Lepas Pasang Cadar
Maka
dari itu, jangan sok sinis ya ukhti, ketika melihat saudara kita yang masih tak
istiqamah memakai cadar. Jangan mengatainya yang macam-macam, biarkanlah dia
dengan keyakinannya. Karena bila kita biasakan sibuk mensinisi kelakuannya yang
menurut kita salah, hati-hati amal ibadah kita dikurangi oleh Allah karena
hasad kepada orang yang belum tentu sesuai dengan sangkaan kita.
Yang Tidak Wajar Dan Tidak Boleh Itu Bila ia Lepas Pasang
Hijabnya Sesuka Hati
Karena
bercadar itu bukan sesuatu yang wajib, maka tidak usah selalu menghakimi ia
yang bercadarnya masih belum sepenuhnya. Sebab yang tidak wajar dan tidak boleh
itu bila ia lepas pasang hijabnya sesuka hati. Dan yang perlu kita ingat pula,
bahwasaya sekalipun dia salah karena telah lepas pasang hijabnya suka hati,
maka kita tak boleh serta menghakiminya.
Maka, jangan biarkan hati dan pikiran kita
berprasangka buruk terhadap mereka yang bercadar dan kadang tidak, biarkanlah
Allah yang menilai hatinya. Jangan pernah kita sibukkan hati kita ini dengan
perasaan yang bukan-bu akan,agar amal ibadah kita tetap terjaga dengan baik
disisi Allah.
Karena
kita memang tidak ada hak menilai bagaimana
tindakkannya,yang penting kita selalu tahu bahwa saat ini kita masih dalam
aturannya. Iya,lebih mengurusi kebaikkan diri sendiri,daripada mengurusi
kebaikkan orang lain, sebab Allah pun sukabbila kita sibuk memperbaikki diri
untuknya.
Jadi
ktahuilah,dimanapun kita berada
tetaplah jaga hati kita terus berprasangka baik kepada orang lain, sibukkan hati
dan pikiran dengan kebaikkan. Karena menyibukkan diri menilai hidup orang lain
sungguh hanya membuat kita lupa untuk menilai diri sendiri agar tetap baik dan
benar dihadapan Allah. Hukum wanita bercadar memang tidak dapat
dipastikan karena adanya perbedaan khalifiyah. Beberapa mewajibkan dan beberapa
lagi hanya membolehkan. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, bercadar hukumnya
sunnah. Ibnu Arabi berkata :
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik
badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau
ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau
kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)”
(Ahkaamul Qur’an, 3/1579). Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam.
Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun
bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah,
dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
Sedangkan Imam Syafií dan Hambali mewajibkan
untuk menutup wajah dengan cadar. Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Setiap bagian tubuh wanita adalah
aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31). Syaikh
Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata :
Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut
kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali
wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat,
semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki
atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar
hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140). Jadi sebenarnya hukum dari membuka
pasang cadar ada pada khilafiyah yang dipilih oleh wanita tersebut. Jika ia
berada dalam sisi Imam Hanafi dan Maliki, maka tidak mengapa jika ia membuka
pasang cadar. Tapi jika ia berada dalam khilafiyah Imam Syafií dan Hambali maka
hendaklah ia tidak membuka pasang cadarnya karena seperti mempermainkan agama.
Namun ada beberapa kegiatan dimana seorang
wanita memeang dibolehkan bahkan mungkin menjadi keharusan untuk membuka
cadarnya, diantaranya adalah:
1. Saat khitbah
Seorang wanita diperbolehkan memperlihatkan wajah
dan telapak tangannya di hadapan calon suaminaya saat khitbah atau tunangan dalam Islam. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia berkata:
“Suatu saat saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu
datanglah seorang lelaki mengabarkan kepada beliau bahwa ia ingin menikahi
seorang wanita Anshar. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah engkau sudah
melihatnya?”, “Belum!” katanya. Beliau berkata: “Kalau begitu temui dan
lihatlah wanita Anshar itu karena pada mata mereka terdapat sesuatu.” (H.R
Ahmad II/286&299, Imam Muslim IV/142 dan An-Nasa’i II/73). Melihat
wanita adalah salah satu cara memilih wanita dalam Islam agar
mendapatkan wanita cantik dalam Islam yang menyejukkan
pandangan.
2.
Saat bermuámalah
Seorang
wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya untuk memperlihatkan wajahnya
ketika transaksi jual beli agar tidak terjadi fitnah dan meyakinkan satu sama
lain. Ibnu Qudamah berkata: “Jika seorang pria mengadakan transaksi
jual beli atau sewa menyewa dengan seorang wanita maka ia boleh melihat wajah
wanita itu untuk mengetahui identitasnya sekaligus meminta uang pembeliannya.
Diriwayatkan
dari Imam Ahmad bahwa beliau membenci hal itu terhadap para pemudi dan
dibolehkan terhadap wanita lanjut usia. Dan juga makruh hukumnya terhadap orang
yang khawatir tertimpa fitnah atau tidak begitu mendesak melakukan transaksi
tersebut. Dan dibolehkan jika memang diperlukan dan tidak disertai dengan
syahwat.” (Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Kitab Syarah Al-Kabir ‘Ala
Matan Al-Muqni’ VII/348 dan Kitab Al-Hidayah Ma’a Takmilah Fathul Qadir X/24)
3.
Saat menjadi saksi
Begitu
pula jika ia menjadi seorang saksi dalam sebuah persidangan, ia diperbolehkan
membuka cadarnya untuk memperkuat kesaksiannya. Ad-Dasuuqi berkata:
“Persaksian
wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Hal ini
berlaku umum, baik persaksian dalam pernikahan, jual beli, hibah, utang
piutang, wakalah dan sejenisnya. Itulah pendapat yang dipilih oleh syaikh
kami.” (Silakan lihat Hasyiyatud Dasuuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir IV/194)
“Persaksian
wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Supaya
dapat dikenal dengan jelas identitas dan karakternya, setelah itu barulah ia
boleh memberikan persaksian.” (Syarah Al-Kabir karangan Syaikh Ad-Dardiir
IV/194)
Ibnu
Qudamah mengatakan: “Saksi boleh melihat terdakwa supaya persaksiannya tidak
salah alamat. Imam Ahmad berkata: Tidak boleh memberikan persaksian terhadap
seorang terdakwa wanita hingga ia mengenali indentitasnya dengan pasti. Silakan
lihat kitab Al-Mughni VII/459, Syarah Al-Kabir ‘Alal Muqni’ VII/348 dan
Al-Hidayah ma’a Takmilah Fathul Qadir X/26.
4.
Saat berobat
Seorang
wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya saat berobat jika memang bagian
yang sakit terdapat di wajah. Namun perlu diingat, carilah sebisa mungkin
dokter wanita, jikalau pun tidak ada, maka ia harus didampingi oleh mahramnya
ketika berobat dengan dokter pria.
5. Saat
ihram
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu
berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, pakaian apa
yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram?. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab:
“Janganlah kalian mengenakan baju, celana,
sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki
sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah
mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau
wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai
cadar (penutup wajah) dan sarung tangan“(H.R.Bukhari).