Selasa, 24 September 2019

Sejarah Hadis prakodifikasi,Hadis pada Rasul,sahabat,dan Tabi'in


Sejarah hadis prakodifikasi: hadis pada periode rasul,sahabat, dan tabi’in
Istana Baharuddin
1. Pendahuluan
      Sepeninggal Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W, berbagai problematika mendasar muncul di tengah-tengah komunitas Islam awal yang menuntut mereka turut adil dalam agenda penyelesaian kegelisahan umat Islam. Wacana kodifikasi Alquran yang diusulkan Umar bin Khattab memang sebuah tawaran solutif brilian yang terekam dalam sejarah Islam. proses kodifikasi Alqur’an berjalan mulus karena Alquran diabadikan dalam hafalan kuat dan naskah pribadi para sahabat. Selanjutnya, melalui pamrih Usman bin Affan, benih-benih konflik dalam tubuh umat Islam dapat terselesaikan dengan proyek penyatuan Alquran dalam sebuah mushaf yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Jika proses kodifikasi Alquran tidak menemukan begitu banyak kendala dalam pelaksanaannya, maka berbeda halnya dengan proses kodifikasi Hadis yang sebagian besarnya sangat tergantung pada kekuatan daya hafalan para sahabat dan merghilangkan peran budaya tulis-menulis untuk merekam segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad mulai dari ucapan, tindakan pernyataan maupun sifatnya- menurut sekian pendapat-. Perjalanan kodfikasi hadis menjadi kompleks, ruwet dan rumit karena perbedaan jarak waktu antara sumber hadis dan era kodifikasi resmi yang berabad adalah fakta tak terbantahkan. Dan lebih ironis lagi, ketika peristiwa pergulatan tarik ulur kebenaran absolut oleh sekte-sekte kalam telah menyatakan pendapat mereka dengan menaburkan propoganda palsu dengan membumbuhi sekian hadis tak berdasar yang dialamatkan pada Nabi. Dengan demikian, makna hadis dapat disimpulkan dan dipahami sebagaimana adanya dan menjadi sebuah pedoman dan sumber petunjuk kedua setelah Alquran. Dalam hal ini, fokus kajian penulis adalah potret sejarah perkembangan pembukuan hadis pra-kodifikasi dengan menguraikan terlebih dahulu hal-ihwal budaya tulis menulis Bangsa Arab Islam pra kodifikasi yang dimulai pada masa kenabian hingga pasca kenabian.
Budaya Tulis-Menulis Hadis pada Masa KeNabian
 Adalah sebuah fakta yang tidak dipungkiri bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta huruf. Pada fase awal keNabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang mengenal budaya tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis belum dikenal luas oleh masyarakat Medinah terkecuali sebagian kaum yahudi.[1] Nabi sangat menyadari urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda pembelajaran dan menuai hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebegai sekertaris yang bertugas mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk beberapa sahabat untuk mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan yang mengetahui surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi. Mesjid menjadi ikon pendidikan selain berfungsi sebagai tempat peribadatan. Usaha Nabi dalam memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya dalam melepaskan setiap tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak baca-tulis. Kemudian proses pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat di berbagai kota-kota Islam seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke pelbagai kota untuk mengajarkan ajaran Islam. Dari penjabaran singkat di atas adalah sebuah intermezzo pembelajaran baca-tulis  pada masa keNabian yang mengalami perkembangan signifikan-akan dijelaskan lebih lanjut pada bab-bab berikutnya- setelah lama terlilit dengan kegelapan buta huruf. Tulisan ini akan mencoba melacak kembali bagaimana sebenarnya bentuk-bentuk ‘pemikiran’ hadis, sejak awal keluar dari lisan dan amalan nabi Muhammad saw, kemudian menjadi tradisi, sunnah, dihimpun dalam catatan-catatan, lalu dibukukan, dan kemudian pada akhirnya dipatenkan menjadi “sumber tekstual” utama umat muslim dalam menjalani kehidupan di kurun waktu perkembangan Islam yang paling awal pemikiran hadis pada dua abad pertama masa perkembangan Islam dalam rangka membatasi dan memberi gambaran yang lebih detail. Dan di bagian akhir tulisan, penulis akan membahas juga salah satu kitab hadis yang terkemuka pada masa awal, yakni kitab al-Muwatta’.
 Ketika masih hidup, nabi Muhammad saw memiliki posisi yang sangat sentral dalam masyarakat muslim. Dia menjadi pemangku otoritas dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh umat. Para sahabat belajar memahami apa dan bagaimana itu dinul Islam secara menyeluruh melalui perkataan (qaul), perbuatan (fi’il)5 maupun persetujuan nabi. Peran sentral Rasulullah ini direkam dengan baik dalam satu perintah Quran yang menarik  QS. al-Hasyr/59:7 [2]
ُ  ع ْمُ اك َهَ ا ن َمَ و ُ وه ُذُخَ ف ُ ول ُسَّ الر ُمُ اكَتَ ا آ َمَو اَ هْن ف  وا ُهَتْن

Terjemahnya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”.

Mengenai pendekatan yang digunakan para orientalis, mengutip pendapat Sahiron Syamsuddin, ada tiga pendekatan yang diterapkan, yakni pendekatan historiskritis, deskriptif-sosioantropologis dan interpretatif penafsiran. Berdasarkan klasifikasi ini, John Burton termasuk kelompok pertama, yang mengkaji al-Qur‟an dengan melihat sumber-sumber otentik –hadis- terkait kodifikasi dan canonisasi alQur‟an, namun tetap kritis terhadap sumber-sumber tersebut. Bagi umat Muslim, sejarah al-Qur‟an khususnya pada tahap penulisan dan pengumpulannya, dimulai pada masa Nabi Muhammad. Pada masa ini setidaknya ada dua cara yang digunakan untuk menjaga al-Qur‟an –al-jam‟u-, menyimpannya ke dalam “dada-dada manusia” atau menghafalnya dan merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis[3]. Perihal pertama tidak sulit untuk dibuktikan, dalam riwayat-riwayat hadis dikemukakan banyak sahabat Nabi yang menghafal, belajar dan mengamalkanya. Setelah Nabi wafat, Abu Bakar sebagai penurusnya melanjutkan perjuangan Nabi. Dalam hal ini, berdasarkan banyaknya sahabat yang wafat, khususnya para qurra ketika perang Yamamah dan karena dorongan Umar bin Khattab, maka diperintahkanlah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur‟an untuk pertama kalinya, sebagaimana diterangkan dalam riwayat mayoritas yang beredar. Sementara itu, versi lain misalnya, merujuk pada nama Ali ibn Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al-Quran pada masa Nabi. Versi lainnya mengatakan bahwa Salim ibn Ma„qil adalah pengumpul pertama. Terlepas dari keragaman pendapat yang ada, umumnya umat Muslim mengacu pada Abu Bakar sebagai pengumpul pertama atau mengkompromikan dengan cara memilah pengumpulan pribadi dengan resmi sebagai kebijakan pemerintah 
Pada periode awal, perkembangan hadist dimulai pada masa Ashr al Wahy wa al Takwin, yakni masa wahyu turun dari Nabi Muhammad SAW, pada masa ini studi hadist masih berpusat pada Nabi Muhammad SAW, karena masa ini merupakan masa dimana Nabi SAW masih ada. Pada periode sahabat atau periode kedua. Menurut Imam Syuhudi, kreteria seorang sahabat adalah sebagai berikut: a. Adanya khabar mutawatir, seperti halnya para Khulafar ar-Rasyidin. b. Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham. c. Diakui sahabat yang terkenal kesahabatannya seperti Hammah adDausi yang diakui oleh nabi Musa alAsy’ari.  d. Adanya keterangan dari tabi’in yang tsiqah. e. Pengakuan sendiri dari orang yang adil. Konteks ini sangat representatif mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri. Karena pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran.[4] . Pengertian hadis menurut Khawârij tidak ditemukan secara pasti, tetapi dengan istiqrâ’ terhadap koleksi hadis Musnad al-Rabî‘ bin Habîb dan pembelaan sebagian tokoh Khawârij terhadapnya menunjukkan bahwa mereka mendefinisikan hadis nyaris serupa dengan Sunnî, sedangkan Sunnî dan Shî‘ah Imâmîyah berbeda dalam mendefinisikan hadis.  Menurut mayoritas sarjana hadis Sunnî, hadis adalah sinonim pengertian sunnah, khabar, dan athar. Menurut Nûr al-Dîn ‘Itr, hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat fisik atau moral, maupun sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau seorang tabiin.Sedangkan menurut Shî‘ah Imâmîyah, hadis adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan orang ma‘sûm. Seorang ma‘s  ûm di sini, menurut al-‘Âmilî, adalah Nabi dan para imam yang kepemimpinannya telah ditentukan oleh teks suci agama yaitu ‘Alî bin Abî Tâlib sebagai imam pertama dan Muhammad bin al-Hasan al-‘Askarî sebagai imam terakhir. Sedangkan kodifikasi secara etimologis berasal dari kata tadwîn. Ia merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwan yang memiliki banyak arti seperti merekam, mencatat, dan membukukan. Arti kata dawwan tergantung pada kata kedua yang disandingkan dengannya.[5]
Masa periode ketiga, masa ini merupakan  masa setelah Nabi wafat, pada masa ini para sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, sehingga informasi hadits hanya bisa diketahui melalui informasi sahabat. Atas hal tersebut, para sahabat pada masa ini mulai sadar untuk mengembangkan periwayatan hadis, bahkan para sahabat rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakan agama dan menyebarluaskan Islam.[6] Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia. [7] Pada tahun 1893 M. Hasyim Asy’ari kemudian melanjutkan pendidikan di Mekah selama 7 tahun di bawah bimbingan Syaikh Mahfudh dari Termas, ulama Indonesia yang pertama mengajar Shahih Bukhari di Mekkah8. Syaikh Mahfudh adalah seorang yang ahli dalam ilmu hadis, darinya Hasyim Asy’ari  mendapatkan ijazah mengajar Shahih Bukhari yang merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima ( sanad ) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. Syaikh Mahfudh juga membuat Hasyim Asy’ari sangat tertarik dengan ilmu ini sehingga setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan pesantren yang terkenal dalam pengajaran hadis. Hasyim Asy’ari juga belajar tarekat Qadariyah dan Naqsabandiyah, ilmu yang diterima dari Syaikh Mahfudh dan Nawawi. [8] Perkembangan Islam di Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan wajah beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh ormas Islam dan memunculkan banyak nama seperti: Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrim, Islam militan, dan sebagainya (Geertz,1960:27). Momentum menarik terjadi ketika runtuhnya Orde Baru dengan menjamurnya gerakan Islam garis keras, militan, radikal, dan fundamental. Kemunculan kelompok ini di panggung nasional sebenarnya sudah diawali sejak berubahnya kebijakan negara pada dasawarsa 1980-an, dari peminggiran Islam ke akomodasi Islam. Baru pada era keterbukaan dan kebebasan politik, pergerakan Islam menunjukkan wataknya yang lama tenggelam dalam rezim Orde Baru. Tren Islam yang mengemuka pasca Orde Baru adalah lahirnya Islam radikal, yang diwakili sejumlah ormas Islam, seperti Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin menyusul ormas Islam sebelumnya seperti KISDI. Karakteristik kelompok ini lebih didasarkan pada corak keragaman yang bersifat integralistik antara Islam dan negara, sehingga kelompok ini mengedepankan corak legalformal Islam secara total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya syariat Islam di negara Indonesia. [9] Hadist tentang fitrah manusia terdapat dalam kitab-kitab hadist yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang masyhur antara lain terdapat pada kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, al-Muwatha’ Imam Malik, Sunan Darimi. Pada kenyataannya seluruh matan hadist yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanad-nya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat[10]. Oleh karenanya, penelitian terhadap matan juga diperlukan. Keperluan tersbut tidak hanya karena keterkaitannya dengan sanad, tetapi juga karena adanya periwayatan hadist secara makna.



         

Kesimpulan

Sepanjang sejarahnya hadis tidak bisa dilepaskan dari persaingan ideologi dan politik umat Islam pada masa sebelum, pada saat, dan sesudah masa kodifikasi hadis. Sumber periwayatan, misalnya, terlihat pada fakta bahwa setiap aliran lebih menerima riwayat mereka yang seideologi. Pada gilirannya, sumber periwayatan ini memengaruhi definisi hadis, kriteria kesahihan, dan koleksi hadis di kalangan mereka, yang memengaruhi perbedaan keberagamaan umat Islam selama berabad-abad hingga sekarang. Fakta ini menunjukkan ideologi dan politik umat Islam memengaruhi keberagamaan mereka, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh positifnya terwujud dalam kekayaan literatur keislaman, terutama literatur hadis; setiap aliran berlomba-lomba menulis karya intelektual dalam perspektif masing-masing. Sedangkan pengaruh negatifnya terwujud dalam pertikaian ideologis dan politis berkepanjangan atas nama agama.  Dengan demikian, ideologi dan politik umat Islam awal bertanggung jawab atas perbedaan ini. Sejatinya ideologi dan politik ini bermuara dari ‘as } abîyah Arab pra-Islam yang mati suri pada masa kenabian dan kembali mencuat ke permukaan pasca Nabi wafat. Bahkan efeknya masih terasa hingga sekarang. Upaya mencari titik temu intersektarian oleh sejumlah sarjana yang sedang berlangsung guna meredam pertikaian dan menyatukan persepsi perlu diapresasi dan dikembangkan. Sehingga persatuan umat Islam sebagai cita-cita dan perjuangan religiopolitik Nabi kembali menjadi kenyataan, sebagaimana pada masa kenabian.











DAFTAR PUSTAKA

Janah, Miftahul. “Kodifikasi Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Burton.” At-Ta’wil 1, no. 01 (2019): 1–12.
Maulana, Luthfi. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital).” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1 (2016): 111–123.
Pransiska, Toni. “Konsepsi Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Kontemporer.” Jurnal Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran 17, no. 1 (2016): 1–17.
Putra, Afriadi. “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis Di Indonesia.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016): 46–55.
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi.” Jurnal Living Hadis 1, no. 1 (2016): 177–196.
Rosyid, Asyhad Abdillah. “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS,” n.d.
Wahid, Muhammad Abduh. “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI.” Jurnal TAHDIS 6, no. 1 (2019).
Yusran, Yusran. “KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA TERBITNYA KITAB AL-MUWATTHA’.” Jurnal TAHDIS 8, no. 2 (2019).
Zamzami, Mohammad Subhan. “Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis.” Religió: Jurnal Studi Agama-Agama 3, no. 1 (2013).
Zukhdi, Muhammad. “DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi Terhadap Pengamalan Madzhab Di Aceh).” Jurnal Ilmiah Islam Futura 17, no. 1 (2017): 121–149.



[1] Muhammad Abduh Wahid, “MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI,” Jurnal TAHDIS 6, no. 1 (2019).
[2] Yusran Yusran, “KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA TERBITNYA KITAB AL-MUWATTHA’,” Jurnal TAHDIS 8, no. 2 (2019).
[3] Miftahul Janah, “Kodifikasi Al-Qur’an: Studi Atas Pemikiran John Burton,” At-Ta’wil 1, no. 01 (2019) hal.1–12.
[4] Asyhad Abdillah Rosyid, “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS,” n.d.
[5] Mohammad Subhan Zamzami, “Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis,” Religió: Jurnal Studi Agama-Agama 3, no. 1 (2013).
[6] Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital),” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1 (2016)hal.111–123.
[7] Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” Jurnal Living Hadis 1, no. 1 (2016)hal 177–196.
[8] Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis Di Indonesia,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016)hal. 46–55.
[9] Muhammad Zukhdi, “DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi Terhadap Pengamalan Madzhab Di Aceh),” Jurnal Ilmiah Islam Futura 17, no. 1 (2017)hal.121–149.
[10] Toni Pransiska, “Konsepsi Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Kontemporer,” Jurnal Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran 17, no. 1 (2016)hal. 1–17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar