Rabu, 27 November 2019

Pemahaman masyrakat terhadap hadis sebagai sumber hukum kedua


PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
Siti Zubaidah, Pija Napitupulu, Marito Harahap, dan Aditya Pratama
Pendidikan Agaam Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Adityaharahap098@gmail.com




Abstrak
 Pola gagasan Muhammad Iqbal khususnya pada pembaharuan hukum Islam di India antara lain dipengaruhi oleh dinamika masyarakat Eropa dan pemahaman terhadap al-quran dan al-Hadits sebagai sumber etika mampu menangkap perkembangan zaman. Kemampuan al-quran dalam memberikan solusi untuk masalah yang berkembang dan kompleks terletak pada kemampuan orang Islam dalam memahami konten khususnya  hukum. Begitu juga dengan hadits pemahaman yang bersifat situasional. Menurutnya perubahan mekanisme ijtihad harus dilakukan yaitu kewenangan ijtihad yang selama ini berada pada orang-orang tertentu atau bersifat individual untuk ijtihad kolektif. Ini pandangan kritik baik dari muslim lingkaran sendiri serta diasumsikan barat orentalis itu mengadopsi dari konsep imam di agama katolik.

Abstract
 Pattern idea of Muhammad Iqbal specially at renewal of Islam law in Indiais among others influenced by European society dynamics and its understanding to an al-qur and of al-hadis as source of ethics able to catch growth of epoch. Ability of al-quran in giving solution to problems which ever expand and complex to progressively lay in ability of Islam people in comprehending  specially its law content. So also with hadis claim the understanding of having the character of is circumstantial. According to him Change of mechanism of ijtihad must be done that is authority of ijtihad which during the time reside in at certain people or have the character of individually to collective ijtihad. This view harvest various criticism either from moslem circle alone as well as assumed west orentalis it adopt from priest concept at catholic religion

Kata kunci: Pemikiran; Muhammad Iqbal; Hukum Islam 

Pendahuluan
Berdasarkan hasil penelitian  siti zubaidah, telah ditemukan bahwa untuk menyelesaikan kasus pemahaman masyarakat sumber hukum kedua Islam sebagai sistem hidup mencakup berbagai aspek kehidupan baik kolektif maupun individual termasuk dalam aspek hukum. Al Qur‟an dan Hadits diyakini sebagai sumber hukum. Al Quran sebagai sumber hukum pertama, memuat prinsip-prinsip dasar untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta dalam berbagai kondisi sepanjang perjalanan sejarah manusia. Oleh karenanya, Al Qur‟an tidak menguraikan permasalahan hidup secara detail sebagaimana halnya kitab undangundang. Untuk itu manusia dituntut untuk mampu menerjemhkan serta mengaplikasikan pesan Al Qur‟an tanpa mengabaikan realitas kehidupan dinamika sosial yang senantiasa mengalami perubahan. Tuntutan ini menjadi tantangan sekaligus problematika umat. Penyikapan terhadap Al Qur‟an melahirkan ekspresi keagamaan yang beragam, salah satunya adalah perlakuan yang tidak proporsional serta cenderung memahaminya secara parsial. Pada gilirannya, terjadi pemisahan secara mekanis antara ayat yang bersifat hukum dan non hukum.
 Demikian halnya dengan al Hadits sebagai sumber kedua. Tidak luput dari kontradiksi umat baik kebenaran isi (matan) maupun rantai periwayatan (sanad). Bahkan ketika suatu hadits telah dinyatakan shahih itupun masih menyisakan perdebatan umat dalam menyikapinya baik tekstual, kontekstual maupun dengan problem kebahasaan (semantik). Dalam menggali solusi untuk permasalahan yang terjadi pada hadits inipun banyak melahirkan sikap yang tidak proporsional.
Berbagai kenyataan di atas, merupakan realita masyarakat muslim India yangcenderung memahami teks-teks keagamaan secara parsial dan tidak proporsional. Kondisi inilah yang pada gilirannya melatarbelakangi Muhammad Iqbal untuk melakukan penyadaran alam pikiran masyarakatnya dalam memahami dan mengekspresikan  teks-teks keagamaan pada tataran implikatif. Dengan melalui gagasan serta pemikirannya baik tertuang pada berbagai macam buku maupun artikelnya bahkan dalam karya-karya sastranya yang kental dengan nuansa religius, beliau merealisasikan obsesinya itu.  


Biografi Singkat

 Nama lengkapnya adalah Sir Muhammad Iqbal. Tidak ada kesepakatan mengenai tahun kelahirannya, Wilfred Cantwell Smith berpendapat bahwa M. Iqbal lahir pada tahun 1876, [1]Bahrum Rangkuti mengatakan bahwa M. Iqbal lahir pada 22 Februari 1873[2], sedangkan menurut Prof.J.Marek dari Universitas Praha, yang juga dikuatkan dengan kedutaan Besar Republik Islam Pakistan untuk memperingati 100 tahun kelahiran M. Iqbal pada tahun 9 November 1877[3].  
M.Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan (dulu masih menjadi wilayah India). Ia keturunan kasta Brahmana Kasmir, nenek moyangnya memeluk Islam tiga abad sebelum kelahirannya. Ayahnya adalah Muhammad Noer, dan kakeknya Muhammad Rafiq, seorang sufi terkenal. Ibunya bernama Imam Bibi.[4]
Pendidikan formalnya diawali pada Scottish Mission School, Sialkot. Di bawah bimbingan Sayyid Mir Hassan yang sangat berpengaruh pada pembentukan keprribadian M. Iqbal di kemudian hari. Setelah menyelesaikan pendidikannnya pada tahun 1985 , ia melanjutkan studinya di Government College, Lahore. Ia berguru pada Sir Thomas Arnold seorang orientalis asal Inggris yang menjadi guru besar di Universitas Aligarh dan Government College. Lewat Arnold, Iqbal mulai berkenalan dengan filsafat barat, bahkan ia dianjurkan oleh sang guru untuk memperdalam filsafat secara intens di Eropa.
Pada tahun 1905 ia berangkat ke Inggris dan belajar di Cambridge University dan mengambil gekar Doctor di munich, Jerman dan berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1908. [5]
Menurut W.C. Smith, perkembangan pemikiran keislaman M. Iqbal dipengaruhi oleh tiga hal, sebagai sikap kritis ketika ia berada di Eropa. Yakni Vitalitas dan dinamisme masyarakat Eropa dalam menghadapi problematika hidup, potensi orang-orang barat yang telah dikembangkan sementara orang timur belum memimpikannya, dan kehidupan Eropa yang menciptakan pribadi yang terpecah (sekularisme). [6]Dua realita pertama, mengandung hal-hal positif dan tidak bertentangan dengan Islam untuk dikembangkan dalam upaya pembaharuan kembali pemikiran Islam. Dan hal ketika sarat nilai destruktif yang dikecam keras olehnya, hal ini seperti terungkap pada salah satu syairnya:
“Walau Eropa dikelilingi pesona seni dan ilmuSebenarnya lembah kegelapan iniKekurangan Mata Air Kehidupan .............. Laksana buah yang ranum Eropa hampir gugurBiarlah kita saksikan, dalam pangkuannyaIa meluncur” [7]
M. Iqbal mengalami pergulatan pemikiran dalam menghadapi nilai-nilai Eropa hingga ia mencari alternatif dengan menyelami ajaran tasawuf panteisme. Meski pada perkembangannya ia menolak ajaran panteisme dan menekankan pentingnya mengembangkan potensi diri dan akal manusia. Pergeseran pemikiran ini ditandai dengan karyanya “Asrar-l Khuldi” dan “Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam”.
Pada tahun 1908, ia kembali ke kampung halaman. Iqbal adalah pribadi yang rendah hati dan mengakui kesalahan masa lalunya sebagai konsekwensi dari perubahan pemikirannya, hal ini terlihat pada salah satu pengakuannya: “Saya tidak merasa malu untuk mengakui bahwa cukup lama saya menganut gagasan-gagasan para sufi, dan setelah merenungkannya, menemukan bahwa gagasan-gagasan tersebut tidak islami. Misalnya konsep Ibn’Arabi tentang keabadian jiwa sempurna atau panteisme...”
Dengan Asrar-l Khuldi, Iqbal menegaskan bahwa setiap manusia harus mengembangkan potensi diri dalam mengemban tugas kekhalifahan yang disadari kecintaan kepada Allah. Pada gilirannya melahirkan manusia “Superman” atau Insan Kamil.  Manusia tidak boleh menafikan eksistensinya dan harus senantiasa berusaha mengembangkan kesempurnaan dan keunikan yang dimilikinya, serta melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat tentang penciptaan manusia (Adam) yang berbeda dengan penafsiran kebanyakan ulama.
Potensi yang dimiliki manusia dan kaitannya dengan dinamika sosial dijadikan Iqbal sebagai kerangka dasar dalam mengembangkan konsep ijtihad dalam menghadapi tantangan modernitas. Bahkan pola pikirnya yang demikian memiliki andil besar terhadap berdirinya negara Islam Pakistan sebagai hasil perjuangan melawan penjajah dan pergolakan politik di India Pra-kemerdekaan.


Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, ada dua permasalahan yang dibahas, pertama, bagaimana pendapat pemikiran iqbal, dan kedua, bagaiamana pembaharuan hukum islam.
Metode Penelitian
 Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memerlukan dukungan dari sumber lainnya. Langkah-langkah berkaitan dengan restrukrisasi penyelesaian pemahaman masyarakat, adapun tahapan yang dilalui melalui pendekatan penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif, baik dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum.
Pemikiran-Pemikiran  M. Iqbal
Pemikiran Iqbal tampak dalam hal-hal seperti berikut ini.  Pertama,  dia menggabungkan ilmu kalam, tasawuf, falsafah, ilmu sosial dan sastra dalam pemikirannya sebagai rangka untuk memahami ajaran Islam. Dengan demikian ia menggunakan perspektif secara luas, yang membedakannya dari pemikir Muslim lain kebanyakan parsial dan hanya menekankan pada segi tertentu. Kedua, dalam memahami kondisi umat Islam dan perkembangan pemikirannya, ia tidak memisahkan falsafah dan teologi dari persoalan sosial budaya yang dihadapi umat Islam. Ini membuatnya menjadi seorang filosof dan  budayawan yang berwawasan luas. Ketiga, pikiran-pikirannya yang paling cemerlang sebagian besar diungkapkan dalam puisi yang indah dan menggugah, sehingga menempatkan diri sebagai penyair-filosof Asia yang besar pada abad ke-20. Pembaca  yang tidak puisi-puisinya, tidak akan menangkap keagungan pemikirannya.   
 Keempat,  dia berpendapat bahwa penyelamatan spiritual dan pembebasan kaum Muslim secara politik hanya dapat terwujud dengan cara memperbaiki nasib umat Islam dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Pandangannya senantiasa bertolak dari ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis. Bagi Iqbal, dengan melihat sejarah masyarakat Asia, agama memainkan peranan penting dalam kehidupan umat manusia, termasuk perkembangan peradaban dan kebudayaan. Mengeritik penyimpangan dan pengaburan ajaran agama oleh para sultan, ulama, cendekiawan dan pemimpin Islam yang menjadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi. Semua itu bagi Iqbal merupakan sumber degradasi moral umat. Dia sangat kritis terhadap peradaban dan kebudayaan Barat, sebagaimana terhadap Islam. Menurut Iqbal, peradaban dan kebudayaan Islam hanya bisa dimajukan dengan melakukan dua hal secara serentak, yaitu idealisasi Islam dan pembaruan pikiran agama. Untuk bisa bangkit dari kejatuhan, kaum Muslimin harus memiliki akses pada kebanaran ajaran agama dan sejarah panjang peradabannnya.
Pemikiran Politik M. Iqbal terlihat Sepulangnya dari Eropa Iqbal terjun ke dunia politik, bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legislatif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar „Sir‟ oleh pemerintah Kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di bidang intelektual dan politiknya.  [8]
Gelar ini menunjukan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas kemampuan intelektualitasnya dan memperkuat bargaining position politik perjuangan ummat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day. 
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin ummat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan ke berbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal) , bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris. Bagi Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu. 
Sebagai seorang negarawan yang matang, tentu pandangan- pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahamannya yang dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap ummat Islam dan identitas keislamannya.
 Ummat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis. Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan ummat Islam kepada Barat baik secara personal maupun sosial dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan menghancurkan peradaban Islam. 
Diantara paham Iqbal yang mampu „membangunkan‟ kaum muslimin dari „tidurnya‟ adalah “dinamisme Islam”, yaitu dorongannya terhadap ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif „lebih baik‟ dari pada muslim yang „suka tidur‟.
 Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme. 
M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya : “Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhirakhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu”. [9]
Demikian tegasnya prinsip Iqbal, maka ia berpandangan bahwa dalam Islam politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kepercayaan diri inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
Pemikiran dalam Pembaharuan Hukum Islam dan Pengaruhnya.
 Pembaharuan Hukum Islam sebagaimana dilakukan M. Iqbal tidak terlepas dari pandangannya terhadap sumber-sumber hukum Islam. Hal ini dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Pertama, Al Qur‟an. Seperti disinggung pada awal pembahasan bahwa Al Qur‟an adalah sumber etika yang mencakup berbagai aspek hidup termasuk aspek hukum, hanya memuat prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan untuk dikembangkan pada berbagai perubahan yang terjadi sepanjang sejarah manusia, maka Al Quran selalu relevan dengan gerak masyrakat melalui mekanisme ijtihad.
Belajar dari kegagalan Yahudi yang mementingkan sisi legalitas dan kehidupan duniawi di satu pihak, dan kegagalan Nasrani di satu pihak dalam memberikan nilai-nilai pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi oleh karena lebih mementingkan aspek spiritual saja. Maka Islam dengan ajaran Al Qur‟an mengajarkan keseimbangan antara aspek duniawi dan ukhrawi. Atas dasar pemikiran ini maka perlu menyatukan agama dan negara. Meskipun M. Iqba bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa adanya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.
Pemahaman yang universal serta utuh terhadap Al Qur‟an menggerakkan umat untuk lebih kreatif dan dinamis dalam menyelesaikan berbagai problematika sebagai konsekwensi dari perubahan kondisi reel suatu masyarakat dengan melalui pendekatan rasional terhadap Al Qur‟an yang menghargai gerak dan perubahan. Kendati demikian, M.Iqbal tidak mengabaikan dimensi lain di dalam Al Qur‟an yang bersifat konstan bahkan harus dipertahankan kemapanannya. Sebagaimana kritik Iqbal terhadap tuntutan Zia Gokalp, penyair dan sosiolog Turki yakni menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam masalah thalak, perceraian dan warisan. [10]
Kedua, al Hadits. Kajian Iqbal terhadap hadits didasarkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang berkembang pada waktu itu. Pandangan ini dikembangkan beliau di tengah tarik ulur kedudukan hadits sebagai sumber hukum antara umat Islam di suatu pihak, dan kaum orientalis di lain pihak yang sampai hari ini masih terus berlangsung. 
Iqbal sepakat dengan apa yang telah dikemukakan oleh Syah Waliyullah perihal hadits. Yakni bahwa dalam meyampaikan risalah Tuhan Nabi Muhammad yang berisi hukum-hukum misalnya, membawakannya secara umum serta tidak mengabaikan kebiasaaan, atau kondisi reel masyarakat yang dihadapinya ketika itu dan dijadikan kerangka dasar untuk membangun syari‟at Islam yang universal. Beliau menanamkan prinsip-prinsip dasar syari‟at “ dar u mafasid wa jalbu al mashalih”, juga memperhatikan adat istiadat serta tradisi daerah setempat[11].
Kaitannya dengan keyakinan bahwa Islam sebagai rahmatan lil‟alamin tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maka apa yang Nabi sampaikan pada umat generasi pertama tidak dapat dipandang konstan atau tekstual untuk generasi selanjutnya yang dipastikan mengalami perubahan dan dinamika serta melahirkan problematika yang lebih kompleks. Sehingga hukum yang diberlakukan untuk umat generasi sesudahnya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Bahkan apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah dengan al istihsan-nya adalah sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekwensi dari memahami universalitas hukum Islam.
             Iqbal juga melakukan pembedaan antara hadits hukum dan non hukum juga hadits yang mengandung kebiasaan pra-Islam. Beliau melakukan pemilahan posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul dan Manusia (hakim, mufti dan pemimpin umat). Walaupun sebelumnya al-Qarafi telah mendahului dalam melakukan pemilihan itu.
Dengan demikian, Iqbal memahami secara kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang dan bukan sebagai koleksi peraturan tingkah laku muslim yang kaku, mengabaikan atau tidak realistis terhadap dinamika masyarakat. Apa yang diajarkan oleh nabi terhadap generasi awal adalah contoh dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam hadits itulah hakekat hadits Nabi.
 Dalam menggali pesan teks keagamaan yang universal, tentu dibutuhkan upaya maksimal yang familier dengan sebutan ijtihad. Ijtihad itu sendiri mengalami pasang surut bahkan hukum Islam mengalami stagnasi selama lima ratus tahun. Hal ini menjadi sejarah gelap umat muslim, yang disebabkan kekhawatiran terjadinya disintegrasi umat pasca jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol. Iqbal merasa bahwa ijtihad merupakan kebutuhan urgen dalam mengembangkan hukum Islam yang mengacu pada kepentingan umat dan kemajuan umum. Maka perlu segera mengalihkan kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif atau ijma‟. Menurutnya peralihan ijtihad individual yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat bagi ijma‟, hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang hilang.  Komposisi anggota lembaga legislatif hukum Islam ini beragam bahkan bukan saja melibatkan ulama tapi harus melibatkan orang awam tentang hukum Islam tapi memiliki pandangan yang tajam mengenai  problem sosial yang berkembang di masyarakat. Apalagi dalam Sunni tidak mengenal kekuasaan hirarki yang ketat di dalam staratafikasi sosial sebagaimana berlaku pada masyarakat Syi‟ah yang otoritas penetapan hukum dipegang oleh Imam yang tak terbantahkan (maksum).
Iqbal berpandangan bahwa hasil rumusan ijma tidak harus mengikat seluruh umat Islam. Tapi keberlakuan ijma kolektif lebih memungkinkan bersifat regional namun demikian ia menegaskan bahwa perlu dibentuk lembaga internasional negara-negara Islam yang mengatur dan mendialogkan permasalahan dan kebutuhan umat Islam di semua negara muslim. Sebab sifat dasar Islam yang lintas teritorial dan etnis.
Iqbal berpandangan bahwa ijma‟ tidak dapat menasikh al Qur‟an dan ijma‟ hanya dapat membatasi atau memperluas aturan-aturan hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an maka keberlakuannya juga tidak mengikat generasi selanjutnya.
Pandangan Iqbal tentang ijma‟ ini mengundang berbagai kritikan, diantaranya Ahmad Hasan yang beranggapan bahwa mengumpulkan ahli agama dengan ahli umum dalam merumuskan hukum Islam adalah sebuah kemustahilan bahkan kontradiksi terma. Dari kalangan orientalis adalah Rosenthal dan H.A.R. Gibb, memandang bahwa gagasan Iqbal mengadopsi dari konsep kepasturan dalam agama Katolik. Padahal Iqbal tidak pernah menyatakan kemutlakan hasil ijma‟ sebagaimana dalam tradisi katolik. [12]
Pemikiran serta gagasan-gagasan Iqbal cukup berpengaruh dalam upaya pembentukan negara Islam Pakistan yang diplokramirkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Sepeninggalan Iqbal, berkembang kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan-gagasan beliau baik yang intens maupun insidentil. Di antara cendekiawan yang serius mengembangkan gagasan-gagasannya adalah Fazlu Rahman, meskipun tidak secara utuh. Sebab disamping melakukan pembelaan terhadap Iqbal dari serangan orientalis ia juga memberikan kritik dalam beberapa hal. Pemikiran Iqbal mengenai alam semesta, manusia dan Al Qur‟an cukup mendapat tempat dan dikembang oleh Fazlu Rahman. Ia lebih mempertajam pandangan Iqbal mengenai Al Qur‟an, menurutnya Al Qur‟an sebagai kitab yang berisi moral dan etik, bukan dokumen yang memuat hukum-hukum yang kaku. Dan ia menjelaskan tujuan-tujuan dan prisip yang menjadi esensi hukumhukum.  Dalam menafsirkan al Qur‟an secara integral dan komprehensif, ia menetapkan tiga hal yang tidak boleh diabaikan yakni : memperhatikan latar belakang sejarah turunnya Al Qur‟an sehingga bisa dipahami makna teksnya, membedakan antara ketetapan hukum dan sasaran atau tujuan moral yang dikandung Al Qur‟an, dan terakhir memahami dan menetapkan sasaran dari tujuan Al Qur‟an dengan memperhatikan latar belakang sosio-historisnya.
Rahman juga memandang hadits sebagai konsep yang memuat prinsipprinsip moral yang universal dan harus dipahami secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Ijtihad dalam pengertian jihad intelektual, bagi Rahman menjadi hak tiap muslim yang memiliki kemampuan dan tidak menjadi otoritas golongan tertentu. Ia juga menolak terhadap pembagian ijtihad: ijtihad muthlaq, muqayyad dan fi al mazhabi. Rahman juga mendukung pembentukan lembaga ijma‟. [13]
Pemikiran Iqbal juga mempengaruhi beberapa intelektual muslim Indonesia, antara lain Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Pengembangan gagasan Iqbal oleh Ahmad Syafi‟i Ma‟arif terlihat dalam usahanya untuk membedakan antara Islam sejarah (historic Islam) dan Islam cita-cita (Ideal Islam). Pandangannya ini sangat mirp dengan prinsip Dinamika dan Konservasi –nya Iqbal. Ia mengungkapkan pentingnya melakukan gerakan tajdid, yang dipengaruhi oleh tiga faktor : Pertama, pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin transedental tidak pernah bernilai mutlak, kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil „alamin dalam ruang dan waktu. Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan ajaran Islam pernah ditujukan secara kreatif oleh generasi sahabat, terutama khalifah Umar. Hal ini tidak aneh oleh karena Ma‟arif adalah murid Fazlu Rahman, sementara Rahman mengelaborasi gagasan-gagasan Iqbal. Demikian juga dengan intelektual muslim Indonesia lainnya, seperti Harun Nasution dan Djohan Effendi.

Penutup
            Sumbangan pemikiran Muhammad Iqbal dalam pembaharuan hukum Islam di India tidak terlepas dari pemahamannya terhadap al quran dan al hadits sebagai sumber hukum Islam. Dia memahami al quran sebagai sumber etika yang senantiasa relevan dengan perubahan dan dinamika masyarakat  melalui mekanisme ijtihad. Dan hadits dalam pemahaman Iqbal bukanlah koleksi peraturan tingkah laku yang kaku atau tekstual.
Kompleksitas kehidupan perlu  baginya disikapi dengan melakukan perpindahan dari kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif yang tidak mengikat seluruh umat Islam tetapi dimungkinkan bersifat regional. Dan Ijma menurutnya tidak dapat menasakh al qur’an tetapi hanya dapat membatasi atau memperluas aturan yang terkandung dalam al qur’an.
Pemikirannya mengenai al quran, alam semesta dan manusia selanjutnya dikembangankan Fazlurahman meskipun tidak secara utuh dan khusus gagasan Iqbal mengenai al quran dikembangkan secara tajam olehnya.  Dan melalui Fazlurahman beberapa tokoh intektual muslim Indonesia mengembangankan pemikiran Muhamad Iqbal di Indonesia.
Saran
Diperlukan adanya sosialisasi tentang keberadaan pembaharuan dalam pemahaman masyarakat terhadap sumber hukum kedua untuk mengurangi keterbatasan ketidak pahaman sebagian masyarakat  pada zaman modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
 Abbas, Abbas. “KENDALA-KENDALA PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA PRODI PAI JURUSAN TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH.” Sarwah: Journal of Islamic Civilization and Thought 15, no. I (2016).
Asrukin, Mochammad, and M. Si. “HADITS: Sebuah Tinjauan Pustaka Oleh: Drs. Mochammad Asrukin, M. Si.,” n.d.
Chairawati, Fajri, and Chairul Muluk. “KEILMUAN MUBALLIGH DI KOTA BANDA ACEH.” Jurnal Al-Bayan 23, no. 2 (2018).
Faiqoh, Lilik. “HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI.” Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic Thought 14, no. 1 (2017).
Fitriani, Fitriani. “Hadist Maudhu’.” AL-FURQAN 2, no. 1 (2013): 45–62.
Idris, Idris. “Pandangan Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam.” AL-THIQAH-Jurnal Ilmu Keislaman 1, no. 01 (2018): 24–34.
Indrajaya, Darmawan Tia. “Konstribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam.” Hukum Islam 13, no. 1 (2013): 1–12.
Majid, Abd Majid Abd. “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM).” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018): 114–123.
Masyhadi, Masyhadi. “Hadits Prespektif Fazlur Rahman.” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 2 (2017): 93–104.
Matswah, Akrimi. “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Hadis Nabi.” Addin 7, no. 2 (2015).
Nazlianto, Riza, and M. A. Lc. “ḤADĪTS ZAMAN RASULULAH SAW DAN TATACARA PERIWAYATANNYA OLEH SAHABAT.” Al-Mursalah 2, no. 2 (2018).
Surahmad, Surahmad. “METODE PEMAHAMAN HADIS NABI SYAIKH YUSUF AL-QARADHAWI.” INOVATIF: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama Dan Kebudayaan 3, no. 1 (2017): 42–60.
Yuslem, Nawir. “KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM PRAKTEK KEAGAMAAN MASYARAKAT GLOBAL.” Journal Analytica Islamica 3, no. 2 (2014): 193–207.



[1] Idris Idris, “Pandangan Orientalis Tentang Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam,” AL-THIQAH-Jurnal Ilmu Keislaman 1, no. 01 (2018),hlm : 24–34.
jhb[2] Surahmad Surahmad, “METODE PEMAHAMAN HADIS NABI SYAIKH YUSUF AL-QARADHAWI,” INOVATIF: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama Dan Kebudayaan 3, no. 1 (2017),hlm : 42–60.
[3] Lilik Faiqoh, “HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI,” Farabi: Journal of Ushuluddin & Islamic Thought 14, no. 1 (2017), hlm : 227-240.
[4] Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Hadis Nabi,” Addin 7, no. 2 (2015), hlm :27-250.
[5] Abd Majid Abd Majid, “DISKURSUS TENTANG TIPOLOGI HADIS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Analisis Terhadap Keberadaan Hadits Maudhuâ€TM),” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 14, no. 2 (2018) hlm: 114–123.
[6] Nawir Yuslem, “KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM PRAKTEK KEAGAMAAN MASYARAKAT GLOBAL,” Journal Analytica Islamica 3, no. 2 (2014), hlm : 193–207.
[7] Darmawan Tia Indrajaya, “Konstribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam,” Hukum Islam 13, no. 1 (2013), hlm : 1–12.
[8] Masyhadi Masyhadi, “Hadits Prespektif Fazlur Rahman,” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 2 (2017), hlm : 93–104.
[9] Mochammad Asrukin and M. Si, “HADITS: Sebuah Tinjauan Pustaka Oleh: Drs. Mochammad Asrukin, M. Si.,” n.d,hlm: 13-50.
[10] Riza Nazlianto and M. A. Lc, “ḤADĪTS ZAMAN RASULULAH SAW DAN TATACARA PERIWAYATANNYA OLEH SAHABAT,” Al-Mursalah 2, no. 2 (2018),hlm: 8-30.
[11] Fajri Chairawati and Chairul Muluk, “KEILMUAN MUBALLIGH DI KOTA BANDA ACEH,” Jurnal Al-Bayan 23, no. 2 (2018),hlm: 207-231.
[12] Abbas Abbas, “KENDALA-KENDALA PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA PRODI PAI JURUSAN TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH,” Sarwah: Journal of Islamic Civilization and Thought 15, no. I (2016),hlm: 12-35.
[13] Fitriani Fitriani, “Hadist Maudhu’,” AL-FURQAN 2, no. 1 (2013),hlm: 45–62.

Selasa, 12 November 2019

Takrijul Hadis


Takhrijul Hadis “(Fa ahsana Ta’dibah”). Pendahuluan, Pencarian ke sumber asli,I’tibar,skema sanad, Tarjamah al-Ruwat dan Naqd al-sanad,Natijah, Pensyarahan Hadis, Hasil Takrij, Penutup
Keluarga Adalah Segalanya
PENDAHULUAN
Dalam Islam, hadis merupakan pentunjuk dan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Selain menjadi sumber hukum kedua, hadis mempunyai kedudukan sebagai syarah dan bayân bagi al-Quran. Berbeda halnya dengan al-Quran; yang diturunkan baik lafal maupun maknanya dari Allah Swt. hadis terbagi dua. Pertama, hadis yang maknanya dari Allah Swt. sedangkan lafalnya dari Nabi Saw. hadis model ini dikenal dengan Hadits Qudsî. Kedua, hadis yang makna dan lafalnya murni dari Nabi Saw. Hadis ini dikenal dengan Hadits Nabawî. Selain itu, pola periwayatan dan pengodifikasian hadis dan al-Quran berbeda. al-Quran disampaikan oleh Allah Swt. melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Saw. yang pelayanan dan perhatiannya sudah dilakukan semasa Nabi Saw. masih hidup. 
Sedangkan hadis, penulisanya memang sudah ada pada masa awal Islam. Hal itu terbukti dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh M. Azami, bahwa sedikitnya terdapat 52 orang sahabat yang memiliki tulisan hadis, meskipun ada pelarangan dari Nabi Saw. pada masa awal untuk menuliskannya. Hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian, bukan berarti tidak ada tulisan sama sekali dan hanya terbatas pada skala kecil.
Merupakan suatu keyakinan mayoritas umat Islam, kalau boleh dikatakan seperti itu, bahwa Sunnah Nabi adalah salah satu sumber ajaran terpenting setelah kitab suci Alquran QS Al-Hasyr (59):7; Ali Imran (3)  :32; Al-Nisa (4) :80; Al-Ahzab (33) 21). Posisi Alquran dan Sunnah Nabi, walaupun diyakini memiliki karakter yang berbeda, telah menempati posisi yang sangat strategis karena keduanya tidak bisa saling dipisahkan. Relasi keduanya ibarat menempati sekeping koin mata uang yang tidak bisa saling otonom satu dengan lainnya. Oleh karena itu,  harus selalu digandengkan dalam memahami salah satunya, baik dalam memahami Alquran atau memahami Sunnah, maupun dalam memahami keduanya sekaligus .
Pencarian ke Sumber asli
          Nabi sebagai Rasul, sebagaimana dikemukakan Yaqub, telah diberi wewenang oleh Allah swt. untuk menyampaikan segala firman atau wahyu yang diterima Nabi melalui Jibril dalam bentuk Alquran sebagai kitab suci. Kehadirannya berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan membawa ajaran dalam ruang yang lebih luas secara kosmik sebagai rahmatan li al-alamin. Akan tetapi, karena Alquran kebanyakan turun dengan ayat-ayat yang bersifat  umum, maka sekali lagi posisi Nabi kembali menjadi sangat sentral untuk langsung menjadi penafsir pertama terhadap ayat-ayat Alquran yang umum tersebut. Agar pesan Tuhan melalui ayat-ayatNya bisa diterapkan sesuai dengan kehendak petunjuk atau maksud (dalalah) Alquran dan sesuai pula dengan kondisi ril masyarakat Arab, sebagai objek pesan dari Alquran tersebut.  Arkoun menyatakan bahwa proses dari kegiatan “menafsir” Alquran itulah yang kemudian terimplementasi dalam tindakan perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau taqrir yang diambil oleh Rasul dalam dimensi historisitas-profetik. Aktivitas Nabi seperti tersebut di atas yang kemudian disebut sebagai Sunnah Nabi. Dalam masa sesudah Nabi dan para sahabat, istilah ini dibakukan secara verbal dan berubah menjadi “korpus resmi teks” dengan sebutan hadis, sebagai bagian dari realitas Sunnah, yang terlembaga dalam berbagai kitab-kitab hadis. Nabi dalam proses pengajaran Sunnah kepada para sahabat, biasanya menggunakan beberapa metode yang antara lain, menggunakan metode secara verbal/lisan, metode tulis dan dikte kepada juru tulis Nabi, dan metode demonstrasi praktis. Kegiatan periwayatan pada masa Nabi pada dasarnya telah mulai berlangsung, baik melalui pendengaran langsung dari Nabi,  melalui hafalan dari sahabat, maupun dari catatan pribadi yang dimiliki oleh sahabat tertentu, meskipun dalam tingkat yang sangat sederhana, karena proses cek dan ricek atas nilai kebenaran hadis tidak terlalu sulit.  [1]Apabila sahabat ragu terhadap kebenaran suatu hadis, maka langsung saja dapat menanyakannya kepada sumber yang meriwayatkan atau langsung menanyakan kepada Nabi. Artinya, penerimaan hadis tidak terlalu melibatkan suatu seleksi yang ketat, baik dari segi sanad maupun matan karena unsur kepercayaan akan otentisitas hadis yang diterima dan diyakini, bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena Nabi sendiri masih hidup dan sahabat yang meriwayatkan belum terpencar ke daerahdaerah lain di luar Madinah. Di samping,  para sahabat adalah figur pribadi yang adil, serta didukung oleh pengaruh lingkungan yang belum terkontaminasi jaringan konflik yang saling memperebutkan kepentingan-kepentingan hidup .  Keadaan tersebut berubah, terutama setelah terbunuhnya khalifah Usman, di mana timbul suatu kecurigaan di antara para sahabat dan berujung kepada pertikaian politik di masa Ali dan Muawiyah. Akibatnya, muncullah ketegangan-ketegangan politik yang berdampak pada persoalan teologi dan juga mempengaruhi  periwayatan hadis. Akibatnya, kejadian politik tersebut menimbulkan efek  yang melibatkan sahabat atau tabiin yang pro dan kontra dalam dua kubu di atas. Dengan kata lain, pada masa itu segala persoalan keilmuan, selalu melibatkan suatu persinggungan dengan realitas politik, tidak terkecuali tentunya perkembangan ilmu hadis. Hal inilah yang menimbulkan lahirnya beberapa disiplin ilmu baru dalam proses penerimaan, pelestarian dan pengamalan hadis. Ulama hadis dengan sangat hati-hati dan selektif  menyeleksi hadis-hadis Nabi melalui studi kritik sanad dan matan yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Sebagai langkah awal sebelum memulai proses tersebut, para ulama biasanya memulainya dengan melakukan takhrij al-hadis  karena hadis-hadis Nabi biasanya telah dibakukan  dalam kitab-kitab hadis induk yang sangat banyak dengan kualitas hadis yang  beragam.
I’tibar
          Menurut  al-Tahhan, kemunculan takhrij al-hadis  terkait dengan konsep sejarah yang membentang dari proses perkembangan ilmu hadis. Para ulama hadis yang tergolong mutaqaddimin belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis. Karena pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang kuat terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi. Misalnya, ketika seorang ulama membutuhkan suatu hadis, dalam waktu yang singkat dapat menemukan tempatnya dalam berbagai kitab hadis, bahkan sampai juz dan halamannya pun mereka ketahui. Kondisi ini karena sekali lagi memperlihatkan kapasitas ulama yang selalu „intim dengan periwayatan dan didukung pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat terhadap segala yang berhubungan dengan hadis Nabi.   Keadaan  itu berjalan cukup lama, namun seiring perjalanan waktu, tradisi pengetahuan yang luas dan hafalan yang kuat terhadap riwayat hadis, menjadi semakin menurun grafiknya. Akibatnya, mulai timbul kesulitan  menemukan sebuah hadis, sumber dan statusnya untuk difungsionalisasikan dalam ilmu-ilmu agama yang lain sebagai unsur legitimasi. [2]Dari sinilah timbul kegelisahan ulama, sehingga mereka mengarang kitab takhrij untuk memudahkan dan menghilangkan rintangan tersebut. Jadi, kitab-kitab tersebut berguna secara praktis dalam rangka menemukan hadis dari sumber riwayat dan mengetahui derajat dari otentisitas dan nilai sebuah hadis dengan cara melakukan komparasi riwayat. Menurut Ismail, setelah dirangkum dari sekian banyak, minimal ada tiga urgensi dari eksistensi dari takhrij al-hadis, yaitu; 1), untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan tidak diketahui asal-usul atau sumber hadis sangat sulit mengetahui susunan dari pengambilan sanad dan matan hadis, yang akan berdampak pada kesulitan meneliti hadis secara cermat, apalagi menilai suatu hadis. Maka takhrij  dalam hal ini diperlukan. 2), untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Adakalanya suatu hadis memiliki lebih dari satu sanad, sehingga dari masingmasing terkadang tidak memiliki kualifikasi yang sama dalam derajat kesahihannya. Sehingga dengan metode takhrij dapat diketahui dari berbagai sanad yang terkumpul, dan 3), untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi pada sanad yang diteliti. Ketika suatu hadis terdapat berbagai sanad dalam jalurnya, mungkin terdapat dalam salah satu jalur sanad itu yang mendukung (corroboration), dalam tingkat pertama, yakni sahabat yang disebut syahid atau  pada tingkat kedua, yakni tabiin disebut mutabi. Sehingga jalur sanad akan semakin kuat bila terdapat dukungan dari jalur sanad lain pada tingkat syahid atau mutabi.  Ismail mengemukakan bahwa untuk mengetahui semua itu, jelas posisi takhrij menjadi penting dan strategis sebab dalam penelitian hadis, langkah yang paling awal adalah melakukan takhrij atau mengumpulkan beberapa hadis yang akan diteliti dari jalur sanad untuk dikompilasikan dengan berbagai riwayat yang ada dan terkait dari sumber riwayat hadis pertama.
Menurut Ismail, berdasarkan  kriteria dari para ahli ilmu hadis, ada empat langkah dalam melakukan penelitian kritik sanad hadis, yaitu langkah takhrij al-hadis, langkah i„tibar dalam menyusun skema sanad, langkah meneliti biografi periwayat dan kualitas riwayatnya, serta langkah menentukan kesimpulan terhadap status derajat hadis yang diteliti. Untuk langkah pertama yaitu takhrij al-hadis, penyusun sudah kemukakan sebelumnya beserta urgensi dan metode-metode dalam praktek mencari hadis, yang merupakan langkah awal dari sekian objek penelitian ilmu hadis.  Sebagaimana penyusun mengambil sampel dari operasionalisasi takhrij al-hadis dalam mencari hadis “man raa minkum munkaran..” , yang hasilnya dapat dijumpai dalam enam buah sumber kitab-kitab hadis. [3]Langkah kedua adalah melakukan itibar. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah menyertakan jalur sanad-sanad lain untuk suatu hadis tetentu, di mana hadis itu kelihatan  mempunyai seorang riwayat saja.  Kegunaan menggunakan itibar   ini adalah supaya diketahui apakah ada riwayat lain yang meriwayatkan hadis serupa pada jalur periwayat yang lain. Dengan melakukan itibar, akan terlihat dengan jelas seluruh jalur riwayat hadis, demikian juga nama para periwayat dan metode periwayatan yang ditempuh melalui indikasi pencantuman simbol-simbol transmisi hadis yang dilakukan secara cermat.  Untuk memudahkan langkah itibar ini, perlu membuat suatu skema sanad hadis dalam bentuk tabel jalur periwayat sesuai dengan sumber yang didapatkan dari penelusuran dalam proses takhrij alhadis sebelumnya dalam tema hadis mengenai  anjuran mengatasi kemungkaran.
Skema sanad
Dalam salah satu riwayat dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad-nya  sebagaimana terlihat dalam skema berikut: hal meneliti biografi dan kualitas periwayat dan persambungan sanad yang diriwayatkan. Urutan pertama dari periwayat ialah, 1) Abu Said al-Khudri, 2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syubah, 5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang membahas  ilm rijal al-hadis, yang  dalam tulisan  ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara umum adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara teoriti. Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi periwayat,  berhubungan erat dengan penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muruah dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh wa al-tadil. [4]Dengan diketahuinya aspek ini,  akan dapat diukur
 عبدالله بن احمد
 احمد بن حنبل
 ابو سعيد    الخدري
 طا رق بن شهاب
 قيس بن مسلم
 شعبة
 يزيد
Langkah ketiga adalah melakukan penelitian sanad dalam hal meneliti biografi dan kualitas periwayat dan persambungan sanad yang diriwayatkan. Urutan pertama dari periwayat ialah, 1) Abu Said al-Khudri, 2) Tariq ibn Syihab, 3), Qais ibn Muslim, 4), Syubah, 5), Yazid, 6), Ahmad ibn Hanbal, dan 7), Abdulah ibn Ahmad. Untuk meneliti berbagai biografi periwayat hadis di atas, dibutuhkan beberapa kitab yang membahas  ilm rijal al-hadis, yang  dalam tulisan  ini tidak dibahas secara mendetail, karena tujuan tulisan ini secara umum adalah memberikan informasi pengantar penelitian kritik hadis secara teoritis. Adapun mengenai tingkat kualitas sanad yang melekat dalam pribadi periwayat,  berhubungan erat dengan penelitian biografi periwayat di atas, yang menekankan pada kualitas pribadi periwayat dalam artian adil, bertakwa dan sangat menjaga muruah dalam parameter akhlak keislaman. Pada tataran ini, harus dilibatkan ilmu jarh wa al-tadil. Dengan diketahuinya aspek ini,  akan dapat diukur tingkat akuntabilitas periwayatannnya. Hal lain yang ditekankan adalah kualitas kapasitas intelektual periwayat. Untuk bidang ini, yang terpenting adalah sifat ke-dabit-an seorang periwayat. Periwayat yang dabit ialah periwayat yang hafal dan memahami dengan sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada periwayat yang lain. Berdasarkan penelitian, para periwayat yang melakukan periwayatan terhadap hadis „mengatasi kemungkaran melalui jalur Musnad Ibn Hanbal, maka semuanya dipandang sebagai berkategori siqah (adil dan dabit) dan sanadnya bersambung.   Mengenai kategori adanya syuzuz, dalam pandangan ulama hadis ialah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii adalah adanya hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh periwayat lain yang lebih siqah. Dalam penilaian Syafii, bahwa kemungkinan sanad yang diteliti tidak hanya satu. Oleh karena itu, dasar itu harus dilakukan komparasi riwayat dari semua jalur sanad yang terlihat adanya syaz. Mengenai pertentangan atau terdapatnya unsur syaz ini bisa terdapat di dalam bagian sanad dan matan. [5]Para ulama mengakui kesulitan dalam menentukan tingkat syaz dalam  kritik sanad, kecuali dengan kecermatan penelitian dengan metode komparasi dan cross reference yang ketat dan disertai kesesuaian prosedur. Adapun tentang adanya „illat dalam penelitian sanad hadis ialah dimaksudkan sebagai sebab yang tersembunyi yang bisa merusak kualitas hadis. Keberadaannya akan  menurunkan derajat kesahihan suatu hadis. Ulama hadis kebanyakan menganggap bahwa, „illat biasanya terjadi dan mengambil bentuk : 1) sanad yang tampak muttasi dan marfu, ternyata hanya sampai muttasil tetapi mauquf,; 2) sanad yang tampak muttasil dan marfu, ternyata setelah diteliti bersifat muttasil dan mursal; 3) terjadi percampuran antara bagian hadis dengan bagian hadis lain; dan 4) terjadi kesalahan ketika ditelusuri dalam penyebutan periwayat karena adanya unsur kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya. Hadis mengatasi kemungkaran di atas setelah diteliti, berdasarkan ada tidaknya unsur syaz dan „illat. Setelah dibuktikan, ternyata hadis yang diriwayatkkan oleh Ahmad ibn Hanbal melalui Yazid di atas, mempunyai jarak yang tidak jauh dan tidak banyak dari mulai periwayat pertama yaitu Abu Said al-Khudri hingga periwayat terakhir yakni Ahmad ibn Hanbal hanya dalam jenjang lima orang. Dan antara beberapa jalur periwayatan tidak ada pertentangan, bahkan saling menguatkan, karena semua periwayat berkategori siqah, bahkan dengan predikat yang tinggi, dengan tingkat ketersambungan sanad secara muttasil dan marfu. Langkah yang terakhir adalah menentukan kesimpulan dari keseluruhan penelitian dengan tolak ukur yang sudah dipaparkan. Untuk kesimpulan dari hadis mengatasi kemungkaran adalah, bahwa walaupun hadis ini banyak jalur periwayatannnya, akan tetapi tidak sampai kepada mutawatir, dan hanya berstatus hadis ahad.[6] Dalam skema seluruh sanad, periwayat pertama berstatus garib, dan mulai periwayat tingkat keempat seterusnya berstatus masyhur. Karena prosedur dari kesahihan hadis terpenuhi, maka hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal termasuk hadis sahih lizatihi.
Tarjamah ar-Ruwat
Kitab yang muncul pada permulaan abad ketiga ini ialah kitab Musnad yang salah satunya adalah Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal. Terbitnya kitab Musnad dirasa masih belum sempurna. Di dalamnya masih belum menyisihkan hadîts-hadîts dhaîf bahkan mawdhu. Untuk itu, pada pertengahan abad ketiga, para ulama ahli hadis tergerak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis itu shahîh atau dhaîf. Pada pertengahan abad ketiga ini mulai diterbitkan kitab Shahîh karya Imam Bukhari dan kitab ahîh karya Imam Muslim. Kedua kitab yang disebut terakhir menghimpun hadis yang dipandang shahîh berdasarkan kaidah dan syarat yang telah dibuat. Di samping itu, masih pada pertengah abad ketiga, selain terbit kitab Musnad dan Shahîh, muncul juga kitab Sunan yang mencakup seluruh hadis, kecuali hadis yang sangat dhaîf dan munkar.  Di antaranya yang tergolong pada kitab Sunan ini ialah Abu Dawud, at-Tirmidzi, anNasai, dan Ibnu Majah.
Penelitian hadis sangat erat kaitanya dengan takhrîj. Takhrîj merupakan langkah awal dalam penelitian hadis, karena dengan takhrîj. Pertama, kita dapat mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kedua, mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan diteliti. Ketiga, untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi di dalam sanad yang diteliti. Hal ini sangat erat sekali kaitanya dengan penentuan kualitas sebuah hadis.
Naqhad Sanad
          a. Pengertian Naqd al - Hadith
 Kata “naqd”, yang dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia diartikan dengan kritik dan penelitian secara cermat, ditinjau dari segi bahasa mempunyai beberapa makna, di antaranya: a ) ibrazal shay’ wa izharuhu (menjelaskan dan menampakkan sesuatu), b) altamyizbainal – jayyidwa al- radi’ (membedakan/menyeleksi antara yang bagus dan yang jelek), c) idamat al - naza rila al-shay’(mengekalkan pandangan terhadap sesuatu), dan d) al - intiqa’ wa al ikhtiyar  (menyeleksi dan memilih). Sebenarnya masih ada beberapa makna “naqd”  dari tinjauan bahasa selain yang penulis uraikan di atas, akan tetapi apa yang penulis sebutkan adalah makna yang cocok sejalan dengan makna istilah sebagaimana yang akan penulis utarakan di bawah ini.[7]
Menurut istilah, para pakar hadis mendefinisikan kata “ naqd”dengan beberapa definisi yang saling melengkapi sebagai berikut;
1)   al-A’z}ami mendefinisikan “ n aqd” dengan; 
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Upaya menyeleksi (membedakan) antara hadith-hadith Sahih dan da’if dan menghukumi (menetapkan) status perawi-perawinya dari segi kepercayaan ( thiqqah) dan cacat, tidak dipercaya ( Jarh) ”.
2)   Hamid Qufi mendefinisikan “ Naqd” dengan;
 تمحيص الروايات الحديثية والتمييز بين المقبول والمردود منها من خلال التمييز بين أحوال الروّاة جرحا وتعديلا, ومن خلال السند اتصالا وانقطاعا, ومن  .خلال الواقع إصابة وتخطئة
“Penelitian (secara cermat) riwayat-riwayat hadis dan pembedaan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang ditolak melalui perbedaan antara keadaan para rawi dari sisi jarh (dianggap cacat) dan ta’dil nya (dianggap adil), dan melalui sanad , muttasil (sambung) dan munqati’ (putus), dan melalui realitas yang ada, benar dan tidaknya”.
3)   Al-‘Umary mendefinisikan “ n aqd” dengan;
علم يبحث في تمييز الأحاديث الصحيحة من الضعيفة وبيان عللها والحكم على  روّاتها جرحا وتعديلا بألفاظ مخصوصة ذات دلائل معلومة عند اهل الفنّ.
“Ilmu yang membahas tentang penyeleksian hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da’if serta menjelaskan illat - illat nya dan menghukumi para rawi nya dari sisi jarh (dianggap cacat) dan ta’dil nya (dianggap adil ), dengan lafadz-lafadz tertentu yang mempunyai petunjuk yang telah diketahui oleh ahli fan (ilmu ini)”. Dari beberapa uraian definisi di atas dapat disimpulkan bahwa naqd al - hadith adalah kegiatan menyeleksi antara hadis-hadis sahih dan da’if melalui pelacakan status perawi hadis, penelitian sanad dan matan hadis.
1)   Naqd al - Sanad . dilakukan melalui dua langkah, yaitu naqd al – rawi dan naqd al-riwayah .
a)    Naqd al - Rawi .
Pengetahuan tentang rawi di dalam kajian hadis merupakan faktor penting untuk mengetahui derajat suatu hadis, dari sahih, hasan dan da’if nya, juga dapat diterima (maqbul) atau tertolaknya (mardud) suatu hadis. Karena itulah penelitian seputar kepribadian para periwayat hadis menjadi sangat urgen untuk disajikan dalam setiap naqd al-hadith, sebab hadis yang dapat diterima hanya hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang thiqqah (terpercaya). Para ahli naqd al- hadith sepakat bahwa hadis yang diterima adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang thiqqah. Sedangkan uji ke thiqqah an (keterpercayaan) rawi bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama, uji ‘adalat al-rawi (keadilan periwayat hadis) dan kedua, uji dabt alrawi (daya hafal periwayat hadis). Adalah ialah malakah (watak atau sifat yang melekat pada seseorang) yang dapat mendorong pemiliknya untuk bertaqwa, menjauhi segala dosa dan segala hal yang dapat
merusak muru’ah (harga diri). [8]Syarat-syarat ‘adalah ada lima;
a) islam, b) baligh, c) berakal sehat, d) taqwa (menjauhi dosa
besar dan tidak membiasakan perbuatan dosa kecil), dan e)
berprilaku sesuai harga diri ( muru’ah ) dan meninggalkan hal
hal yang dapat merusaknya. Sedangkan dabit ialah sifat yang dapat menjadikan rawilayak untuk meriwayatkan suatu hadis sesuai dengan yang didengarnya. Maksudnya adalah bahwa seorang
rawi harus punya sikap kesadaran penuh (mutayaqqiz) dan tidak lalai (ghairmughaffil ), kuat hafalan (hafiz) jikalau hadis yang diriwayatkannya berdasarkan hafalan, benar tulisan (dabit)
jikalau hadis yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan dan
mengetahui kata-kata yang bisa mewakili makna jikalau hadis
yang diriwayatkannya berdasarkan makna. Untuk menguji ke thiqq ahan (‘adalah dan dabt) rawi, para ahli hadis telah membuat standart penelitian dalam menilai sifat-sifat rawi yang tertuang dalam ilmu
al - jarh waal - ta'dil. al-Jarh adalah mensifati rawi dengan sifat-sifat yang dapat melemahkan periwayatannya atau menyebabkan
periwayatannya tidak dapat diterima. Sedangkan al-ta'dil
adalah mensifati rawi dengan sifat-sifat terpuji yang dapat
menampakkan ‘adalah nya sehingga  periwayatannya dapat
diterima.

Natijah
Dalam al - jarh wa al-ta'dil terdapat tingkatan periwayat yang terbagmenjadi dua tingkatan, yaitu: tingkatan ta'dil dan tingkatan jarh. Ulama’ hadis membagi tingkatan ta'dil menjadi enam tingkatan sebagai berikut: Tingkatan pertama, yang paling tinggi adalah dengan katakata yang menunjukkan mubalaghah (melebih-lebihkan), dengan shighat af'ālal-tafdil atau semacamnya , seperti: Authāq al-nās (orang yang paling dapat dipercaya) , adbāt al nās (orang yang paling teliti) , lais lahu nazir (dia tidak ada bandingannya)dan lain sebagainya. Tingkatan kedua adalah dengan menggunakan kata-kata yang dapat memperkuat ke thiqah an (keterpercayaan) rawi dengan pengulangan lafadz yang pertama, seperti;  thiqqah thiqqah,hujjah - hujjah dan thabat - thabat, maupun dengan pengulangan kata-kata yang semakna, seperti: thiq q ah - thabat , thiqqah - hujjah, hujjah - thiq qah dan lain sebagainya . [9]Tingkatan ketiga adalah dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan ‘adalah tanpa adanya pengulangan lafal atau penguatan makna, seperti: hujjah, thabat, thiq q ah, h ā fiz dan imam . Tingkatan keempat adalah dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan ‘adalah akan tetapi dengan lafazh yang memberikan indikasi ketidak-telitian (‘ adamdabt ), seperti: s ad ū q (jujur), m a'm u n (dapat dipercaya), m a h a ll u h u a l - sidq (dia dapat dipercaya). Tingkatan kelima adalah dengan menggunakan kata yang tidak menunjukkan kejujuran ( tauthiq ) ataupun kecacatan ( tajrih) rawi, seperti: la ba's bihi , lays bih ba’s (tidak apa-apa) , shaykh dan lain sebagainnya . Tingkatan keenam adalah dengan menggunakan kata yang menunjukkan arti mendekati cacat dalam riwayat ( tajrih ), seperti: salih al - hadith (orang yang layak hadisnya) , lays bi b a ’ id m i n a l - sawab (tidak jauh dari kebenaran), yuktab hadithuhu (hadisnya bisa dicatat), sad ū q in sha’a Allah, sad ū q lahu awham dan lain sebagainnya. Selanjutnya, dari ke-enam tingkatan dalam ta'dil tersebut,rawi pada tingkatan pertama sampai tingkatan ketiga hadisnya dapat dijadikan sebagai hujjah, sedangkan rawi pada tingkatan keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah karena lafadz-lafadz yang dipakai tidak menunjukkan tanda-tanda kedabit  -an (ketelitian), akan tetapi hadisnya hanya dapat ditulis dan digunakan ikhtibar (menguji) kedabit  -an rawi dengan hadis lainnya. Adapun rawi pada tingkatan keenam hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, karena jelas sekali ketidakdabit  -annya, hanya dapat ditulis untuk digunakan i’tibar (pendukung hadis lain) bukan ikhtibar.
Sebagaimana ta’dil yang terbagi menjadi enam tingkatan, ahli haids juga membagi jarh ke dalam enam tingkatan. Tingkatan pertama, menunjukkan cacat yang keterlaluan pada rawi dengan menggunakan shighat mubalaghah seperti af' ā l al - tafdil atau dengan ungkapan lain yang mengandung arti sejenisnya, misalnya: akdh abal - nas (orang yang paling dusta), manba’ al - kadh b, ma’din al - kadhb (sumber dusta) dan lain sebagainya . Tingkatan kedua, menunjukkan cacat yang bersangkutan dengan kebohongan atau pemalsuan dengan menggunakan lafal yang berbentuk shigha mubalagh ah yang lebih ringan daripada tingkatan pertama, seperti: kadhdha b (tukang bohong) , wadda' (tukang pembuat kepalsuan) dan lain sebagainya . Tingkatan ketiga, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan tuduhan dusta, seperti: fulan muttaham bi al kad h b a w a l - wad (orang yang dicurigai berbohong atau palsu) , yasriq al - hadith (mencuri hadis) , lays bi thiqqah (tidak dapat dipercaya) dan lain sebagainya . Tingkatan keempat, dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sangat lemahnya rawi , misalnya : matruk a l hadith (orang yang hadisnya ditinggalkan), mardu d al - hadi th (orang yang hadisnya ditolak), l a y u k t a b ha d it h u h u (orang yang hadisnya tidak bisa dicatat), da’if jiddan (orang yang sangat lemah) dan lain sebagainya . Tingkatan kelima, menggunakan kata-kata yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan rawi dalam hafalannya, misalnya: l ā y u h t a jj b i h (tidak dapat dibuat hujjah), mudtarib al - hadith (orang yang hadisnya kacau), fulan majhul (orang yang tidak diketahui), fulan munka r al - hadith (orang yang hadisnya diinkari), da’if (orang yang lemah), da’afuhu (ulama menganggapnya lemah) dan lain sebagainya . Tingkatan keenam, menggunakan lafadz-lafadz yang menunjukkan kelemahan, namun mendekati derajat ‘adalah, seperti: lays bi dhak al - qawi (tidak begitu kuat), ful ā n layyin (orang yang lemah) , f u l ā n m a q a l f i h (orang yang masih diperdebatkan), ghairuh authaq minhu ( rawi lain lebih thiqqah darinya), fih du’f (dia punya kelemahan) dan lain sebagainya . Selanjutnya, dari ke-enam tingkatan dalam jarh tersebut , rawi pada tingkatan pertama sampai tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali, tidak bisa dicatat dan tidak bisa dipakai i’tibar . Sedangkan rawi pada tingkatan tingkatan kelima dan keenam hadisnya juga tidak dapat dijadikan hujjah akan tetapi masih dapat dicatat untuk dipakai i’tibar. Jika dalam n a q d a l - rawi (penelitian rawi ) ditemukan ta' ā rud (pertentangan) antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menganggapnya adil ( ta'dil ) sedangkan sebagian yang lain menganggapnya cacat ( tajrih ), maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama, sebagai berikut: Pendapat pertama, yang diikuti oleh jumhur ulama’, adalah mendahulukan tajrih daripada ta’dil walaupun yang men ta’dil lebih banyak daripada yang men tajrih , karena orang yang menganggap cacat (al-jarih) meneliti apa-apa yang tidak diteliti oleh orang yang menganggap adil ( mu’addil ) . Pendapat kedua, mendahulukan ta’dil daripada jarh , jika orang yang men ta’dil lebih banyak dari yang men jarh , karena banyaknya orang yang men ta’dil akan menguatkan mereka.  Pendapat ketiga mengatakan; jika jarh dan ta’dil bertentangan, maka tidak ada yang diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat menguatkannya. [10]
Dalam artian, dua pendapat tersebut tidak dipakai kecuali ada yang mengunggulkan ( tarjih ) salah satu di antara keduanya. Melihat ketiga pendapat di atas, peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat ketiga, yakni tidak ada yang diunggulkan salah satunya kecuali jika ditemukan dalil yang dapat menguatkan. Hal ini karena, menurut peneliti, perbedaan sudut pandang para kritikus ( nuqqad ) tentu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dalam al - j a r h  w a a l ta’dil . Pendapat ini dikuatkan oleh statemen al-Dhahabi yang mengatakan “ lam yajtami’ ithnani min ‘ulama’ hadha al - sha’nqatt ‘ala tawthiq da’if wa la ‘ala tad’if thiqqah ”, tidak pernah ada kesepakatan antara dua kritikus hadis untuk men thiqqah kan rawi yang da’if dan men da’if kan rawi yang thiqqah .   
b.)  Naqd al - Riwayah
Dalam istilah ahli hadis al - riwayah didefinisikan dengan “haml al - hadith wa naqluh wa isnaduh ila man ‘uzia ilayh bi sig h a t m i n si y a g h a l - ‘ada’” , membawa/menerima hadis dan menyampaikan serta menyandarkannya kepada pengucapnya dengan salah satu shighat dari beberapa shighat penyampaian.  Pengetahuan tentang r iwayah, dalam kajian hadis merupakan suatu langkah yang harus ditempuh untuk memastikan terwujudnya persambungan sanad pada masingmasing rawi sampai kepada Beliau Rasulullah saw. Oleh karenanya kritik persambungan sanad perlu disampaikan untuk memastikan bahwa matan hadis benar-benar dari Beliau Rasulullah saw. Hal ini, dikarenakan terdapat beberapa matan hadis yang disinyalir bukan dari Beliau Rasulullah saw.
Pensyarahan Hadis
          Mengingat pentingnya persambungan sanad ini, ulama’ ahli hadis membuat kaidah-kaidah dan metode yang dinamakan dengan “ tu r u q t a ha m m u l w a ‘ ada ’ a l - hadith” , metode membawa/ menerima dan menyampaikan hadis . Ada delapan metode yang dipakai ulama’ dalam altahammul wa al - ‘ ada.
Hasil Takhrij
          Pertama, metode al - sama’ , yaitu murid mendengarkan dan menulis atau mendengarkan saja bacaan lafadz hadis dari seorang guru berdasarkan ingatan atau tulisannya. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) s ami ’ tu ( )سمعت atau sami ’ na (سمعنا), b) haddathani حدّ( ) ثني atau haddathana حدّثن( ا ), c) akhbarani( ) أخبرني atau
akhbarana (أخبرنا), d) anba ’ ani (أنبأني) atau anba’ana ( ),أنبأنا e) qala li ( )قال لي dan  hakali ( .)حكى لي  
Kedua , metode al - q ira’ ah ‘ ala al - s haykh . Metode ini disebut juga dengan nama al - ‘a rd , yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah “sorogan”, yaitu seorang murid atau orang lain membaca hadis dihadapan guru baik dari kitab atau hafalannya sedangkan guru mendengarkan dengan seksama sambil sesekali membenarkan jika terjadi kesalahan. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz-lafadz berikut; a) qara’tu ala fulan ( )قرأت على فلان , b) quri’a ala fulan wa ana asma’u قرئ ( على فلان وانا اسمع ), c) haddathana fulan qira’atan ‘alayh ( .)حدّثنا فلان قرآءة عليه  
Ketiga, metode al - ijazah, yaitu seorang guru memberikan izin periwayatan pada seorang atau beberapa muridnya untuk meriwayatkan hadis darinya atau dari kitab-kitabnya tanpa mendengar atau membaca keseluruhan hadis yang diijazahkan, seperti perkataan seorang guru “ a j a z t u k a a n t a r w i y a ‘ a nn i sahih a l - bukhari ” (aku izinkan/ijazahkan kepadamu untuk meriwayat-kan dariku hadis kitab sahih al bukhari ).
Para ahli hadis silang pendapat tentang kebolehan metode ijazah ini dalam penerimaan hadis. Jumhur ulama’ ahli hadis memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan metode ini, karena menurut mereka ijazah identik dengan periwayatan dan pemberitahuan hadis dan kitab secara global.  Berbeda dengan ulama’ mutaqaddimin terkesan yang lebih berhati-hati dalam memperbolehkan penerimaan hadis menggunakan metode ini. Mereka cenderung untuk tidak memperbolehkan kecuali bagi orang-orang yang benar-benar ahli, mengerti seluk beluk tahammul dan ada’ dan diberikan kepada orang yang layak pula. Redaksi periwayatannya selain dengan lafadz ijazah( ) أجَازَنِي adalah lafadz akhbarana fulan idhnan aw fi ma adhina li (أخْبَرََنا فَُلان اذًْنا او فِيَْما اَذِنَ لِي) dan lafadz anba ’ ana ,)أنبأنا( menurut ulama’ muta’akhirin . Akan tetapi jika menggunakan lafadz anba’ana ( ) أنبأنا maka lebih baik ditambah dengan lafadz ijazah, sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا إجَازًَة  
Keempat, metode al - munawalah , yaitu seorang guru memberikan hadis atau kitabnya kepada muridnya kemudian ia mengatakan “ hadha hadithi aw hadha sama’ati ” (ini adalah hadisku atau riwayat yang aku terima) tanpa mengucapkan lafadz “ arwihi ‘ anni ” (maka riwayatkanlah hadis tersebut dariku), atau lafadz ajaztuka (aku ijazahkan kepadamu).  Para ulama’ mendasarkan pembolehan metode ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al - ‘ilm bahwa Rasulullah saw., pernah menulis sebuah surat kepada pemimpin prajurit perang ( sariyyah ). Beliau berkata “jangan baca surat ini sebelum sampai pada tempat ini dan ini”. Kemudian ketika sampai tempat yang ditunjuk, pemimpin tersebut membacakan isi surat dan perintah Rasulullah kepada para prajuritnya. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz akhbarana  fulan munaw a l a t a n (أخْبَرََنا فَُلان مُنَاَولًَة ) atau a k h b a rana fulan fi ma nawalani أخْبَ( رََنا فُلَان فِيَْما نَاَولَنِي ) dan lafadz anba’ana (أنبأنا) yang ditambah dengan lafadz munawalah , sehingga redaksinya menjadi ( ).أنبأنا مُنَاَولَةً  
Kelima, metode al - k itabah , yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis apa yang pernah ia dengar baik untuk yang hadir maupun yang tidak hadir dan mengirimkannya melalui orang yang terpercaya. Metode ini terbagi menjadi dua macam, yaitu al - khitabah al maqrun bi al - ijazah ( kitabah yang disertai dengan ijazah ) dan al - kitabah minghairal - ijazah ( kitabah yang tidak disertai dengan ijazah ).  Para ahli hadis menyamakan hukum al - khitabah al - maqrun b i a l - ijazah dengan metode al - munawalah dalam hal pembolehannya. Sedangkan dalam al - kitaba hmin ghairal jazah para ahli hadis silang pendapat, akan tetapi qaul yang sahih  mengatakan boleh. Redaksi periwayatannya adalah dengan menggunakan lafadz akhbarana fulan mu kata batan أخْبَرََنا فُلَان مُ( َكاتَبًَة ) atau akhbarana fulan kitabatan أخْبَرََنا فُلَان ( ) كِتَابًَة atau kataba ilayya fulan qala haddathana fulan ( )كَتََب ِالَََّي فُلَان قَالَ حَدََّثَنَا فَُلان dan lafadz akhbarana ( ) أخْبََرَنا juga lafadz haddathana )َحدََّثََنا( menurut al-Layth bin Sa’d.
 Keenam, metode al - i ’ lam , yaitu pemberian informasi ( i ’lam) oleh seorang guru kepada murid bahwa satu hadis atau kitab tertentu pernah didengarnya dari seseorang dengan tanpa memberikan kejelasan ijazah pada murid tersebut untuk meriwayatkannya. Hukum periwayatan hadis dengan metode ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Kebanyakan ulama hadis berpendapat bahwa meriwayatkan hadis dengan metode al - i ’ Iam adalah boleh. Mereka beralasan bahwa dalam i’lam terkandung makna ijazah secara tidak langsung. Di samping itu, dengan adanya pemberian informasi ( i’lam ) oleh seorang guru kepada murid memberikan indikasi bahwa sang guru legawa (rida) kepada murid untuk tahammul dan ada’ .  
Sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan tidak boleh sebab dimungkinkan masih terdapat cacat pada apa yang diinformasikan. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas pada periwayatan saja tidak dalam pengamalannya, karena dalam mengamalkan setiap hadis yang didengar semua ulama sepakat mengatakan wajib jika memang sanadnya sahih.  Redaksi periwayatan metode al - i’ lam , juga metode setelahnya yakni was}iyyat , menurut pendapat ulama’ yang membolehkan adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan lafadz yang tercetak dari masdar i’lam , seperti; fima a’ lamanishaykhianna fulan had datha ( .)فِيَْما َاعَْل َمنِي َشْيِخ ي أنََّ فُلَانًا َحدََّثَ  
Ketujuh, metode al - wasiy yah, yaituseorang guru ketika akan meninggal atau bepergian berwasiat agar kitab yang dia riwayatkan diberikan kepada orang tertentu ketika dia wafat. Periwayatan dengan metode ini dibolehkan menurut sebagian ulama’, karena dalam wasiat terkandung makna perizinan.  Akan tetapi, pendapat yang benar sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn al-Salah adalah tidak dibolehkannya periwayatan hadis dengan metode ini. Pendapat ini sangat akurat karena wasiat itu berfungsi hanya sebatas pelimpahan hak milik akan naskah kitab sebagaimana jual beli, dan ini merupakan suatu hal yang sudah keluar dari ikhbar (pemberian kabar) akan isi naskah tersebut. Redaksi periwayatannya, seperti yang telah kami singgung di atas, adalah sebagaimana redaksi periwayatan hadis dengan metode ijazah atau dengan lafadz yang tercetak dari masdar alwasiyyahal - isa’ , seperti; awsa ilayya fulan اَْوصَى ِالَََّي (  )فُلَانٌ atau akhbarani fulan bi al - wasiyyat ( .)أخْبَرَنِي فُلَانٌ ِبالوَصِيََّة
Kedelapan, metode al - w ijadah . a l - wijadah menurut istilah ahli hadis adalah penemuan hadis dari suatu naskah dalam kitab tanpa pernah mendengar, tanpa ijazah dan tanpa munawalah .  Orang yang menemukan hadis seperti ini tidak boleh meriwayatkannya dengan redaksi sama’, Ia hanya diperbolehkan meriwayatkan dengan redaksi hikayah (cerita) dengan menjelaskan bahwa ia menemukan hadis tersebut. Karena itu redaksi wijadah tidak boleh menggunakan redaksi akhbarana> أخْبَرَ( َنا ) atau haddathana ( )َحدََّثََنا akan tetapi dengan menggunakan redaksi seperti; wajadtu fi kitab fulan kadha wa kadha (وََجدْتُ فِي كَِتاِب ُفَلان َكذَا و َكذَا) atau wajadtu bi khat fulan: haddathana fulan ( ).َوجَدْتُ ِبَخطَِّ َوجَدُْت فُلَان :حَدََّثََنا فُلَان


KESIMPULAN
Setelah mengetahui bentuk-bentuk shighat al - tahammul wa al - ada’ , setiap peneliti hadis hendaknya meneliti dengan cermat kriteria rawi sebagaiman yang telah disebutkan dalam sub al – jarh wa a l - ta’dil . hal ini perlu dilakukan karena terkadang seorang rawi menerima hadis dengan cara yang rendah tetapi menyampaikannya dengan cara yang ternilai tinggi seperti menggunakan lafadz akhbarana untuk hadis yang didapat dari ijazah . Jika demikian, maka rawi tersebut telah melakukan sebuah penipuan ( tadlis).  Tidak kalah pentingnya dengan metode al - tahammul wa al ada’ , untuk memastikan tercapainya persambungan sanad, para ahli hadis merumuskan satu disiplin ilmu yang dinamakan ‘ilm tarikh al-ruwwat (ilmu tentang sejarah para rawi). ‘Ilmtarikh al-ruwwat adalah ilmu yang memperkenalkan para rawi hadis dari sisi yang berhubungan dengan periwayatan hadis. Cakupan bahasan dari ilmu ini meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan rawi, mulai dari sejarah kelahiran, tahun wafat, guru, murid, tempat domisili, pengembaraan akademik, hingga tempat singgah dalam pengembaraan dan lain sebagainnya.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa studi penelitian hadis merupakan suatu pekerjaan intelektual yang menuntut pengetahuan yang luas, dan harus didukung oleh referensi yang memadai. Hal ini karena penelitian hadis, seperti studi takhrij al-hadis dan kritik sanad sangat terkait dengan disiplin studi-studi lain dan memerlukan tingkat kesungguhan dan kecermatan yang tinggi. Selain itu, harus ditopang oleh aspek kritisisme yang kuat dan cermat, baik dalam lingkup studi historis maupun ideologis. Karena identik dengan ilmu kritik, antikemapanan dan anti statisme, ilmu hadis akan senantiasa mengalami struktur ilmu yang bersifat anomali dan akan terjadi suatu masa revolusi pemikiran seiring perubahan waktu dan validitas metodologis. Dalam konteks ini, ilmu hadis diharapkan dapat menjadi suatu paradigma bagi pengembangan dan sumber legitimasi bagi ilmuilmu lain.
 
 
Daftar Pustaka
Apandi, Muhammad Usman. “Takhrij Hadits Tentang Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut Ketika Hendak Sujud.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014.
Hakim, Munawar. “Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar).” PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2015.
Hidayat, Taufik. “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.
Izzan, Ahmad. Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis. Tafakkur, 2012.
Kamiludin, Ihsan. “Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman Kepada Hari Kiamat.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Nasrulloh, Nasrulloh. “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits.” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014): 15–28.
Nur, Tajudin, and Debibik Nabilatul Fauziah. “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017).
Pamil, Jon. “Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist.” An-Nida’ 37, no. 1 (2012): 52–71.
Prasefya, Eka. “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017.
Sopyan, Ichsan. “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima.” PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016.

               


[1] Nasrulloh Nasrulloh, “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits,” ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam 15, no. 1 (2014) hlm : 15–28.
[2] Taufik Hidayat, “Analisis Buku Teks Hadis Ilmu Hadis Kurikulum 2013 Kelas XII Madrasah Aliyah Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), hlm : 74-322.
[3] Tajudin Nur and Debibik Nabilatul Fauziah, “Pengenalan Metode Takhrij Hadits Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA),” Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 1, no. 1 (2017), hlm : 12-115.
[4] Ichsan Sopyan, “Takhrîj Hadis Dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Karya Az-Zarnuji: Telaah Atas Pasal Pertama Sampai Kelima” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016), hlm: 16-260.
[5] Munawar Hakim, “Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat (Studi Kasus Di Mesjid Baitusshadiqin Baet-Cadek Aceh Besar)” (PhD Thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2015),hlm: 104-114.
[6] Muhammad Usman Apandi, “Takhrij Hadits Tentang Posisi Kedua Tangan Dan Kedua Lutut Ketika Hendak Sujud” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014),hlm:18-180.
[7]Ihsan Kamiludin, “Kualitas Hadis Dalam Kitab Tafsir Sya’rawi: Kajian Hadis Tentang Iman Kepada Hari Kiamat” (PhD Thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015),hlm:15-150.,
[8] Eka Prasefya, “TAKHRIJ HADITS METODE PEMBELAJARAN RASULULLAH SAW DALAM KITAB AR–RASUL AL–MU’ALLIM WA ASAALIBUHU FI AT–TA’LIIM KARYA ABDUL FATTAH ABU GHUDDAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN,” 2017,hlm : 18-55.
[9] Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij Dan Kegiatan Penelitian Hadis (Tafakkur, 2012),hlm:50-338.
[10] Jon Pamil, “Takhrij Hadist: Langkah Awal Penelitian Hadist,” An-Nida’ 37, no. 1 (2012),hlm: 52–71.