PEMAHAMAN
MASYARAKAT TERHADAP HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
Siti
Zubaidah, Pija Napitupulu, Marito Harahap, dan Aditya Pratama
Pendidikan Agaam Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
Adityaharahap098@gmail.com
Abstrak
Pola gagasan Muhammad Iqbal khususnya pada
pembaharuan hukum Islam di India antara lain dipengaruhi oleh dinamika
masyarakat Eropa dan pemahaman terhadap al-quran dan al-Hadits sebagai sumber
etika mampu menangkap perkembangan zaman. Kemampuan al-quran dalam memberikan
solusi untuk masalah yang berkembang dan kompleks terletak pada kemampuan orang
Islam dalam memahami konten khususnya
hukum. Begitu juga dengan hadits pemahaman yang bersifat situasional.
Menurutnya perubahan mekanisme ijtihad harus dilakukan yaitu kewenangan ijtihad
yang selama ini berada pada orang-orang tertentu atau bersifat individual untuk
ijtihad kolektif. Ini pandangan kritik baik dari muslim lingkaran sendiri serta
diasumsikan barat orentalis itu mengadopsi dari konsep imam di agama katolik.
Abstract
Pattern idea of Muhammad Iqbal specially at
renewal of Islam law in Indiais among others influenced by European society
dynamics and its understanding to an al-qur and of al-hadis as source of ethics
able to catch growth of epoch. Ability of al-quran in giving solution to
problems which ever expand and complex to progressively lay in ability of Islam
people in comprehending specially its
law content. So also with hadis claim the understanding of having the character
of is circumstantial. According to him Change of mechanism of ijtihad must be
done that is authority of ijtihad which during the time reside in at certain
people or have the character of individually to collective ijtihad. This view
harvest various criticism either from moslem circle alone as well as assumed
west orentalis it adopt from priest concept at catholic religion
Kata kunci:
Pemikiran; Muhammad Iqbal; Hukum Islam
Pendahuluan
Berdasarkan
hasil penelitian siti zubaidah, telah ditemukan bahwa untuk menyelesaikan kasus
pemahaman masyarakat sumber hukum kedua Islam sebagai sistem hidup mencakup
berbagai aspek kehidupan baik kolektif maupun individual termasuk dalam aspek
hukum. Al Qur‟an dan Hadits diyakini sebagai sumber hukum. Al Quran sebagai
sumber hukum pertama, memuat prinsip-prinsip dasar untuk membangkitkan
kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam
semesta dalam berbagai kondisi sepanjang perjalanan sejarah manusia. Oleh
karenanya, Al Qur‟an tidak menguraikan permasalahan hidup secara detail
sebagaimana halnya kitab undangundang. Untuk itu manusia dituntut untuk mampu
menerjemhkan serta mengaplikasikan pesan Al Qur‟an tanpa mengabaikan realitas
kehidupan dinamika sosial yang senantiasa mengalami perubahan. Tuntutan ini
menjadi tantangan sekaligus problematika umat. Penyikapan terhadap Al Qur‟an
melahirkan ekspresi keagamaan yang beragam, salah satunya adalah perlakuan yang
tidak proporsional serta cenderung memahaminya secara parsial. Pada gilirannya,
terjadi pemisahan secara mekanis antara ayat yang bersifat hukum dan non hukum.
Demikian halnya dengan al Hadits sebagai
sumber kedua. Tidak luput dari kontradiksi umat baik kebenaran isi (matan)
maupun rantai periwayatan (sanad). Bahkan ketika suatu hadits telah dinyatakan
shahih itupun masih menyisakan perdebatan umat dalam menyikapinya baik
tekstual, kontekstual maupun dengan problem kebahasaan (semantik). Dalam
menggali solusi untuk permasalahan yang terjadi pada hadits inipun banyak
melahirkan sikap yang tidak proporsional.
Berbagai
kenyataan di atas, merupakan realita masyarakat muslim India yangcenderung
memahami teks-teks keagamaan secara parsial dan tidak proporsional. Kondisi
inilah yang pada gilirannya melatarbelakangi Muhammad Iqbal untuk melakukan
penyadaran alam pikiran masyarakatnya dalam memahami dan mengekspresikan teks-teks keagamaan pada tataran implikatif.
Dengan melalui gagasan serta pemikirannya baik tertuang pada berbagai macam
buku maupun artikelnya bahkan dalam karya-karya sastranya yang kental dengan
nuansa religius, beliau merealisasikan obsesinya itu.
Biografi
Singkat
Nama lengkapnya adalah Sir Muhammad Iqbal.
Tidak ada kesepakatan mengenai tahun kelahirannya, Wilfred Cantwell Smith
berpendapat bahwa M. Iqbal lahir pada tahun 1876, [1]Bahrum
Rangkuti mengatakan bahwa M. Iqbal lahir pada 22 Februari 1873[2],
sedangkan menurut Prof.J.Marek dari Universitas Praha, yang juga dikuatkan
dengan kedutaan Besar Republik Islam Pakistan untuk memperingati 100 tahun
kelahiran M. Iqbal pada tahun 9 November 1877[3].
M.Iqbal
dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan (dulu masih menjadi wilayah India). Ia
keturunan kasta Brahmana Kasmir, nenek moyangnya memeluk Islam tiga abad
sebelum kelahirannya. Ayahnya adalah Muhammad Noer, dan kakeknya Muhammad
Rafiq, seorang sufi terkenal. Ibunya bernama Imam Bibi.[4]
Pendidikan
formalnya diawali pada Scottish Mission School, Sialkot. Di bawah bimbingan
Sayyid Mir Hassan yang sangat berpengaruh pada pembentukan keprribadian M.
Iqbal di kemudian hari. Setelah menyelesaikan pendidikannnya pada tahun 1985 ,
ia melanjutkan studinya di Government College, Lahore. Ia berguru pada Sir
Thomas Arnold seorang orientalis asal Inggris yang menjadi guru besar di
Universitas Aligarh dan Government College. Lewat Arnold, Iqbal mulai
berkenalan dengan filsafat barat, bahkan ia dianjurkan oleh sang guru untuk
memperdalam filsafat secara intens di Eropa.
Pada
tahun 1905 ia berangkat ke Inggris dan belajar di Cambridge University dan
mengambil gekar Doctor di munich, Jerman dan berhasil meraih gelar Doktor pada
tahun 1908. [5]
Menurut
W.C. Smith, perkembangan pemikiran keislaman M. Iqbal dipengaruhi oleh tiga
hal, sebagai sikap kritis ketika ia berada di Eropa. Yakni Vitalitas dan
dinamisme masyarakat Eropa dalam menghadapi problematika hidup, potensi
orang-orang barat yang telah dikembangkan sementara orang timur belum
memimpikannya, dan kehidupan Eropa yang menciptakan pribadi yang terpecah
(sekularisme). [6]Dua
realita pertama, mengandung hal-hal positif dan tidak bertentangan dengan Islam
untuk dikembangkan dalam upaya pembaharuan kembali pemikiran Islam. Dan hal
ketika sarat nilai destruktif yang dikecam keras olehnya, hal ini seperti
terungkap pada salah satu syairnya:
“Walau Eropa dikelilingi
pesona seni dan ilmuSebenarnya lembah kegelapan iniKekurangan Mata Air
Kehidupan .............. Laksana buah yang ranum Eropa hampir gugurBiarlah kita
saksikan, dalam pangkuannyaIa meluncur” [7]
M.
Iqbal mengalami pergulatan pemikiran dalam menghadapi nilai-nilai Eropa hingga
ia mencari alternatif dengan menyelami ajaran tasawuf panteisme. Meski pada
perkembangannya ia menolak ajaran panteisme dan menekankan pentingnya
mengembangkan potensi diri dan akal manusia. Pergeseran pemikiran ini ditandai
dengan karyanya “Asrar-l Khuldi” dan “Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam”.
Pada
tahun 1908, ia kembali ke kampung halaman. Iqbal adalah pribadi yang rendah
hati dan mengakui kesalahan masa lalunya sebagai konsekwensi dari perubahan
pemikirannya, hal ini terlihat pada salah satu pengakuannya: “Saya tidak merasa malu untuk mengakui bahwa
cukup lama saya menganut gagasan-gagasan para sufi, dan setelah merenungkannya,
menemukan bahwa gagasan-gagasan tersebut tidak islami. Misalnya konsep
Ibn’Arabi tentang keabadian jiwa sempurna atau panteisme...”
Dengan
Asrar-l Khuldi, Iqbal menegaskan bahwa setiap manusia harus mengembangkan potensi
diri dalam mengemban tugas kekhalifahan yang disadari kecintaan kepada Allah.
Pada gilirannya melahirkan manusia “Superman” atau Insan Kamil. Manusia tidak boleh menafikan eksistensinya
dan harus senantiasa berusaha mengembangkan kesempurnaan dan keunikan yang
dimilikinya, serta melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat tentang
penciptaan manusia (Adam) yang berbeda dengan penafsiran kebanyakan ulama.
Potensi
yang dimiliki manusia dan kaitannya dengan dinamika sosial dijadikan Iqbal
sebagai kerangka dasar dalam mengembangkan konsep ijtihad dalam menghadapi
tantangan modernitas. Bahkan pola pikirnya yang demikian memiliki andil besar
terhadap berdirinya negara Islam Pakistan sebagai hasil perjuangan melawan
penjajah dan pergolakan politik di India Pra-kemerdekaan.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas, ada dua permasalahan yang dibahas,
pertama, bagaimana pendapat pemikiran
iqbal, dan kedua, bagaiamana
pembaharuan hukum islam.
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yang memerlukan dukungan dari sumber lainnya. Langkah-langkah
berkaitan dengan restrukrisasi penyelesaian pemahaman masyarakat, adapun
tahapan yang dilalui melalui pendekatan penelitian. Analisis dilakukan secara
kualitatif, baik dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum.
Pemikiran-Pemikiran M. Iqbal
Pemikiran
Iqbal tampak dalam hal-hal seperti berikut ini.
Pertama, dia menggabungkan ilmu kalam, tasawuf,
falsafah, ilmu sosial dan sastra dalam pemikirannya sebagai rangka untuk
memahami ajaran Islam. Dengan demikian ia menggunakan perspektif secara luas,
yang membedakannya dari pemikir Muslim lain kebanyakan parsial dan hanya
menekankan pada segi tertentu. Kedua,
dalam memahami kondisi umat Islam dan perkembangan pemikirannya, ia tidak
memisahkan falsafah dan teologi dari persoalan sosial budaya yang dihadapi umat
Islam. Ini membuatnya menjadi seorang filosof dan budayawan yang berwawasan luas. Ketiga, pikiran-pikirannya yang paling
cemerlang sebagian besar diungkapkan dalam puisi yang indah dan menggugah,
sehingga menempatkan diri sebagai penyair-filosof Asia yang besar pada abad
ke-20. Pembaca yang tidak puisi-puisinya,
tidak akan menangkap keagungan pemikirannya.
Keempat, dia berpendapat bahwa penyelamatan spiritual
dan pembebasan kaum Muslim secara politik hanya dapat terwujud dengan cara
memperbaiki nasib umat Islam dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Pandangannya
senantiasa bertolak dari ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis. Bagi Iqbal, dengan
melihat sejarah masyarakat Asia, agama memainkan peranan penting dalam
kehidupan umat manusia, termasuk perkembangan peradaban dan kebudayaan.
Mengeritik penyimpangan dan pengaburan ajaran agama oleh para sultan, ulama,
cendekiawan dan pemimpin Islam yang menjadikan agama sebagai kendaraan untuk
meraih keuntungan politik dan ekonomi. Semua itu bagi Iqbal merupakan sumber
degradasi moral umat. Dia sangat kritis terhadap peradaban dan kebudayaan
Barat, sebagaimana terhadap Islam. Menurut Iqbal, peradaban dan kebudayaan
Islam hanya bisa dimajukan dengan melakukan dua hal secara serentak, yaitu
idealisasi Islam dan pembaruan pikiran agama. Untuk bisa bangkit dari kejatuhan,
kaum Muslimin harus memiliki akses pada kebanaran ajaran agama dan sejarah
panjang peradabannnya.
Pemikiran
Politik M. Iqbal terlihat Sepulangnya dari Eropa Iqbal terjun ke dunia politik,
bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi
anggota legislatif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga
Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika
dirinya diberi gelar „Sir‟ oleh pemerintah Kerajaan Inggris di London atas
usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di
bidang intelektual dan politiknya. [8]
Gelar
ini menunjukan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas kemampuan
intelektualitasnya dan memperkuat bargaining position politik perjuangan ummat
Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada
setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day.
Pemikiran
dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih
menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin
ummat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang
memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin
harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan ke berbagai pihak melalui
Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang
sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan
Negara Pakistan adalah dari Iqbal) , bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu
yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan
Inggris. Bagi Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang
terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya
adalah salah satu republik itu.
Sebagai
seorang negarawan yang matang, tentu pandangan- pandangannya terhadap ancaman
luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat
menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi
reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahamannya yang
dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya
diri terhadap ummat Islam dan identitas keislamannya.
Ummat Islam tidak boleh merasa rendah diri
menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri
dari belenggu imperialis. Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad mengingatkan
bahwa imitasi yang dilakukan ummat Islam kepada Barat baik secara personal
maupun sosial dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan
menghambat dan menghancurkan peradaban Islam.
Diantara
paham Iqbal yang mampu „membangunkan‟ kaum muslimin dari „tidurnya‟ adalah
“dinamisme Islam”, yaitu dorongannya terhadap ummat Islam supaya bergerak dan
jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah
menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa
seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif „lebih baik‟ dari pada muslim yang
„suka tidur‟.
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang
khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan
(ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di
lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme.
M.
Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam,
Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya : “Didalam agama
Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah,
dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan
oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhirakhirnya latar belakang ruhani yang tak
kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal
perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika
amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak
terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang
disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai
"negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar
kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang
yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan
seperti itu”. [9]
Demikian
tegasnya prinsip Iqbal, maka ia berpandangan bahwa dalam Islam politik dan
agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan
yang tidak terpisah. Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan
diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari
keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan
kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kepercayaan diri inilah yang
pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
Pemikiran
dalam Pembaharuan Hukum Islam dan Pengaruhnya.
Pembaharuan Hukum Islam sebagaimana dilakukan
M. Iqbal tidak terlepas dari pandangannya terhadap sumber-sumber hukum Islam.
Hal ini dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Pertama,
Al Qur‟an. Seperti disinggung pada awal pembahasan bahwa Al Qur‟an adalah
sumber etika yang mencakup berbagai aspek hidup termasuk aspek hukum, hanya
memuat prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan untuk dikembangkan pada berbagai
perubahan yang terjadi sepanjang sejarah manusia, maka Al Quran selalu relevan
dengan gerak masyrakat melalui mekanisme ijtihad.
Belajar
dari kegagalan Yahudi yang mementingkan sisi legalitas dan kehidupan duniawi di
satu pihak, dan kegagalan Nasrani di satu pihak dalam memberikan nilai-nilai
pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi oleh karena lebih
mementingkan aspek spiritual saja. Maka Islam dengan ajaran Al Qur‟an
mengajarkan keseimbangan antara aspek duniawi dan ukhrawi. Atas dasar pemikiran
ini maka perlu menyatukan agama dan negara. Meskipun M. Iqba bukanlah orang
pertama yang berpendapat bahwa adanya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.
Pemahaman
yang universal serta utuh terhadap Al Qur‟an menggerakkan umat untuk lebih
kreatif dan dinamis dalam menyelesaikan berbagai problematika sebagai
konsekwensi dari perubahan kondisi reel suatu masyarakat dengan melalui
pendekatan rasional terhadap Al Qur‟an yang menghargai gerak dan perubahan.
Kendati demikian, M.Iqbal tidak mengabaikan dimensi lain di dalam Al Qur‟an
yang bersifat konstan bahkan harus dipertahankan kemapanannya. Sebagaimana
kritik Iqbal terhadap tuntutan Zia Gokalp, penyair dan sosiolog Turki yakni
menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam masalah thalak,
perceraian dan warisan. [10]
Kedua,
al Hadits. Kajian Iqbal terhadap hadits didasarkan pada situasi dan kondisi
masyarakat yang berkembang pada waktu itu. Pandangan ini dikembangkan beliau di
tengah tarik ulur kedudukan hadits sebagai sumber hukum antara umat Islam di
suatu pihak, dan kaum orientalis di lain pihak yang sampai hari ini masih terus
berlangsung.
Iqbal
sepakat dengan apa yang telah dikemukakan oleh Syah Waliyullah perihal hadits.
Yakni bahwa dalam meyampaikan risalah Tuhan Nabi Muhammad yang berisi
hukum-hukum misalnya, membawakannya secara umum serta tidak mengabaikan
kebiasaaan, atau kondisi reel masyarakat yang dihadapinya ketika itu dan
dijadikan kerangka dasar untuk membangun syari‟at Islam yang universal. Beliau
menanamkan prinsip-prinsip dasar syari‟at “
dar u mafasid wa jalbu al mashalih”, juga memperhatikan adat istiadat serta
tradisi daerah setempat[11].
Kaitannya
dengan keyakinan bahwa Islam sebagai rahmatan lil‟alamin tanpa terikat oleh
ruang dan waktu, maka apa yang Nabi sampaikan pada umat generasi pertama tidak
dapat dipandang konstan atau tekstual untuk generasi selanjutnya yang
dipastikan mengalami perubahan dan dinamika serta melahirkan problematika yang
lebih kompleks. Sehingga hukum yang diberlakukan untuk umat generasi sesudahnya
mengacu pada prinsip kemaslahatan. Bahkan apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah
dengan al istihsan-nya adalah sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekwensi
dari memahami universalitas hukum Islam.
Iqbal juga melakukan pembedaan antara hadits
hukum dan non hukum juga hadits yang mengandung kebiasaan pra-Islam. Beliau
melakukan pemilahan posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul dan Manusia (hakim,
mufti dan pemimpin umat). Walaupun sebelumnya al-Qarafi telah mendahului dalam
melakukan pemilihan itu.
Dengan
demikian, Iqbal memahami secara kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial yang
berkembang dan bukan sebagai koleksi peraturan tingkah laku muslim yang kaku,
mengabaikan atau tidak realistis terhadap dinamika masyarakat. Apa yang
diajarkan oleh nabi terhadap generasi awal adalah contoh dan nilai-nilai
universal yang terkandung dalam hadits itulah hakekat hadits Nabi.
Dalam menggali pesan teks keagamaan yang
universal, tentu dibutuhkan upaya maksimal yang familier dengan sebutan
ijtihad. Ijtihad itu sendiri mengalami pasang surut bahkan hukum Islam
mengalami stagnasi selama lima ratus tahun. Hal ini menjadi sejarah gelap umat
muslim, yang disebabkan kekhawatiran terjadinya disintegrasi umat pasca jatuhnya
Baghdad ke tangan Mongol. Iqbal merasa bahwa ijtihad merupakan kebutuhan urgen
dalam mengembangkan hukum Islam yang mengacu pada kepentingan umat dan kemajuan
umum. Maka perlu segera mengalihkan kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad
kolektif atau ijma‟. Menurutnya peralihan ijtihad individual yang mewakili
mazhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang
paling tepat bagi ijma‟, hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam
sistem hukum Islam yang hilang. Komposisi anggota lembaga legislatif hukum
Islam ini beragam bahkan bukan saja melibatkan ulama tapi harus melibatkan
orang awam tentang hukum Islam tapi memiliki pandangan yang tajam mengenai problem sosial yang berkembang di masyarakat.
Apalagi dalam Sunni tidak mengenal kekuasaan hirarki yang ketat di dalam
staratafikasi sosial sebagaimana berlaku pada masyarakat Syi‟ah yang otoritas
penetapan hukum dipegang oleh Imam yang tak terbantahkan (maksum).
Iqbal
berpandangan bahwa hasil rumusan ijma tidak harus mengikat seluruh umat Islam.
Tapi keberlakuan ijma kolektif lebih memungkinkan bersifat regional namun
demikian ia menegaskan bahwa perlu dibentuk lembaga internasional negara-negara
Islam yang mengatur dan mendialogkan permasalahan dan kebutuhan umat Islam di
semua negara muslim. Sebab sifat dasar Islam yang lintas teritorial dan etnis.
Iqbal
berpandangan bahwa ijma‟ tidak dapat menasikh al Qur‟an dan ijma‟ hanya dapat
membatasi atau memperluas aturan-aturan hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an
maka keberlakuannya juga tidak mengikat generasi selanjutnya.
Pandangan
Iqbal tentang ijma‟ ini mengundang berbagai kritikan, diantaranya Ahmad Hasan
yang beranggapan bahwa mengumpulkan ahli agama dengan ahli umum dalam
merumuskan hukum Islam adalah sebuah kemustahilan bahkan kontradiksi terma.
Dari kalangan orientalis adalah Rosenthal dan H.A.R. Gibb, memandang bahwa
gagasan Iqbal mengadopsi dari konsep kepasturan dalam agama Katolik. Padahal
Iqbal tidak pernah menyatakan kemutlakan hasil ijma‟ sebagaimana dalam tradisi
katolik. [12]
Pemikiran
serta gagasan-gagasan Iqbal cukup berpengaruh dalam upaya pembentukan negara
Islam Pakistan yang diplokramirkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Sepeninggalan Iqbal,
berkembang kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan beliau baik
yang intens maupun insidentil. Di antara cendekiawan yang serius mengembangkan
gagasan-gagasannya adalah Fazlu Rahman, meskipun tidak secara utuh. Sebab
disamping melakukan pembelaan terhadap Iqbal dari serangan orientalis ia juga
memberikan kritik dalam beberapa hal. Pemikiran Iqbal mengenai alam semesta,
manusia dan Al Qur‟an cukup mendapat tempat dan dikembang oleh Fazlu Rahman. Ia
lebih mempertajam pandangan Iqbal mengenai Al Qur‟an, menurutnya Al Qur‟an
sebagai kitab yang berisi moral dan etik, bukan dokumen yang memuat hukum-hukum
yang kaku. Dan ia menjelaskan tujuan-tujuan dan prisip yang menjadi esensi
hukumhukum. Dalam menafsirkan al Qur‟an
secara integral dan komprehensif, ia menetapkan tiga hal yang tidak boleh
diabaikan yakni : memperhatikan latar belakang sejarah turunnya Al Qur‟an
sehingga bisa dipahami makna teksnya, membedakan antara ketetapan hukum dan
sasaran atau tujuan moral yang dikandung Al Qur‟an, dan terakhir memahami dan
menetapkan sasaran dari tujuan Al Qur‟an dengan memperhatikan latar belakang
sosio-historisnya.
Rahman
juga memandang hadits sebagai konsep yang memuat prinsipprinsip moral yang
universal dan harus dipahami secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Ijtihad dalam pengertian jihad intelektual, bagi Rahman menjadi hak
tiap muslim yang memiliki kemampuan dan tidak menjadi otoritas golongan
tertentu. Ia juga menolak terhadap pembagian ijtihad: ijtihad muthlaq, muqayyad
dan fi al mazhabi. Rahman juga mendukung pembentukan lembaga ijma‟. [13]
Pemikiran
Iqbal juga mempengaruhi beberapa intelektual muslim Indonesia, antara lain
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Pengembangan gagasan Iqbal oleh Ahmad Syafi‟i Ma‟arif
terlihat dalam usahanya untuk membedakan antara Islam sejarah (historic Islam)
dan Islam cita-cita (Ideal Islam). Pandangannya ini sangat mirp dengan prinsip
Dinamika dan Konservasi –nya Iqbal. Ia mengungkapkan pentingnya melakukan
gerakan tajdid, yang dipengaruhi oleh tiga faktor : Pertama, pemahaman dan
penafsiran terhadap doktrin transedental tidak pernah bernilai mutlak, kedua,
Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio politik di atas landasan
etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil „alamin
dalam ruang dan waktu. Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan ajaran
Islam pernah ditujukan secara kreatif oleh generasi sahabat, terutama khalifah
Umar. Hal ini tidak aneh oleh karena Ma‟arif adalah murid Fazlu Rahman,
sementara Rahman mengelaborasi gagasan-gagasan Iqbal. Demikian juga dengan
intelektual muslim Indonesia lainnya, seperti Harun Nasution dan Djohan
Effendi.
Penutup
Sumbangan
pemikiran Muhammad Iqbal dalam pembaharuan hukum Islam di India tidak terlepas
dari pemahamannya terhadap al quran dan al hadits sebagai sumber hukum Islam.
Dia memahami al quran sebagai sumber etika yang senantiasa relevan dengan
perubahan dan dinamika masyarakat
melalui mekanisme ijtihad. Dan hadits dalam pemahaman Iqbal bukanlah
koleksi peraturan tingkah laku yang kaku atau tekstual.
Kompleksitas
kehidupan perlu baginya disikapi dengan
melakukan perpindahan dari kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif
yang tidak mengikat seluruh umat Islam tetapi dimungkinkan bersifat regional.
Dan Ijma menurutnya tidak dapat menasakh al qur’an tetapi hanya dapat membatasi
atau memperluas aturan yang terkandung dalam al qur’an.
Pemikirannya
mengenai al quran, alam semesta dan manusia selanjutnya dikembangankan
Fazlurahman meskipun tidak secara utuh dan khusus gagasan Iqbal mengenai al
quran dikembangkan secara tajam olehnya.
Dan melalui Fazlurahman beberapa tokoh intektual muslim Indonesia
mengembangankan pemikiran Muhamad Iqbal di Indonesia.
Saran
Diperlukan
adanya sosialisasi tentang keberadaan pembaharuan dalam pemahaman masyarakat
terhadap sumber hukum kedua untuk mengurangi keterbatasan ketidak pahaman
sebagian masyarakat pada zaman modern
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abbas. “KENDALA-KENDALA PEMBELAJARAN
BAHASA ARAB PADA PRODI PAI JURUSAN TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH.” Sarwah:
Journal of Islamic Civilization and Thought 15, no. I (2016).
Asrukin,
Mochammad, and M. Si. “HADITS: Sebuah Tinjauan Pustaka Oleh: Drs. Mochammad
Asrukin, M. Si.,” n.d.
Chairawati,
Fajri, and Chairul Muluk. “KEILMUAN MUBALLIGH DI KOTA BANDA ACEH.” Jurnal
Al-Bayan 23, no. 2 (2018).
Faiqoh,
Lilik. “HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI.” Farabi: Journal of
Ushuluddin & Islamic Thought 14, no. 1 (2017).
Fitriani,
Fitriani. “Hadist Maudhu’.” AL-FURQAN 2, no. 1 (2013): 45–62.
Idris,
Idris. “Pandangan Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam.” AL-THIQAH-Jurnal
Ilmu Keislaman 1, no. 01 (2018): 24–34.
Indrajaya,
Darmawan Tia. “Konstribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum
Islam.” Hukum Islam 13, no. 1 (2013): 1–12.
Majid,
Abd Majid Abd. “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
(Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM).” Jurnal
Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018): 114–123.
Masyhadi,
Masyhadi. “Hadits Prespektif Fazlur Rahman.” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan
Penyiaran Islam 1, no. 2 (2017): 93–104.
Matswah,
Akrimi. “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Hadis Nabi.” Addin
7, no. 2 (2015).
Nazlianto,
Riza, and M. A. Lc. “ḤADĪTS ZAMAN RASULULAH SAW DAN TATACARA PERIWAYATANNYA
OLEH SAHABAT.” Al-Mursalah 2, no. 2 (2018).
Surahmad,
Surahmad. “METODE PEMAHAMAN HADIS NABI SYAIKH YUSUF AL-QARADHAWI.” INOVATIF:
Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama Dan Kebudayaan 3, no. 1 (2017): 42–60.
Yuslem,
Nawir. “KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM PRAKTEK KEAGAMAAN MASYARAKAT GLOBAL.” Journal
Analytica Islamica 3, no. 2 (2014): 193–207.
[1] Idris
Idris, “Pandangan Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,” AL-THIQAH-Jurnal
Ilmu Keislaman 1, no. 01 (2018),hlm : 24–34.
[3] Lilik
Faiqoh, “HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI,” Farabi: Journal
of Ushuluddin & Islamic Thought 14, no. 1 (2017), hlm : 227-240.
[4] Akrimi
Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Hadis Nabi,” Addin
7, no. 2 (2015), hlm :27-250.
[5] Abd
Majid Abd Majid, “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
(Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM),” Jurnal
Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018) hlm: 114–123.
[6] Nawir
Yuslem, “KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM PRAKTEK KEAGAMAAN MASYARAKAT GLOBAL,” Journal
Analytica Islamica 3, no. 2 (2014), hlm : 193–207.
[7] Darmawan
Tia Indrajaya, “Konstribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum
Islam,” Hukum Islam 13, no. 1 (2013), hlm : 1–12.
[8] Masyhadi
Masyhadi, “Hadits Prespektif Fazlur Rahman,” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan
Penyiaran Islam 1, no. 2 (2017), hlm : 93–104.
[9] Mochammad
Asrukin and M. Si, “HADITS: Sebuah Tinjauan Pustaka Oleh: Drs. Mochammad
Asrukin, M. Si.,” n.d,hlm: 13-50.
[10] Riza
Nazlianto and M. A. Lc, “ḤADĪTS ZAMAN RASULULAH SAW DAN TATACARA PERIWAYATANNYA
OLEH SAHABAT,” Al-Mursalah 2, no. 2 (2018),hlm: 8-30.
[11] Fajri
Chairawati and Chairul Muluk, “KEILMUAN MUBALLIGH DI KOTA BANDA ACEH,” Jurnal
Al-Bayan 23, no. 2 (2018),hlm: 207-231.
[12] Abbas
Abbas, “KENDALA-KENDALA PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA PRODI PAI JURUSAN
TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH,” Sarwah: Journal of Islamic Civilization and
Thought 15, no. I (2016),hlm: 12-35.