ
سَُننِ
الْأَْقوَالِ
َو
) الْأَْفَعالِ,
karangan al-Muttaqi al-Hindi.
-
Muntakhab Kanz al-‘Ummal ( )ُمْنتَ
َخبُ
َكنْزِ
اْلعَُم
ال
, juga karangan al-Muttaqi al-Hindi. b. Kitab-kitab takhrij hadits-hadits dari
beberapa kitab tertentu, seperti:
-
Miftah Kunuz as-Sunnah ( ) مِْفتَاُح
ُكُنوْزِ
ال
ُسن
َةِ
, karangan Wensinck. - Al-Mughni ‘An Haml al-Asfar Fi al-Asfar Fi Takhrij Ma Fi
al-Ihya Min
al-Akhbar ( , اَلُْمْغنىِ
عَْن
حَْملِ
الْأَسْفَارِ
فىِ
الْأَسْفَارِ
فىِ
َتخْرِْيجِ
مَا
فِى
الْإِْحيَاءِ
مَِن
الَْأخَْبارِ
) karangan al-‘Iraqi. c. Kitab-kitab takhrij hadits dari kitab-kitab fiqih,
seperti:
-
Nashb ar-Rayah Fi Takhrij Ahadits al-Hidayah ( َنْصبُ
الر
َايَِة
فىِ
َتخِْريْجِ
أََحاِدْيثِ
)اْلهِدَايَِة
, karangan al-Zaila’i.
-
Ad-Dirayah Fi Takhrij Ahadits al-Hidayah
( , اَلد ِرَايَةِ
فىِ
َتخْرِيْجِ
َأحَاِدْيثِ
اْلهِدَايَةِ
) karangan Ibnu Hajar.
-
At-Talkhish al-Habir Fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir ( اَلت
َْلِخيْ
ُص
اْلحَِبيْرِ
) , فِى
َتخْرِيِْج
َأحَادِْي
ِث
الر
َاِفعِى
الَْكِبيِْر
juga karangan Ibnu Hajar. d. Kitab-kitab takhrij hadits-hadits hukum, seperti:
-
Muntaqa al-Akhbar Min Hadits Sayyid al-Akhbar ( ُمْنتَقَى
الَْأْخبَارِ
ِمنْ
حَدِْي
ِث
) َسي
ِدِ
الَْأْخبَارِ
, karangan Ibnu Taimiyyah.
-
Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam ( )بُلُْوغُ
الْمَرَاِم
ِمنْ
َأدِل
َةِ
الَْأحْكَامِ
, karangan Ibnu Hajar.
-
Taqrib al-Asanid Wa Tartib al-Masanid (
, تَقْرِْيبُ
اْلأَسَاِنيْدِ
وَ
تَرْتِْيبُ
الَْمسَاِنيْدِ
) karangan al-‘Iraqi.
e.
Kitab-kitab takhrij hadits-hadits Targhib dan Tarhib, seperti:
-
At-Targhib Wa at-Tarhib ( )اَلت
َرِْغيْ
ُب
وَ
الت
َْرهِْيبُ
, karangan al-Hafidz alMundziri.
-
Az-Zawajir ‘An Iqtiraf al-Kabair ( ) اَلَز
وَاجِرُ
َعنْ
إِْقتِرَافِ
الَْكَبائِرِ
, karangan Ibnu Hajar al-Haitsami. f. Kitab-kitab takhrij hadits-hadits Tafsir,
seperti: - Ad-Dur al-Mantsur Fi at-Tafsir Bi al-Ma’tsur ( , اَلد
ُر
ُ
الَْمْنُثوْرِ
فىِ
الت
َْفِسيْرِ
بِا
الْمَأُْثوِْر
karangan Imam Suyuthi.
-
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhzim ( ) تَْفِسيُْر
الْقُرْانِ
اْلَعِظيِْم
, karangan Ibnu Katsir.
-
Al-Kaf as-Syaf Fi Takhrij Ahadits al-Kasyaf ( اَلْكَاُف
الش
َافُ
فِى
َتخْرِيِْج
أَحاِدْيثِ ) الَْكش
َافِ,
karangan Ibnu Hajar. g. Kitab-kitab takhrij hadits-hadits sejarah hidup dan
sifat-sifat Nabi, seperti:
-
Khashaish al-Kubra ( ) َخصَاﺌُِص
الْ
ُكبْرَى
, karangan Imam Suyuthi.
-
Manahil ash-Shafa Fi Takhrij Ahadits asy-Syifa
( َمنَاِهلُ الص
َفَا
فىِ
َتخْرِيِْج ) َأحَادِْي
ِث
الش
ِفَا,
karangan Imam Suyuthi.
-
Sirah Rasulillah SAW ( )ِسيْرَةُ
رَُسْولِ
اللهِ
صل الله
عليه
و
سل
م
, karangan Ibnu Hajar.
Subul
al-Huda Wa ar-Rasyad ( )ُسبُلُ
اْلهُدَى
َو
الر
شَاِد
, karangan Asy-Syami 4. Metode Keempat: Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan
Hadits
Penggunaan
metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadits. Metode ini juga
mengkodifikasikan hadits-hadits yang lafal pertamanya sesuai dengan urutan
huruf-huruf hijaiyyah, seperti hadits-hadits yang huruf pertamanya alif, ba’,
ta’, dan seterusnya. Suatu keharusan bagi yang akan menggunakan metode ini
untuk mengetahui dengan pasti lafal-lafal pertama dari hadits-hadits yang akan
dicarinya. Setelah itu ia melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij
yang disusun dengan metode ini, demikian pula dengan huruf kedua dan
seterusnya. Diantara kitab yang menggunakan metode ini adalah kitab Al-Jami’
Ash-Shaghir Min Hadits Al-Basyir AnNadzir karya As-Suyuthi. Dengan menggunakan
metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits yang
dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama akan berakibat sulit
menemukan hadits. Sebagai contoh hadits yang berbunyi. Sebagai contoh hadits
yang berbunyi: ِإذَا أَتَاكُْم
مَْن
تَرْ
َضوْنَ
دِْينَهُ
َو
َخلْقَهُ
فََزِو
ُجوُْه Menurut bunyi hadits hadits di atas, lafal
pertamanya adalah مُ
اكَتَ
ا
أ
َذِ
إ
, namun bila lafal yang kita ingat adalah
مُ
اكَتَ
و أ
َ
ل
, tentunya akan sulit menemukan hadits tersebut karena adanya perbedaan lafal
itu. Demikian pula bila lafal yang kita ketahui berbunyi مُكَ
اء
َ
ا
ج
َذِ
إ
, sekalipun semuanya satu pengertian. Kitab-kitab yang menggunakan metode
keempat, yaitu:
a.
Al-Jami’ ash-Shaghir Min Hadits al-Basyir an-Nadzir (اَْلَجامِعُ
ال
َص
ِغيْرُ
مِْن
حَدِْيثِ
الَْبِشيْرِ الن
َذيْرِ),
karangan Imam Suyuthi.
b.
Faidh al-Qadir Bi Syarh al-Jami’ ash-Shaghir ( , َفيْضُ
الْقَدِيْرِ
ِبشَْرحِ
اْلجَامِعِ
ال
َص
ِغيْرِ)
karangan c. Al-Jami’ al-Azhar Min Hadits an-Nabi al-Anwar ( ), اَْلَجامِعُ
الْأَزْهَرُ
ِمنْ
حَدِْي
ِث
ال
َنبِي
ِ
الْأَْنوَِر
karangan Al-Manawi. d. Hidayah al-Bari Ila Tartib Ahadits al-Bukhari ( ), هَِدايَةُ
اْلبَارِى
إَِلى
تَرِْتْي
ِب
أََحاِدْيثِ
الُْبخَارِى
karangan Thahthawi. e. Kasyf al-Khafa Wa Muzil al-Ilbas ‘Amma isytahara Min
al-Ahadits ‘Ala Alsinah
an-Nas
( ) َكْشفُ
اْلخَفَا
َومُزِيْلُ
الْإِْلبَاسِ
عَم
َا
اشَْتهَرَ
ِمنَ
الَْأحَاِدْيثِ
عَلَى
أَلِْسنَةِ
الن
َاسِ
, karangan al‘Ajluni. [9]
5. Metode Kelima:
Takhrij Berdasarkan Status Hadits
Metode
ini sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadits berdasarkan statusnya,
seperti hadits-hadits qudsi, hadits-hadits yang sudah masyhur, hadits-hadits mursal,
dll. Kelebihan metode ini adalah dapat memudahkan proses takhrij, karena
sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan
sifat-sifat hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang
lebih rumit. Adapun kekurangan metode ini yaitu cakupannya sangat terbatas
karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat tersebut. Karya-karya yang
berkenaan dengan metode kelima
a. Kitab sekitar hadits-hadits mutawatir,
seperti: Al-Azhar al-Mutanatsirah Fi al-Akhbar al-Mutawatirah اَلْأَزْهَارُ
الُْمَتنَاثِرَةُ
ِفى
الَْأْخبَارِالُْمَتوَاتِرَِة
, karangan Imam Suyuthi.
b.
Kitab sekitar hadits-hadits qudsi, seperti:
1)
Al-Ittihafat as-Saniyyah Fi al-Ahadits al-Qudsiyyah ( اَلْإِ
ِتحَافَاتُ
ال
َسِني
َةُ
فىِ
)الَْأحَادِْيثِ
الْقُدِْسي
َِة
, karangan al-Madani.
2)
Al-Ahadits al-Qudsiyyah ( )الَْأحَادِْيثُ
الْقُدِْسي
َةُ
, dari lembaga Al-Qur’an dan Hadits Dewan Tertinggi Agama Islam.
c.
Kitab sekitar hadits-hadits terkenal, seperti:
1)
Al-Maqashid al-Hasanah Fi Bayan Katsir Min Ahadits al-Musytahirah ‘Ala
al-Alsinah ( (اَلَْمقَاصِدُ
الْحَسَنَةُ
فىِ
بَيَانِ
كَثِيْر مِنْ
َأَحاِديْثِ
الْمُشَْتهِرَةِ
عَلىَ
الْأَلْسِنَة
, karangan asSakhawi.
2)
Kasyf al-Khafa Wa Muzil al-Ilbas ‘Amma isytahara Min al-Ahadits ‘Ala
Alsinah
an-Nas ( , َكشْ
ُف
اْلخَفَا
َومُزِيُْل
الْإِْلبَاسِ
عَم
َا
اشَْتهَرَ
ِمنَ
الْأََحادِْي
ِث
عََلى
أَلِْسنَةِ
الن
َا
ِس
) karangan al-‘Ajluni.
d. Kitab sekitar hadits-hadits mursal,
seperti: Al-Marasil ( اَلْمَرَاِسيْلُ),
karangan Abu Daud.
e.
Kitab sekitar hadits-hadits maudhu’ (palsu), seperti:
1)
Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘An al-Akhbar asy-Syani’ah al-Maudhu’ah َتنْزِيُْه
الش
َِرْيعَةِ
الْمَرُْفْوعَِة
َعنِ
الْأَْخَباِر
ال
َش
ِنْيعَِة
الَْموْ
ُضْوعَةِ
, karangan Ibnu ‘Iraq.
2)
Al-La’ali al-Mashnu’ah Fi al-Ahadits al-Maudhu’ah ( اَل
َآلى
الْمَْصُنْوعَةُ
فِي
الَْأحَادِْيثِ
)الَْموْ
ُضْوعَِة
, karangan Suyuthi.
3)
Al-Mashnu’ Fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudhu’
( اَلْمَْصُنْوعُ فِي
َمعْرِفَةِ
اْلحَِديْ
ِث
الْمَْو
ُضْوعِ
), karangan al-Qari.
Setelah
itu, datanglah masa dimana seorang penuntut ilmu menjumpai sebuah hadis di
dalam kitab yang hanya menyebutkan petunjuk singkat terhadap sumber aslinya.
Orang itu tidak mengetahui cara memperoleh teks hadis dari sumber aslinya. Ini
terjadi karena keterbatasan ilmu mereka tentang cara penyusunan kitab yang
menjadi sumber hadis itu. Pun, ketika ia hendak menguatkan pembahasannya dengan
sebuah hadis, sedangkan ia tahu bahwa hadis itu terdapat di dalam
Shahih-Bukhari, Musnad Ahmad, atau Mustadrak al-Hakim, karena tidak mengetahui
sistematika penyusunannya. Hingga kini, sudah banyak ulama ahli hadis yang
telah menulis kitab tentang takhrij hadis. Jumlahnya puluhan, bahkan mungkin
ratusan judul. Beberapa nama kitab takhrij hadis yang populer sebagai berikut:
a. Kitab Takhriju Ahadisli Muhazzab, karya Abu Ishaq As-Syirazi, tulisan
Muhammad bin Musa al-Hazimi (-584 H). b. Kitab Takhriju Ahadits Mukhtasaril
Kabir, karya Ibn al-Hajib tulisan Ahmad bin Abdul Hadi al-Maqdisi (-774 H). c.
Kitab Nasbur-Rayah Li Ahaditsil Hidayah, karya al-Margigani, tulisan Abdullah
bin Yusuf Az-Zaila`I (-762 H). d. Kitab Takhrij Ahadisi Kassyaf, karya
al-jahiz, tulisan az-Zaila`I juga. e. Kitab Al-Badrul Munir Fi Takhrijil
Ahadisi Wal-Asari Waqi`Ati FisSyarhil Kabiri, karya Al-Rafa`I, tulisan Umar bin
Ali bin al-Mulqin (-804 H). f. Kitab Al-Mugni `An Hamlil Asfar Fil Asfar Fi
Takhriji Ma Fil Ihya` Minal Akhbar, tulisan Abdurrahman bin al-Husain al-iraqi
(-806 H). g. Kitab-kitab Takhrij Al-Turmudzi yang ditandainya dalam setiap
tulisan al-Hafidz al-iraqi juga. h. Kitab At-Talkhisul Khabir Fi Takhriji
Ahadis Syarhil Wajizil Kabir, kitab al-rifa`i, tulisan Ahmad bin Ali bin Hajar
al-Aqalani (852 H). [10]i.
Kitab Ad-Dirayah Fi-Takhriji Ahadisil Hidayah, tulisan al-Hafidz ibn Hajar
juga. j. Kitab Tuhfatu-Rawi Fi-Takhriji Ahadisil Baidhawi, tulisan Abdur-Rauf
al-Munawi.
Kesimpulan
Akhirnya,
dapat disimpulkan bahwa studi penelitian hadis merupakan suatu pekerjaan
intelektual yang menuntut pengetahuan yang luas, dan harus didukung oleh
referensi yang memadai. Hal ini karena penelitian hadis, seperti studi takhrij
al-hadis dan kritik sanad sangat terkait dengan disiplin studi-studi lain dan
memerlukan tingkat kesungguhan dan kecermatan yang tinggi. Selain itu, harus
ditopang oleh aspek kritisisme yang kuat dan cermat, baik dalam lingkup studi
historis maupun ideologis. Karena identik dengan ilmu kritik, antikemapanan dan
anti statisme, ilmu hadis akan senantiasa mengalami struktur ilmu yang bersifat
anomali dan akan terjadi suatu masa revolusi pemikiran seiring perubahan waktu
dan validitas metodologis. Dalam konteks ini, ilmu hadis diharapkan dapat
menjadi suatu paradigma bagi pengembangan dan sumber legitimasi bagi ilmuilmu
lain.
Daftar
Pustaka
Izzan, Ahmad. Studi Takhrij Hadis: Kajian
Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis. Tafakkur, 2012.
Kasumawati,
Devi. “TEORI COMMON LINK GHA JUYNBOLL: Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi.” AL-RISALAH
13, no. 2 (2017): 143–172.
Khamdana,
Zuhroini. “NILAI HADITS TENTANG LARANGAN BERBURUK SANGKA DALAM SUNAN
Al-TURMUDZI No. INDEKS 1995.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
Labala,
A. L. “Menggantikan Puasa Orang Yang Meninggal Dalam Perspektif Hadits.” PhD
Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Nasrullah,
Nasrullah. “Metodologi Kritik Hadis:(Studi Takhrij Al-Hadis Dan Kritik Sanad).”
HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
Nur,
Tajudin, and Debibik Nabilatul Fauziah. “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam
Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas
Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1,
no. 1 (2017).
Prasefya,
Eka. “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL
AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017.
Rayana,
Jagat. “Syarah Dan Kritik Dengan Metode Takhrij Hadits Tentang Meminta-Minta
Dan Implikasinya Terhadap Penanggulangan Mental Mengemis.” PhD Thesis, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, 2013.
Sopyan,
Ichsan. “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji:
Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2016.
Supriyono,
Heru, Ardhiyatama Nur Saputra, Endah Sudarmilah, and Ruswa Darsono. “Rancang
Bangun Aplikasi Pembelajaran Hadis Untuk Perangkat Mobile Berbasis Android.” Jurnal
Informatika (JIFO) 8, no. 2 (2014): 907–920.
[1] Eka Prasefya, “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN
RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM
KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,”
2017 hlm : 8-55.
[2] Ichsan Sopyan, “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm
al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima” (PhD
Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016) hlm : 6-16.
[3] Nasrullah Nasrullah, “Metodologi Kritik
Hadis:(Studi Takhrij Al-Hadis Dan Kritik Sanad),” HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika 4, no. 4 (2007)hlm : 403–416.
[4] Tajudin Nur and Debibik Nabilatul Fauziah,
“Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen
Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA),” Jurnal
Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017) hlm : 4-15.
[5] Zuhroini Khamdana, “NILAI HADITS TENTANG LARANGAN
BERBURUK SANGKA DALAM SUNAN Al-TURMUDZI No. INDEKS 1995” (PhD Thesis, UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2010) hlm : 15-43.
[6] A. L. Labala, “Menggantikan Puasa Orang Yang
Meninggal Dalam Perspektif Hadits” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2011) hlm : 5-40.
[7] Jagat Rayana, “Syarah Dan Kritik Dengan Metode
Takhrij Hadits Tentang Meminta-Minta Dan Implikasinya Terhadap Penanggulangan
Mental Mengemis” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013) hlm : 4-65.
[8] Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis: Kajian
Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis (Tafakkur, 2012)
hlm : 17-338.
[9] Devi Kasumawati, “TEORI COMMON LINK GHA JUYNBOLL:
Melacak Otoritas Sejarah Hadits Nabi,” AL-RISALAH 13, no. 2 (2017) hlm:
143–172.
[10] Heru Supriyono et al., “Rancang Bangun Aplikasi
Pembelajaran Hadis Untuk Perangkat Mobile Berbasis Android,” Jurnal
Informatika (JIFO) 8, no. 2 (2014) hlm : 907–920.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar