Selasa, 22 Oktober 2019

Ilmu Al-Jarh wa Ta'dil


Ilmu al-jarh wa ta’dil : Pengertian, Objek dan pembahasan dan lafaz-lafaz serta maratib al-jarh wan ta’dil
   
Istiqomah
A. 
Pendahuluan
Sikap kritis terhadap berita merupakan pijakan utama sebagai modal untuk meneliti dan mencari keterangan kepada pembawa kabar tersebut. Ketelitian ini tidak hanya berlaku pada tradisi ilmiah tetapi juga sejak awak pembentukan Islam, al-Qur’an telah memberikan tuntunan untuk merefleksikannya di dalam setiap menerima berita.1 Upaya mengkritisi ini dalam rangka menjaga keorisinalan berita tersebut, lebih-lebih berasal dari Nabi  Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik untuk penetapan suatu pengerahuan maupun pengambilan suatu  dalil. Periwayatan hadits dimulai sejak masa Nabi  Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pertumbuhannya lebih pesat pada era dua ratus tahun setelah Hijrah.2 Pada masa ini telah terjadi pula pemalsuan hadits yang dimulai jauh di masa sebelumnya yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan politis yang dangkal didorong oleh pengaruh sektarian. Kaum zindiq (orang yang bertujuan menghancurkan Islam dari dalam dengan berusaha masuk Islam) berperan pula di dalam memalsukan hadits dengan tujuan merusak ajaran Islam, keadan ini berlangsung sejak terjadinya fitnah pada kaum muslimin (al-fitan al-kubra). Peristiwa itu terjadi pada akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan dengan terbunuhnya beliau, menyusul perseteruan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah yang mengakibatkan terbunuhnya Husein bin Ali di padang Karbala. Beberapa kelompok penyeleweng kemudian muncul, dan para ahli bid‘ah-pun membuat-buat sanad sekehendak mereka untuk menyandarkan sejumlah teks yang mereka pegangi untuk membela bid‘ahnya. Kemudian mereka membuat hadits-hadits yang tidak pernah diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga periode ini dikenal dengan awal munculnya pemalsuan  hadits. Ada beberapa faktor penyebab munculnya pemalsuan hadits di antaranya ialah adanya pertentangan politik yang mengakibatkan terpecahnya umat Islam, yakni pada masa Ali bin Abi Thalib dengan seterunya Muawiyyah sebagaimana terungkap di atas. Kelompok Ali mendatangkan hadits menurut versi mereka masing-masing, demikian pula kelompok Muawiyyah juga melakukan hal serupa untuk melakukan perlawanan terhadap hadits-hadits yang mendiskreditkan Muawiyyah, selain itu juga mereka mengangkatnya sebagai orang yang mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama.
1.   Pengertian
Menurut bahasa, al-jarh  merupakan bentuk jadian dari kata jaraha–yajrahu  yang berati “melukai”, sehingga kata benda al-jarh  berarti luka. Makna aslinya berkisar pada keinginan menyelamatkan sesuatu. Artinya ia membuat luka dengan tujuan menyelamatkan sesuatu. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik atau non fisik. Kata jaraha bila dipakai seorang hakim pengadilan yang ditujukan pada masalah kesaksian, maka kata tersebut memiliki arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh, sebagaimana Muhammad Ajjâj Khatîb memberi batasan sebagai berikut :
 Munculnya suatu sifat dalam diri periwayat yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur atau lemah dan tertolak riwayatnya.”  [1]Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh  dan at-tajrîh, sedangkan sebagian lain membedakannya, demikian keterangan dari as-Sakhawi dalam kitab “Fath al-Mughîts”. Lebih lanjut beliau menjelaskan, mereka yang membedakan penggunaan kedua kata tersebut berargumen, kata al-jarh  berkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, karena cela itu telah tampak dengan sendirinya tanpa adanya upaya pencarian. Sedangkan kata at-tajrîh berkonotasi pada upaya aktif untuk menyelidiki dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Adapun kata al-‘adl, merupakan masdar dari kata kerja ‘adala yang berarti lurus, istiqâmah dan tegak, condong kepada kebenaran (al-mail ila al-haq).6 Orang adil disebut al-‘âdil, kata jamaknya al-‘udul. Berangkat dari definisi ini, ahli hadits membuat kriteria periwayat yang adil meliputi seorang; muslim, baligh (dewasa), berakal, bebas dari sebab-sebab kefasikan, dan menjaga harga diri (muru’ah).
Dalam bentuk lain, kata at-ta‘dil secara bahasa berasal dari kata ‘addala – yu‘addilu artinya mengemukakan sifatsifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah  ialah: “Mensifati periwayat dengan sifat-sifat yang baik, sehingga tampak jelas keadilannya, dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima”. Berdasarkan batasan kata perkata dari kata al-jarh wa atta‘dîldi atas, maka definisi ilmu al-jarh wa at-ta‘dîlsebagaimana dikemukakan oleh Ajjâj Khatîb ialah : Kedua batasan di atas sebenarnya tidak berbeda dalam makna, tetapi antara yang satu dengan lainnya hanya berbeda dalam ungkapan kalimat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu al-jarh wa at-ta‘dîl adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang pribadi periwayat hadits dari segi keutuhan kepribadiannya, mereka diteliti secara seksama dari semua aspek jati dirinya sehingga dapat diketahui dan dibedakan antara periwayat yang memenuhi syarat diterima beritanya dengan yang tidak memenuhi kriteria atau syarat tersebut.
2.   Objek Pembahasan
Penelitian hadis Nabi sangatlah  diharus karena ia sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Maka salah satu upaya dalam pendekatan ilmu hadis adalah ilmu al-jarh wa ta‘dīl suatu pendekatan telaah tentang para perawi hadis. Tetapi pendekatan ilmu tersebut lebih mengacu kepada telaah tentang perbedaan pendapat ulama al-jarh wa ta‘dīl dalam menilai para perawi hadis. Dalam penelitian ini mefokuskan kepada tema hadis yang maknanya menerangkan “bahwaNabi Muhammad SAW, adalah pendidik dan metode nabi ketika mentrasfer ilmu kepada umat Islam”. Berdasarkan begitu pentingnya kedudukan ilmu al-jarh wa ta‘dīl dalam kajian ilmu hadis, peneliti tertarik untuk menelaah secara mendalam dan mengaktualisasikan krediblitas para perawi hadisnya.[2]
Karena subjek studi ini, berkisar pada ilmu al-jarh wa al- ta’dīl suatu ilmu keislaman yang melewati proses masa yang panjang, sejak dari masa kenabian sehingga abad ketiga dan keempat, kemudian melahirkan kaidah-kaidah teoritis  dalam ilmu al-jarh wa al- ta’dīl  yang dihasilkan dari usaha para ulama kritikus hadis dalam rangka mengungkap kredibilitas para perawi hadis. Maka metode yang pertama-tama diambil dalam langkah pengumpulan data adalah  metode histori. Metode ini sangat berguna untuk merekonstruksi jejak peninggalan ulama hadis. Kajian metode historis dalam penelitian ini, lebih tepatnya memilih tipe metodologi integratif-interkonektif  yang menggabungkan antara sejarah dan ilmu ke-islaman, keduanya saling berperan memberikan wawasan untuk memperkaya dalam usaha menemukan sebuah  objek, gejala atau permasalahan yang kemudian dianalisis khususnya pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ulama kritikus hadis  dalam ilmu al-jarh wa al- ta’dīl. Notosusanto (1971:17) mengemukakan tahapan-tahapan dalam penerapan metode historis itu dengan tahapan sebagai berikut:
 a. Heuristik, yakni menghimpun jejak-jejak masa lampau.
b. Kritik (sejarah), yakni menyelidiki apakah jejak itu sejati baik bentuk maupun isinya.
 c. Interpretasi, yakni menetapkan makna dan saling berhubungan dari fakta yang diperoleh sejarah itu.
 d. Penyajian, yakni menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk kisah. Nourouzzaman Shiddiqi, mengemukan dengan istilah metode filsafat sejarah (philosophical History), yakni pengkajian penelaahan peristiwa-peristiwa sejarah dengan mempertimbangkan kebenaran dan kepalsuannya. Maka diharap di dalam menginterpretasikan peristiwa-peristiwa sejarah itu haruslah menggunakan metode-metode sintetis, yaitu dengan menggunakan pendekatan pada multipe approach[3]. Jadi jika hendak menafsirkan sesuatu peristiwa yang terjadi pada masyarakat lampau haruslah ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek agama, politik, ekonomi, sosial budaya, idologi, geografis, dan sebagainya dengan serentak dan terpadu yang meliputi seluruh lapangan hidup manusia. Dengan demikian, maka akan mendapatkan satu kesimpulan yang objektif karena didasari pada analisa latar belakang peristiwa yang objektif pula. Dalam bahasa Arab, sejarah dikenal dengan istilah tarikh (tanggal/sejarah). Al-Jauhari menjelaskan bahwa kata tarikh (tanggal/sejarah) dari sudut pandang etimologi bermakna mengidentifikasi waktu. Kata ini sama seperti kata taurikh, karena keduanya berasal dari perpaduan pola al-rakha dan warrakha. Sedangkan menurut versi al-‘Ashmai, kedua kata itu berbeda lahjah-nya (logat), karena kata taurikh merupakan lahjah yang digunakan oleh Bani Tamim yang berasal dari kata warrakha dan maknanya membubuhi tanggal. Sementara kata tarikh  meskipun memiliki makna yang serupa, namun kata ini berasal dari kata al-rakha yang lahjah-nya digunakan oleh Bani Qais. Adapun jika dilihat dari segi terminologi, maka banyak sekali makna yang didefenisikan oleh para ilmuwan, baik dari kalangan muslim atau non muslim. Namun, orang yang pertama yang memberi makna tarikh dengan sempurna adalah Ibnu Khaldun (tahun 808 H.). Dia mengatakan bahwa makna eksternal (lebih umum dari kata tarikh ini mencakup kisah tentang hari-hari yang telah lalu atau negeri-negeri terdahulu.  [4]Apapun yang terjadi pada masa lalu dan masih diperbincangkan atau dijadikan sebagai pedoman untuk masa kini, maka masuk dalam kategori makna eksternal ini. Sedangkan untuk makna internal (lebih mendalam), tarikh adalah pencarian, pengamatan dan penelitian tentang sebab akibat segala sesuatu yang mencakup seluruh makhluk hidup dari awal mula mereka diciptakan, untuk diketahui secara seksama tentang kejadian yang sebenarnya dan apa saja yang menjadi penyebabnya.
Al-Sarkhawi (w. 902 H.) dalam al-Thabari juga mendefenisikan kata tarikh ini secara terminologi. Dia mengatakan tarikh adalah mencari tahu tentang waktu yang mengaitkan waktu tersebut dengan suatu kejadian, baik itu waktu kelahiran seorang ulama atau waktu kematiannya, kesehatannya, kondisi akalnya, kondisi tubuhnya, perjalanannya, hajinya, daya hapalnya, ketepatan riwayatnya, penyampaiannya, periwayatannya dan hal-hal lain yang terkait. Defenisi lain juga disampaikan oleh al-Kafiji. [5]Dia mengatakan bahwa ilmu tarikh  adalah ilmu yang membahas tentang waktu dari suatu keadaan yang terjadi di masa lalu, ataupun kejadian yang terkait dengan keadaan tersebut secara cermat dan akurat dan temanya selalu berhubungan dengan manusia dan waktu. Adapun pendapat tentang tarikh  dalam artian penanggalan, yang benar adalah dimulai sejak kekhalifahan Umar Bin Khattab yakni ketika dia memerintahkan kaum Muslimin untuk menjadikan awal sejarah Islam tepat pada saat Nabi saw. berangkat ke Kota Medinah (berhijrah) yang kemudian disebut dengan penanggalan hijrah.
Perkembangan ilmu al-jarh wa at-ta‘dîl sempat menemui hambatan dan dinilai sebagai perbuatan ghibah, ini dilontarkan dari kalangan orang-orang sufi. Para ulama sebelumnya juga telah memperingatkan bahwa hal (ghibah) tersebut dimungkinkan akan terjadi, misalnya an-Nawawi dan alGhazâli mengkategorikan ini sebagai salah satu dari enam bentuk ghibah yang diperbolehkan.[6]
Bahkan secara khusus, al-jarh  (mencacati) periwayat yang lemah dianggap sebagai suatu nasihat, seperti ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas. Penilaian negatif terhadap para periwayat dalam ilmu kritik hadits ini tidak sewenang-wenang, ada batasan-batasan tertentu. As-Sakhawi (w. 902 H) misalnya membatasi al-jarh dapat dilakukan dengan isyarat sudah cukup, maka tidak perlu lagi dengan kata-kata, atau al-jarh  dapat dilakukan dengan satu cara tertentu maka cara lain tidak perlu dilakukan lagi.

3.   Lafaz-Lafaz serta Maratib
Para periwayat yang dikritik oleh beberapa ulama kritikus hadits tidak memiliki peringkat dan status yang sama. Mereka ada yang berstatus sebagai hafizh, ‘alim, atau dlabith, adapula yang berada pada tingkatan hafizh mutqinun (seorang penghafal yang kapasitasnya memadai), untuk periwayat yang semacam ini maka tidak ada keraguan lagi. Ada di antara mereka seorang yang adil tetapi hafalannya kurang kuat, sedikit pelupa sampai kepada periwayat yang suka lupa dan banyak salahnya, tetapi masih dalam koridor seorang yang memiliki sifat adil dan  sebagainya.
Muncul penilaian para ulama kritikus hadits terhadap diri periwayat dengan bermacam-macam gelar dan peristilahan guna memberikan predikat kepada para periwayat. Apalagi bila diselidiki dari adanya lafazh-lafazh yang dihasilkan abtara satu penilai dengan yang lain berbeda yang kemudian menjadi standar dalam menilai sanad. Sampai kepada paket lafazh aljarh wa at-ta‘dîl yang berbeda-beda, baik ditingkat klasifikasinya maupun komposisi lafazh, bahkan perbedaan itu juga tampak dalam penjelasan maknanya (topik ini akan dibahas dalam penjelasan lafazh-lafazh al-jarh wa at-ta‘dîl).
Meskipun demikian, kebanyakan ulama hadits cenderung sepakat menjadikan klasifikasi karya ibn Abi Hâtim ar-Râzi  sebagai standar dalam menilai rangkaian sanad, sebagaimana terlihat pada muqaddimah al-jarh wa at-ta‘dîl. Ar-Râzi memberikan klasifikasi empat tingkatan, ini diikuti oleh ibn ash-Shalâh dalam kitabnya Nawawi dalam kitab “at-Taqrîb”, dengan beberapa tambahan lafazh di dalamnya. Adz-Dzahabi dalam kitabnya “Mîzân al-I‘tidâl” memberikan empat tingkatan dalam al-jarh wa atta‘dîl,, Di tempat  lain al-‘Irâqi dalam kitab ”Syarh aAlfiyah Hadîts” menawarkan lima tingkatan,Penetapan ini tampaknya merupakan uraian dan penjabaran dari pendahulunya. [7]
Di masa selanjutnya terus berkembang, misalnya ibn Hajar al-Asqalâni menjabarkan lafazh-lafazh al-jarh wa atta‘dîl menjadi enam tingkatan, yang meletakkan peringkat pertama menurutnya ialah para sahabat. Ini menjadi landasan bagi penulis sesudahnya yang membagi derajat al-jarh wa atta‘dîl menjadi enam, seperti yang dilakukan oleh Ajjâj Khatîb.
Tingkatan at-Ta‘dîl menurut beberapa Ulama:
1). Ibn Abi Hâtim ar-Râzi (w. 327 H).
 الرتبة الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى
ثقة، متقن، ثبت صدوق،  محله الصدق، لا بأس به صالح الحديث شيخ

 2. Ibn Ash Shalah (577-643 H)
 الرتبة الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى ثقة، متقن،  ثبت ، حجة، حافظ، ضابط صدوق،  محله الصدق، لا بأس به صالح الحديث شيخ
3.      An-Nawawi (631-676 H)

 الرتبة الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى ثقة،  متقن،  ثبت، حجة، عدل،  حافظ، ضابط صدوق، محله الصدق، لا بأس به صالح الحديث شيخ
4.      Adz-Dzahabi (673-748 H)

 الرتبة الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة الرتبة الأولى ثبت حجة،  ثقة حافظ، ثقة متقن، ثقة ثقة صدوق، ثقة لا بأس به، ليس به بأس محله الصدق، جيد الحديث،  صالح الحديث شيخ وسط،  شيخ حسن الحديث، صدوق إن شاء الله، صويلح ...
5.Ibn Hajar al-Asqalani (W.852 H)
 الرتبة الأولى الرتبة الثانة الرتبة الثالثة الرتبة الرابعة
الرتبة الخامس
الرتبة السادس
أوثق الصحابة الناس، ثقة ثقة،  ثقة حافظ
ثقة، متقن، ثبت، عدل
صدوق،  لا بأس به، ليس به بأس
صدوق، ضيء الحفظ، صدوق يهم، صدوق له أوهم  أو يخطئ، أوغير أخره، ومن رمى بنوع البدعة: التشيع، القدر، النصب، الإرجاء، التجهم ...
مقبول  حيث يتابع، لين الحديث
5.   Al-‘Irâqi
 الرتبة الأولى الرتبة الخامس الرتبة الرابعة الرتبة الثالثة الرتبة الثانة ثقة ثبت، ثقة ثقة، ثبت ثبت ثقة، متقن، ثبت، عدل، حافظ، حجة، ضابط صدوق، ليس به بأس محله الصدق، مأمون خيار شيخ وسط، وسط، شيخ، صالح الحديث،  حسن الحديث،  جيد الحديث
6.   Ajjaj Khatib
 الرتبة الأولى الرتبة الثانة
الرتبة الثالثة
الرتبة الرابعة
الرتبة الخامس
الرتبة السادس
أوثق الناس، أضبط الناس، وليس له نظير
فلان لايسأل عنه، او عن مثله ونحو هذا ...
ثقة ثقة، ثقة حافظ، ثقة حافظ
ثبت، متقن، حجة،  إمام ، عدل حافظ،
صدوق، مأمون، لابأس به، محله الصدق، صالح الحديث
شيخ، ليس ببعيد من الصواب، صويلح، صدوق إن شاء الله
Penjelasan tingkatan Lafazh at-Ta‘dil Analisa terhadap penilaian berdasarkan kategori dan klasifikasi ulama pada istilah yang diperuntukkan bagi para periwayat sebagai berikut:
(a) Pada tingkatan pertama haditsnya diterima dan dijadikan hujjah;
 (b) tingkatan kedua haditsnya diterima jika terdapat muttabi‘ dan syawâhid;
(c) tingkatan ketiga haditsnya ditulis untuk dii‘tibar (diteliti lebih lanjut).[8] . Ini terpapar dalam tabel berikut:
عجاج الخطيب
ابن العراقي حجر
ابن النووي الذهبي الصلاح
الرتبة الرازي
I, II, III, IV
I, II I, II, III
I, II I I I الأولى
V III, IV IV III II, III II, III II, III الثانة VI V V, VI IV IV IV IV الثالة.
Di dalam penelitian berikutnya, mencari data-data yang vailed dari kitab-kitab rijal al-hadis, khususnya kepada kitab-kitab al-jarh wa al-ta’dil. Yang mana buku-buku tersebut adalah standar yang diakui umat Islam sebagai referensi dalam penelitian sejarah para periwayat hadis Nabi SAW. baik otobigrafinya, seperti nama,  pengembaraan keilmuan, pembelajaran, domisili, tahun wafatnya dan komentar para ulama kritikus hadis kepada setiap periwayat hadis. Penelitian secara mendalam tentang sanad hadis Nabi sebagai guru, Nabi menggunakan metode dalam usaha mentransfer ilmu telah dilakukan. Adapun hasil temuan data-data dari sanad  kedua hadis tersebut menjadi lampiran akan menjadi bahan analisis tetang penentuan kualifikasi kedua hadis yang diteliti.
Di antara ulama, ada yang memasukkan pada defenisi hadits sifat (washfi), sejarah (tarikhi), dan cita-cita (hammi) Rasul. Hadits sifat (washfi) baik sifat fisik (khalqiyah) maupun sifat perangai (khuluqiyah). Sifat fisik seperti tinggi badan Nabi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, kulita Nabi putih kemerahmerahan bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting dan lain-lain. Sedangkan sifat perangai mencakup akhlak Rasulullah saw., misalnya sayang terhadap fakir miskin dan lain-lain. Sejarah hidup Rasul juga masuk dalam hadits baik sebelum menjadi Rasul atau sesudahnya. Menurut pendapat yang kuat, jika setelah menjadi Rasul, wajar dimasukkan sebagai sunnah atau hadits tetapi sejarah yang terjadi sebelum menjadi Rasul belum dimasukkan ke dalam sunnah kecuali jika diulang kembali dan dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Beberapa sinonim hadits seperti sunnah, khabar dan atsar. Sunnah menurut bahasa banyak artinya, di antaranya  ًَ ةَعَبْتً الم َُةَرْ يِ الس = suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk, seperti sabda Nabi saw.:[9]
 Barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (HR. Al-Tirmidzi Sunnah baik seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw. memang harus diikuti, tetapi sunnah orang-orang yang tidak bertanggung jawab harus dijauhi. Hadits tersebut memberikan motivasi sunnah yang baik dan mengancam sunnah yang buruk.
kil rakyat. Syarat-syarat wakil rakyat menurut ilmu al – jarh waat taˋdîl sebagai berikut; Pertama, Keadilan seorang calon bila sosok tersebut beragama Islam, baligh, berakal, dan tidak fasik, serta menjaga kewibawaan atau marwahnya; Kedua, memiliki kecerdasan Intelektual yang mumpuni; Ketiga, dapat menjadi bakal calon kalau semua rakyat mendukung disertai keputusan Partai dan KPUkarena kebaikannya; Keempat, tidak memasukkan orang yang tidak amanah dengan kata lain pernah terlibat kasus yang menjeratnya dalam masalah hukum; Kelima, bila calon hanya berbuat kesalahan yang tidak fatal, maka tetap diloloskan dari pencalonan; keenam, calon tetap dapat diusung bila ada kritik dari lawan politik atau musuh politiknya. Sedangkan korelasi terhadap teori Kredibilitas dalam memilih wakil rakyat adalah bagaimana seorang calon dapat menimbulkan sumber daya tarik dan sumber kepercayaan sesuai dengan kemampuan komunikator, bilamana ia memiliki sifat keadilan dan kedabitan dalam ilmu al - jar h wa at - ta ˋ dîl , maka otomatis dua hal tersebut dapat berjalan dengan seimbang sesuai dengan teori kredibilitas. Faktor yang berpengaruh dalam teori kredibilitas yaitu faktor kejujuran, kepercayaan, kebenaran, dan keadilan. Kemudian faktor profesionalime atau kopetensi dengan pengalam yang ada, serta faktor dinamisme dengan pergerakan dari seorang calon itu untuk bergerak aktif. Terakhir adalah faktor objektivitas terhadap pandangan dan pemikiran seorang calon dalam menyikapi permasalahan yang ada. Ada beberapa kalimat dalam penilaian ulama kepada para periwayat yang msih memerlukan keterangan lebih detail, di samping ada perbedaan pemahaman atau pemakaian sesama ahli kritik itu. Berikut ini akan diungkapkan penjelasan para ulama tentang beberapa lafazh yang ada dalam al-jarh wa atta‘dîl, di antaranya:
Kalimat “a) la ba’sa bih”, dan “laisa bih ba’sun”. Ibn Ma‘în berkomentar; apabila saya mengatakan demikian maka itu adalah tsiqah. Bukan berarti suatu ungkapan tajrîh (mencacati, mencela) yang berat. Bahkan kebanyakan ahli hadits mengambil periwayat yang diberi penilaian demikian oleh Ibn Ma‘în. Shidiq Basyîr Nashr mengutip apa yang dikemukakan ibn ash-Shalâh yang meriwayatkan dari Ibn Abi Khaitsam, ia berkata kepada Ibn Ma‘în berkenaan dengan perkataan beliau, kemudian dapat diperoleh keterangan tentang kedua lafazh tersebut bukanlah ungkapan kalimat lemah (dla‘îf) tetapi bermakna tsiqah.[10]
 Kalimat “b) laisa bi syain”, jika ini dikemukakan oleh Ibn Ma‘în maka itu menunjukkan makna suatu sifat lemah seorang periwayat. Ibn al-Qaththân menjelaskan makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut yakni bahwa hadits periwayat itu sedikit sekali atau ia tidak banyak meriwayatkan hadits serta dla‘îf di sebagian haditsnya. Pendapat ini sejalan dengan al-Hafizh Duhaim, akan tetapi menurut mereka berdua lafazh tersebut berada pada tingkatan tsiqah yankni pada peringkat kelima dalam at-ta‘dîl. Kata “laisa bi syain” sebenarnya menurut kebanyakan ulama jatuh pada posisi tidak shahîh dan tidak dapat dipegangi, seperti ungkapan Ibn Baththal yang dimaksudkan sebagai kkata peniadaan ke shahîhan padanya, meski tidak sampai pada predikatpembohong. asy-Syâfi‘i menyamakan status “laisa bi syain”dengan makna yang terkandung dalam “kadzdzab” artinya keduanya tidak dapat diterima riwayatnya. Ibn Ma‘în menyatakan itu berarti sedikit meriwayatkan hadits, demikian komentar Abu Ghuddah dalam “arRaf‘u wa at-Takmil”. Bahkan ketika Ibn Ma‘în memberi penilaian semacam itu, Ahmad bin Hanbal menyamakannya dengan munkar al-hadits dla‘îf, dan an-Nasâ’i dengan kata-kata “matruk”, demikian pula al-Bukhari meyamakannya dengan kalimat “tarakuhu” terhadap periwayat yang bernama Ghufair bin Ma‘dan dan Utsmân bin Abd arRahmân al-Quraisya az-Zuhri al-Waqasyi.
 Kalimat “c) yu‘rafu dan yunkaru”, menurut al-‘Irâqi dimasukkan kepada tingkatan kelima dari al-jarh , kedua bentuk itu bermakna bahwa haditsnya suatu suatu waktu dekat kepada hadits yang ma‘ruf, dan sesekali dekat kepada yang munkar, hadits demikian adalah perlu disesuaikan atau diperbandingkan dengan hadits para periwayat tsiqah yang telah ma‘ruf (dikenal).
d) Kalimat “munkar al-hadîts dan yarwi al-manâkir” menunjukkan periwayatannya adalah banyak menyendiri (tafarud), tidak ada riwayat lain yang meriwayatkan. Sedangkan ungkapan “hadîts munkar” adalah istilah yang datang dari kalangan ulama muta’akhirîn yang berarti hadits itu diriwayatkan oleh periwayat dla‘îf dan bertentangan dengan periwayat tsiqah.

Kesimpulan
Ilmu al - Jarh wa at - Taˋdîl seolah menjadi sebuah ilmu yang usang, yang hanya digunakan untuk mengkritik riwayat hadis. Ilmu ini juga diangggap hanya sebuah tehnik untuk mengkritisi seorang periwayat hadis saja. Padahal, kajian teks hadis dapat terjaga keotentisitasannya dan orisinalitasnya menggunakan ilmu al - jar h w a a t - ta ˋ dîl. Sehingga, kemurnian hadis dalam sebuah tatanan hukum Islam dapat terjaga.
Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Rasul yang membawa risalah universal (Rahmatan li al-‘Alamin) dari Allah SWT. Sebagai Nabi dan Rasul beliau merupakan teladan (uswatun hasanah), dan sebagai Rasul beliau juga wajib untuk ditaati. Satu hal yang harus diyakini, pada umumnya Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan dan ketetapannya mempunyai implikasi hukum yang mesti diikuti (Sunnah Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap al-Qur’an tentang beberapa masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan apa yang beliau larang haruslah dihindari. Namun, selain sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau juga adalah manusia sebagaimana manusia lainnya seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an. Beliau tentu juga memiliki keperluan jasmani dan rohani, memiliki keinginan dan selera serta mempunyai kebiasaankebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah semua yang datang dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbutan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemunusiaannya (Jibillah Basyriyyah) juga merupakan  sumber syari’at yang mengikat.  Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama, sehingga memunculkan wacana Sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah, pada dasarnya adalah berpijak dengan prinsip pemisahan antara apa yang bersumber dari wahyu Tuhan (Ilahi) dengan  apa  yang bersumber dari pada nalar manusia (human/basyari).
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang menanamkan pengetahuan dan nilainilaimengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakatdunia masa lampau hingga kini. Sejarah adalahcerita tentang kejadian, merupakan suatu cerita dan berurutan.Arti kata sejarah masih terlalu umum dan belum menunjukkanciri khas sejarah yaitu peranan manusia dan kejadian alam tidak semuanya dapat dikatakankejadian historis. Peristiwa atau kejadian yang penting yang terjadi pada manusia yang membawa perubahan dan perkembangan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah diartikan sebagai suatu tentang apa yang telah dikerjakan dan dipikirkan oleh manusia pada masa yang lampau. Sejarah sebagai sebuah ilmu memiliki metode dalam menelusuri data-data sejarah. Hal ini biasa disebut Heuristik (Pengumpulan sumber-sumber sejarah), Kritik (Verifikasi sumber sejarah yang otentik), Interpretasi (menafsirkan datadata sejarah pada sumber sejarah), Historiografi (penulisan sejarah). Selain itu, dalam mengkaji sebuah peristiwa sejarah diperlukan berbagai pendekatan, seperti Sosiologi, Antropologi, Etnografi, Arkeologi dan lai-lain.
Penelitian tentang kualifikasi hadi Nabi SAW. sebagai seorang pendidik  dan hadis Nabi tentang  metode dalam mentransfer ilmu kepada umat Islam ditinjau dari kritik sanad-nya yang diimplementasi dalam ilmu  al-jarh wa al-ta’dil. Maka ada beberapa temuan yang disimpulkan:
 a. Data-data antara guru dan murid dalam jalur sanad melalui penelitian kepada kitabkitab al-jarh wa al-ta’dil menunjukkan ada kesinambungan, kemudian  menjadi pertimbangan dalam menetapkan bahwa hadis-hadis tersebut muttashi (bersambung).
b. Data-data tahun wafat para periwayat hadis menjelaskan bahwa umur manusia yang logis, menjadi pertimabangan bahwa mereka pernah bertemu dalam situasi pembelajaran antara guru dan murid. Data tersebut  menjadi petunjuk bahwa hadis ini muttashil (bersambung).
c. Data-data tentang komentar-komentar para ulama kritikus hadis tentang sifat-sifat yang melekat pada diri para periwayat hadis berada pada posisi al-ta’dil peringkat pertama sampai keempat. Ulama hadis sepakat bahwa posisi al-ta’dil dari tingkat pertama sampai keempat bisa dijadikan hujjah syar’i dalam praktik kehidupan umat Islam.
d. Hadis pertama, kedua dan hadis pembanding semua termasuk hadis muttashil dan shahih dari kajian sanad hadisnya. 
DAFTAR PUSTAKA
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i.” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 183–201.
Edy, Relit Nur. “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah).” ASAS 6, no. 2 (2014).
Falihatun, Nur. “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018): 239–256.
Haif, Abu. “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH.” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016).
Isnaeni, Ahmad. Perilaku Bid’ah Dan Pengaruhnya Dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl. Idea Press Yogyakarta, 2016.
Mukhtar, Mukhlis. “PENELITIAN RIJAL AL-HADIS SEBAGAI KEGIATAN IJTIHAD.” DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum 9, no. 2 (2011): 187–194.
Qomarullah, Muhammad. “KONTEKSTUALISASI ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN KORELASINYA DENGAN TEORI KREDIBILITAS.” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 3, no. 2 (2019).
Siregar, Khairil Ikhsan. “Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta ‘Dil).” Jurnal Studi Al-Qur’an; Vol 10, no. 1 (2014).
Sofiah, Sofiah. “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO.” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018): 189–210.
Zulkipli, Shahril Nizam, Zuriani Yaacob, Norazmi Anas, Mohd Syukri, Mohd Noor, MZHZ Abidin, Amin Che Ahmat, and Mohd Asmadi Yakob. “Takhrij Al-Hadith via Mobile Apps: Study of 9 Imam Encyclopedia, Kutub Tis ‘ah and Mawsu ‘ah al-Hadith al-Nabawi al-Syarif.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 7, no. 6 (2017): 1174–1185.



[1] Ahmad Isnaeni, Perilaku Bid’ah Dan Pengaruhnya Dalam al-Jarh Wa at-Ta’dîl (Idea Press Yogyakarta, 2016) hlm : 127-230
[2] Relit Nur Edy, “AS-SUNNAH (HADITS)(Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah),” ASAS 6, no. 2 (2014) hlm : 3-90
[3] Nur Falihatun, “Hadis Nabi Tidak DijamiN Masuk Surga (Kajian Atas Statemen m. Quraish Shihab),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 17, no. 2 (2018) hlm : 239–256.
[4] Abu Haif, “HADIS SEBAGAI SUMBER SEJARAH,” Rihlah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan 4, no. 1 (2016) hlm : 4-125.
[5] Muhammad Qomarullah, “KONTEKSTUALISASI ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN KORELASINYA DENGAN TEORI KREDIBILITAS,” Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis 3, no. 2 (2019) hlm : 57-135.
[6] Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014) hlm: 183–201.
[7] Mukhlis Mukhtar, “PENELITIAN RIJAL AL-HADIS SEBAGAI KEGIATAN IJTIHAD,” DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum 9, no. 2 (2011) hlm: 187–194.
[8] Khairil Ikhsan Siregar, “Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta ‘Dil),” Jurnal Studi Al-Qur’an; Vol 10, no. 1 (2014) hlm : 78-130.
[9] Shahril Nizam Zulkipli et al., “Takhrij Al-Hadith via Mobile Apps: Study of 9 Imam Encyclopedia, Kutub Tis ‘ah and Mawsu ‘ah al-Hadith al-Nabawi al-Syarif,” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 7, no. 6 (2017) hlm: 1174–1185.
[10] Sofiah Sofiah, “KUALITAS SANAD HADIST DALAM KITAB MIFTÂHUL JANNAH KARYA KHR AS’AD SYAMSUL ARIFIN SUKOREJO-SITUBONDO,” JURNAL ISLAM NUSANTARA 2, no. 2 (2018) hlm: 189–210.