Sejarah
hadis prakodifikasi: hadis pada periode rasul,sahabat, dan tabi’in
Istana Baharuddin |
1.
Pendahuluan
Sepeninggal Nabi Muhammad Rasulullah S.A.W,
berbagai problematika mendasar muncul di tengah-tengah komunitas Islam awal yang
menuntut mereka turut adil dalam agenda penyelesaian kegelisahan umat Islam.
Wacana kodifikasi Alquran yang diusulkan Umar bin Khattab memang sebuah tawaran
solutif brilian yang terekam dalam sejarah Islam. proses kodifikasi Alqur’an
berjalan mulus karena Alquran diabadikan dalam hafalan kuat dan naskah pribadi
para sahabat. Selanjutnya, melalui pamrih Usman bin Affan, benih-benih konflik
dalam tubuh umat Islam dapat terselesaikan dengan proyek penyatuan Alquran
dalam sebuah mushaf yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Jika proses kodifikasi
Alquran tidak menemukan begitu banyak kendala dalam pelaksanaannya, maka
berbeda halnya dengan proses kodifikasi Hadis yang sebagian besarnya sangat
tergantung pada kekuatan daya hafalan para sahabat dan merghilangkan peran
budaya tulis-menulis untuk merekam segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad mulai dari ucapan, tindakan pernyataan maupun sifatnya- menurut sekian
pendapat-. Perjalanan kodfikasi hadis menjadi kompleks, ruwet dan rumit karena
perbedaan jarak waktu antara sumber hadis dan era kodifikasi resmi yang berabad
adalah fakta tak terbantahkan. Dan lebih ironis lagi, ketika peristiwa
pergulatan tarik ulur kebenaran absolut oleh sekte-sekte kalam telah menyatakan
pendapat mereka dengan menaburkan propoganda palsu dengan membumbuhi sekian
hadis tak berdasar yang dialamatkan pada Nabi. Dengan demikian, makna hadis
dapat disimpulkan dan dipahami sebagaimana adanya dan menjadi sebuah pedoman
dan sumber petunjuk kedua setelah Alquran. Dalam hal ini, fokus kajian penulis
adalah potret sejarah perkembangan pembukuan hadis pra-kodifikasi dengan
menguraikan terlebih dahulu hal-ihwal budaya tulis menulis Bangsa Arab Islam pra
kodifikasi yang dimulai pada masa kenabian hingga pasca kenabian.
Budaya
Tulis-Menulis Hadis pada Masa KeNabian
Adalah sebuah fakta yang tidak dipungkiri
bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta huruf. Pada fase awal
keNabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang mengenal budaya
tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis belum dikenal luas
oleh masyarakat Medinah terkecuali sebagian kaum yahudi.[1]
Nabi sangat menyadari urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda
pembelajaran dan menuai hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebegai
sekertaris yang bertugas mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk
beberapa sahabat untuk mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan yang
mengetahui surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi. Mesjid menjadi ikon
pendidikan selain berfungsi sebagai tempat peribadatan. Usaha Nabi dalam
memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya dalam melepaskan setiap
tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak baca-tulis. Kemudian proses
pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat di berbagai kota-kota Islam
seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke pelbagai kota untuk mengajarkan
ajaran Islam. Dari penjabaran singkat di atas adalah sebuah intermezzo
pembelajaran baca-tulis pada masa
keNabian yang mengalami perkembangan signifikan-akan dijelaskan lebih lanjut
pada bab-bab berikutnya- setelah lama terlilit dengan kegelapan buta huruf. Tulisan
ini akan mencoba melacak kembali bagaimana sebenarnya bentuk-bentuk ‘pemikiran’
hadis, sejak awal keluar dari lisan dan amalan nabi Muhammad saw, kemudian
menjadi tradisi, sunnah, dihimpun dalam catatan-catatan, lalu dibukukan, dan
kemudian pada akhirnya dipatenkan menjadi “sumber tekstual” utama umat muslim
dalam menjalani kehidupan di kurun waktu perkembangan Islam yang paling awal pemikiran
hadis pada dua abad pertama masa perkembangan Islam dalam rangka membatasi dan
memberi gambaran yang lebih detail. Dan di bagian akhir tulisan, penulis akan
membahas juga salah satu kitab hadis yang terkemuka pada masa awal, yakni kitab
al-Muwatta’.
Ketika masih hidup, nabi Muhammad saw memiliki
posisi yang sangat sentral dalam masyarakat muslim. Dia menjadi pemangku
otoritas dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh umat. Para sahabat belajar
memahami apa dan bagaimana itu dinul Islam secara menyeluruh melalui perkataan
(qaul), perbuatan (fi’il)5 maupun persetujuan nabi. Peran sentral Rasulullah
ini direkam dengan baik dalam satu perintah Quran yang menarik QS. al-Hasyr/59:7 [2]
ُ ع ْمُ اك َهَ ا ن َمَ و ُ وه ُذُخَ ف ُ ول ُسَّ
الر ُمُ اكَتَ ا آ َمَو اَ هْن ف وا ُهَتْن
Terjemahnya: Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”.
Mengenai
pendekatan yang digunakan para orientalis, mengutip pendapat Sahiron
Syamsuddin, ada tiga pendekatan yang diterapkan, yakni pendekatan
historiskritis, deskriptif-sosioantropologis dan interpretatif penafsiran.
Berdasarkan klasifikasi ini, John Burton termasuk kelompok pertama, yang
mengkaji al-Qur‟an dengan melihat sumber-sumber otentik –hadis- terkait
kodifikasi dan canonisasi alQur‟an, namun tetap kritis terhadap sumber-sumber
tersebut. Bagi umat Muslim, sejarah al-Qur‟an khususnya pada tahap penulisan
dan pengumpulannya, dimulai pada masa Nabi Muhammad. Pada masa ini setidaknya
ada dua cara yang digunakan untuk menjaga al-Qur‟an –al-jam‟u-, menyimpannya ke
dalam “dada-dada manusia” atau menghafalnya dan merekamnya secara tertulis di
atas berbagai jenis bahan untuk menulis[3].
Perihal pertama tidak sulit untuk dibuktikan, dalam riwayat-riwayat hadis
dikemukakan banyak sahabat Nabi yang menghafal, belajar dan mengamalkanya.
Setelah
Nabi wafat, Abu Bakar sebagai penurusnya melanjutkan perjuangan Nabi. Dalam hal
ini, berdasarkan banyaknya sahabat yang wafat, khususnya para qurra ketika
perang Yamamah dan karena dorongan Umar bin Khattab, maka diperintahkanlah Zaid
bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur‟an untuk pertama kalinya, sebagaimana
diterangkan dalam riwayat mayoritas yang beredar. Sementara itu, versi lain
misalnya, merujuk pada nama Ali ibn Abi Thalib sebagai pengumpul pertama
al-Quran pada masa Nabi. Versi lainnya mengatakan bahwa Salim ibn Ma„qil adalah
pengumpul pertama. Terlepas dari keragaman pendapat yang ada, umumnya umat
Muslim mengacu pada Abu Bakar sebagai pengumpul pertama atau mengkompromikan
dengan cara memilah pengumpulan pribadi dengan resmi sebagai kebijakan
pemerintah
Pada
periode awal, perkembangan hadist dimulai pada masa Ashr al Wahy wa al Takwin,
yakni masa wahyu turun dari Nabi Muhammad SAW, pada masa ini studi hadist masih
berpusat pada Nabi Muhammad SAW, karena masa ini merupakan masa dimana Nabi SAW
masih ada. Pada periode sahabat atau periode kedua. Menurut Imam Syuhudi, kreteria
seorang sahabat adalah sebagai berikut: a. Adanya khabar mutawatir, seperti
halnya para Khulafar ar-Rasyidin. b. Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin
Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham. c. Diakui sahabat yang terkenal
kesahabatannya seperti Hammah adDausi yang diakui oleh nabi Musa
alAsy’ari. d. Adanya keterangan dari
tabi’in yang tsiqah. e. Pengakuan sendiri dari orang yang adil. Konteks ini
sangat representatif mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri. Karena
pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
dan penyebaran al-Quran.[4] . Pengertian
hadis menurut Khawârij tidak ditemukan secara pasti, tetapi dengan istiqrâ’
terhadap koleksi hadis Musnad al-Rabî‘ bin Habîb dan pembelaan sebagian
tokoh Khawârij terhadapnya menunjukkan bahwa mereka mendefinisikan hadis nyaris
serupa dengan Sunnî, sedangkan Sunnî dan Shî‘ah Imâmîyah berbeda dalam
mendefinisikan hadis. Menurut mayoritas
sarjana hadis Sunnî, hadis adalah sinonim pengertian sunnah, khabar, dan athar.
Menurut Nûr al-Dîn ‘Itr, hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat fisik atau moral, maupun sesuatu
yang disandarkan kepada seorang sahabat atau seorang tabiin.Sedangkan menurut
Shî‘ah Imâmîyah, hadis adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan orang ma‘sûm. Seorang ma‘s ûm di sini, menurut al-‘Âmilî, adalah Nabi dan para imam
yang kepemimpinannya telah ditentukan oleh teks suci agama yaitu ‘Alî bin Abî
Tâlib sebagai imam pertama dan Muhammad bin al-Hasan al-‘Askarî sebagai imam
terakhir. Sedangkan kodifikasi secara etimologis berasal dari kata tadwîn. Ia
merupakan bentuk masdar dari kata kerja dawwan yang memiliki banyak arti
seperti merekam, mencatat, dan membukukan. Arti kata dawwan tergantung pada
kata kedua yang disandingkan dengannya.[5]
Masa
periode ketiga, masa ini merupakan masa
setelah Nabi wafat, pada masa ini para sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda
Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang
pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, sehingga informasi hadits hanya bisa
diketahui melalui informasi sahabat. Atas hal tersebut, para sahabat pada masa
ini mulai sadar untuk mengembangkan periwayatan hadis, bahkan para sahabat rela
mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakan agama dan menyebarluaskan Islam.[6] Pada
masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis,
terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum
mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat
minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus
yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat
yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan
Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan
meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta
penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan
kehidupan manusia. [7]
Pada tahun 1893 M. Hasyim Asy’ari kemudian melanjutkan pendidikan di Mekah
selama 7 tahun di bawah bimbingan Syaikh Mahfudh dari Termas, ulama Indonesia
yang pertama mengajar Shahih Bukhari di Mekkah8. Syaikh Mahfudh adalah seorang
yang ahli dalam ilmu hadis, darinya Hasyim Asy’ari mendapatkan ijazah mengajar Shahih Bukhari
yang merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima ( sanad ) hadis dari 23
generasi penerima karya ini. Syaikh Mahfudh juga membuat Hasyim Asy’ari sangat
tertarik dengan ilmu ini sehingga setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan
pesantren yang terkenal dalam pengajaran hadis. Hasyim Asy’ari juga belajar
tarekat Qadariyah dan Naqsabandiyah, ilmu yang diterima dari Syaikh Mahfudh dan
Nawawi. [8] Perkembangan
Islam di Indonesia sangat kaya dengan polarisasi. Sejak zaman pra-kemerdekaan,
Islam sudah menunjukkan wajah beraneka ragam, yang direpresentasikan oleh ormas
Islam dan memunculkan banyak nama seperti: Islam tradisionalis, Islam modernis,
Islam abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam
literal, Islam ekstrim, Islam militan, dan sebagainya (Geertz,1960:27).
Momentum menarik terjadi ketika runtuhnya Orde Baru dengan menjamurnya gerakan
Islam garis keras, militan, radikal, dan fundamental. Kemunculan kelompok ini
di panggung nasional sebenarnya sudah diawali sejak berubahnya kebijakan negara
pada dasawarsa 1980-an, dari peminggiran Islam ke akomodasi Islam. Baru pada
era keterbukaan dan kebebasan politik, pergerakan Islam menunjukkan wataknya
yang lama tenggelam dalam rezim Orde Baru. Tren Islam yang mengemuka pasca Orde
Baru adalah lahirnya Islam radikal, yang diwakili sejumlah ormas Islam, seperti
Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah), Forum Pembela Islam
(FPI), Majelis Mujahidin menyusul ormas Islam sebelumnya seperti KISDI.
Karakteristik kelompok ini lebih didasarkan pada corak keragaman yang bersifat
integralistik antara Islam dan negara, sehingga kelompok ini mengedepankan
corak legalformal Islam secara total. Isu utama yang diusung adalah tegaknya
syariat Islam di negara Indonesia. [9] Hadist
tentang fitrah manusia terdapat dalam kitab-kitab hadist yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang masyhur antara lain terdapat pada kitab Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Musnad
Ahmad, al-Muwatha’ Imam Malik, Sunan Darimi. Pada
kenyataannya seluruh matan hadist yang sampai ke tangan kita berkaitan erat
dengan sanad-nya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian
secara cermat[10].
Oleh karenanya, penelitian terhadap matan juga diperlukan. Keperluan tersbut
tidak hanya karena keterkaitannya dengan sanad, tetapi juga karena adanya
periwayatan hadist secara makna.
Kesimpulan
Sepanjang sejarahnya
hadis tidak bisa dilepaskan dari persaingan ideologi dan politik umat Islam
pada masa sebelum, pada saat, dan sesudah masa kodifikasi hadis. Sumber
periwayatan, misalnya, terlihat pada fakta bahwa setiap aliran lebih menerima
riwayat mereka yang seideologi. Pada gilirannya, sumber periwayatan ini
memengaruhi definisi hadis, kriteria kesahihan, dan koleksi hadis di kalangan
mereka, yang memengaruhi perbedaan keberagamaan umat Islam selama berabad-abad
hingga sekarang. Fakta ini menunjukkan ideologi dan politik umat Islam
memengaruhi keberagamaan mereka, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Pengaruh positifnya terwujud dalam kekayaan literatur keislaman, terutama
literatur hadis; setiap aliran berlomba-lomba menulis karya intelektual dalam
perspektif masing-masing. Sedangkan pengaruh negatifnya terwujud dalam
pertikaian ideologis dan politis berkepanjangan atas nama agama. Dengan demikian, ideologi dan politik umat
Islam awal bertanggung jawab atas perbedaan ini. Sejatinya ideologi dan politik
ini bermuara dari ‘as } abîyah Arab pra-Islam yang mati suri pada masa kenabian
dan kembali mencuat ke permukaan pasca Nabi wafat. Bahkan efeknya masih terasa
hingga sekarang. Upaya mencari titik temu intersektarian oleh sejumlah sarjana
yang sedang berlangsung guna meredam pertikaian dan menyatukan persepsi perlu
diapresasi dan dikembangkan. Sehingga persatuan umat Islam sebagai cita-cita
dan perjuangan religiopolitik Nabi kembali menjadi kenyataan, sebagaimana pada
masa kenabian.
DAFTAR PUSTAKA
Janah, Miftahul. “Kodifikasi Al-Qur’an: Studi Atas
Pemikiran John Burton.” At-Ta’wil 1, no. 01 (2019): 1–12.
Maulana, Luthfi.
“Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga
Berbasis Digital).” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1
(2016): 111–123.
Pransiska, Toni.
“Konsepsi Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Islam Kontemporer.” Jurnal Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah
Pendidikan Dan Pengajaran 17, no. 1 (2016): 1–17.
Putra, Afriadi. “Pemikiran
Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis Di
Indonesia.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1
(2016): 46–55.
Qudsy, Saifuddin Zuhri.
“Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi.” Jurnal Living Hadis 1, no.
1 (2016): 177–196.
Rosyid, Asyhad
Abdillah. “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS,” n.d.
Wahid, Muhammad Abduh.
“MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI.” Jurnal TAHDIS 6,
no. 1 (2019).
Yusran, Yusran.
“KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA TERBITNYA KITAB AL-MUWATTHA’.” Jurnal
TAHDIS 8, no. 2 (2019).
Zamzami, Mohammad
Subhan. “Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis.” Religió:
Jurnal Studi Agama-Agama 3, no. 1 (2013).
Zukhdi, Muhammad.
“DINAMIKA PERBEDAAN MADZHAB DALAM ISLAM (Studi Terhadap Pengamalan Madzhab Di
Aceh).” Jurnal Ilmiah Islam Futura 17, no. 1 (2017): 121–149.
[1] Muhammad Abduh Wahid, “MELACAK AKAR
KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI,” Jurnal TAHDIS 6, no. 1 (2019).
[2] Yusran Yusran, “KODIFIKASI HADIS SEJAK
MASA AWAL ISLAM HINGGA TERBITNYA KITAB AL-MUWATTHA’,” Jurnal TAHDIS 8,
no. 2 (2019).
[3] Miftahul Janah, “Kodifikasi Al-Qur’an:
Studi Atas Pemikiran John Burton,” At-Ta’wil 1, no. 01 (2019) hal.1–12.
[4] Asyhad Abdillah Rosyid, “PERIODESASI
PERKEMBANGAN STUDI HADITS,” n.d.
[5] Mohammad Subhan Zamzami, “Ideologi Dan
Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis,” Religió: Jurnal Studi
Agama-Agama 3, no. 1 (2013).
[6] Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan
Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital),” ESENSIA:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no. 1 (2016)hal.111–123.
[7] Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis:
Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” Jurnal Living Hadis 1, no. 1 (2016)hal
177–196.
[8] Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M.
Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis Di Indonesia,” Wawasan:
Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016)hal. 46–55.
[9] Muhammad Zukhdi, “DINAMIKA PERBEDAAN
MADZHAB DALAM ISLAM (Studi Terhadap Pengamalan Madzhab Di Aceh),” Jurnal
Ilmiah Islam Futura 17, no. 1 (2017)hal.121–149.
[10] Toni Pransiska, “Konsepsi Fitrah Manusia
Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Kontemporer,” Jurnal
Ilmiah Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran 17, no. 1
(2016)hal. 1–17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar